Home

5.19.2011

A. Peranan Lembaga Saksi Dan Korban Dalam Implementasi Hak Asasi Manusia Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006


Peran saksi dan korban sangat penting dalam pengungkapan suatu kejahatan. Dalam hal ini, keterangan yang diberikan oleh saksi dan korban merupakan alat bukti yang sangat diperlukan untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan menemukan kebenaran materiel. Tidak dapat dipungkiri, selama ini penegak hukum seringkali menemukan kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan korban. Banyak saksi dan korban yang ketakutan karena mendapat ancaman serta intimidasi. Untuk itu, perlu adanya perlindungan bagi saksi dan korban agar mereka dapat memberikan keterangan dengan rasa aman. Saksi dan korban yang secara faktual tidak bersalah, bahkan perlu diperhatikan dan memperoleh hak-hak yang dibutuhkannya, seperti memperoleh bantuan medis, kompensasi, maupun restitusi. Selama ini, penegakan hukum dan HAM di Indonesia terutama dalam sistem peradilan pidana seringkali mengabaikan keberadaan saksi dan korban. Sebut saja, dalam hukum acara pidana (KUHAP), saksi dan korban justru menjadi pihak yang terlupakan karena sistem yang dibangun oleh hukum lebih berorientasi pada pelaku (offender oriented) dan belum berorientasi pada korban (victim oriented).
Persoalan saksi dan korban dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana adalah persoalan yang sangat kompleks karena menyangkut persoalan sosial dan kemanusiaan serta dampak yang luas. Secara asasi, setiap orang memiliki hak untuk memperoleh keadilan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu: “setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan cara mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Persoalan saksi dan korban dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana adalah persoalan yang sangat kompleks karena menyangkut persoalan sosial dan kemanusiaan serta dampak yang luas. Secara asasi, setiap orang memiliki hak untuk memperoleh keadilan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu: “setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan cara mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”
Oleh karena itu, sejatinya parameter keadilan dalam sistem peradilan pidana pun tidak melihat pada seberapa berat pelaku dikenai pidana, tapi bagaimana saksi dan korban dapat berperan aktif dalam proses peradilan serta memperoleh penyelesaian kasusnya sesuai dengan apa yang menjadi haknya, artinya hak-hak saksi dan korban dihormati dan dipenuhi.
Konsep Penegakan Hukum dan HAM Saat ini Selama ini, hukum pidana (termasuk hukum acara pidana) melupakan kepentingan saksi dan korban. Faktanya, pelaku tindak pidana selalu menjadi satu-satunya orientasi serta ditempatkan sebagai satu-satunya pihak yang berkepentingan dalam proses peradilan pidana. Pelaku dipahami sebagai pencari keadilan yang berhadapan dengan negara karena telah melakukan pelanggaran terhadap negara. Artinya, perbuatan pelaku itu semata-mata dipandang sebagai perbuatan yang melanggar hak negara. Di sisi lain, saksi dan korban justru sama sekali tidak dipandang sebagai pihak yang juga memiliki kepentingan karena telah menderita kerugian akibat perbuatan pelaku dan telah berperan dalam mengungkap kejahatan yang dilakukan pelaku.
Konsep tersebut merupakan konsep hukum pidana menurut keadilan retributif, yang orientasikeadilannya lebih ditujukan kepada pelanggar sebagai orang yang melanggar hak negara. Dalam konsep ini, pidana dan pemidanaan dipahami sebagai bentuk pembalasan atas perbuatanmelanggar hukum pidana. Sebagaimana dikemukakan Mudzakkir, bahwa konsep yang demikian itu mempengaruhi keseluruhan cara kerja peradilan pidana yang ditandai dengan:
1.      tidak dilibatkannya korban dalam proses peradilan pidana dan semua reaksi terhadap pelanggar hukum pidana, menjadi monopoli negara dan kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan umum/negara;
2.      peradilan pidana diselenggarakan dalam rangka untuk mengadili tersangka karena pelanggaran hukum pidana, dan pidana dijatuhkan kepada pelanggar berupa derita sebagai balasan terhadap pelanggaran hukum pidana yang telah dilakukan berdasarkan atas pertanggungjawaban karena kesalahannya (kesalahan dari sudut moral);
3.      berat ringannya pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar merupakan parameter keadilan yang ditujukan kepada (pribadi) pelanggar;
4.      kerugian yang diderita korban menjadi tanggung jawab korban sendiri, dan jika korban berkeinginan meminta ganti kerugian kepada pelanggar harus ditempuh melalui prosedur perdata karena masalah kerugian merupakan satu cakupan hukum perdata[1].
dalam Sistem Peradilan Pidana Sebagaimana amanat Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, pemerintah harus segera membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban merupakan lembaga yang mandiri. Sebagai lembaga yang mandiri, maka Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tidak berada di bawah kekuasaan lembaga manapun (lembaga eksekutif, legislatif, maupun judikatif).
Artinya, lembaga atau pihak manapun tidak boleh melakukan campur tangan. Pilihan sebagai lembaga mandiri ini, agaknya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menjadi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga yang tidak dikuasai oleh kepentingan-kepentingan sektoral manapun, tetapi sebagai lembaga yang sungguhsungguh mampu mengabdi pada kepentingan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban di Indonesia. Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, disebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau korban.
Mencermati karakteristik tugas dan kewenangan yang diemban Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, maka Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban merupakan lembaga yang berada dalam lingkup sistem peradilan pidana, khususnya dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sistem peradilan pidana sejatinya menjadi sistem yang tidak saja berorientasi kepada pelaku tetapi juga berorientasi kepada pihak korban ataupun saksi. Dalam konteks ini, kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menjadi penting dan perlu dibangun sedemikian rupa agar dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya itu, dapat sinergis dengan fungsi maupun kewenangan lembaga penegak hukum lainnya dalam sistem peradilan pidana. Praktis, ketentuan mengenai kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat diatur lebih luas, lebih rinci, dan jelas.
Sebagai lembaga publik yang bersifat mandiri, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai kewenangan dalam upaya perlindungan dan bantuan kepada para saksi dan korban pada sistem peradilan pidana. Untuk itu, terlebih dahulu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban harus mempunyai visi yang berorientasi pada cita hukum yang luhur dan mewakili perasaan keadilan, terutama dalam mewujudkan asas kesamaan di hadapan hukum bagi para pengungkap dan pencari keadilan. Visi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang dipandang mewakili cita hukum dimaksud adalah: “Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai Lembaga yang Mampu Memberikan Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Saksi dan Korban untuk Mendukung Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana Terpadu,“ dan misi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam mewujudkan visi tersebut adalah:
1.      mewujudkan kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang professional dalam memberikan kepastian perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam proses peradilan pidana;
2.      mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam peradilan pidana;
3.      membangun dan mengembangkan jejaring dengan berbagai pemangku kepentingan dalam rangka pemenuhanhak saksi dan korban
4.      memperkuat landasan hukum dan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban demi pemenuhan hak-hak saksi dan korban.


[1] Mudzakkir, Viktimologi (studi Kasus di Indonesia), Makalah, Penataran Nasional "Hukum Pidana dan Kriminologi ke XI Tahun 2005", Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya, 13 – 16 Maret 2005

1 komentar:

  1. saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
    Artikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
    terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus