A.
Mekanisme
Penyelesaian Sengketa ASEAN Pra-Piagam ASEAN 2007
Sejak
dibentuknya ASEAN pada tahun 1967, organisasi tersebut terlihat untuk
menghindari pembahasan isu-isu seperti politik, keamanan dan hukum. Fakta
demikianlah yang membuat ASEAN dianggap tidak mampu mewakili kepentingn para
negara-negara anggotanya. Selain permasalahan internal tersebut, ASEAN juga
dipengaruhi oleh geo-politik global dimana China dan India berkembang menjadi
kekuatan yang luar biasa di Benua Asia bahkan dunia.
Association
of South-East Asian Nations (ASEAN) didirikan berdasarkan Deklarasi Bangkok
pada tanggal 8 Agustus 1967. ASEAN dibentuk oleh negara pendirinya: Indonesia,
Malaysia, Thailand, Phillipina, dan Singapura. Lima negara berikutnya bergabung
dengan ASEAN: Brunei Darussalam (8 Januari 1984); Vietnam (28 Juli 1995); Laos
dan Myanmar (23 Juli 1997); dan Kamboja (30 April 1999).
Preamble
Deklarasi memuat tujuan ASEAN, yakni meletakkan dasar atau fondasi kokoh untuk
memajukan kerja sama regional, memperkuat stabilitas ekonomi dan sosial serta
memelihara perdamaian dan keamanan di kawasan Asia Tenggara. Termasuk di dalam
tujuan tersebut adalah keinginan menyelesaikan sengketa di antara anggotanya
secara damai.
Pengaturan
penyelesaian sengketa ASEAN termuat dalam the Treaty of Amity and Cooperation
in South-East Asia (TAC) yang ditandatangani di Bali, 24 Februari 1976. Hasil
dari KTT Bali tersebut terdapat tiga hal, yaitu:
1. Treaty
of Amity and Cooperation in South East (TAC)
2. Bali
Concord I
3. Agreement
Establishing The ASEAN Secretariat.
Dari
ketiga instrumen yang dihasilkan pada KTT Bali tersebut, hanya TAC saja yang
mengikat secara hukum semua anggota ASEAN, karena dalam perjanjian tersebut
dicantumkan mekanisme ratifikasi semua negara anggota agar ketentuan-ketentuan
yang ada dalam perjanjian tersebut dapat berlaku.
Treaty
of Amity and Cooperation in South East Asia, tersebut terdiri dari lima bab
yang terdiri :
1. Bab
I : Tujuan dan Prinsip ASEAN
2. Bab
II : Persahabatan (Amity)
3. Bab
III : Kerjasama (Cooperation)
4. Bab
IV : Penyelesaian Sengketa Secara Damai (Pacifiq Settlement of Disputes)
5. Bab
V : Ketentuan Umum
Berdasarkan
Bab IV TAC, terdapat 3 (tiga) mekanisme atau prosedur penyelesaian sengketa
yang dikenal ASEAN yaitu
1. Penghindaran
Timbulnya Sengketa dan Penyelesaian melalui Negosiasi secara Langsung.
Pasal 13 TAC
mensyaratkan negara-negara anggota untuk sebisa mungkin dan dengan itikad baik
mencegah timbulnya sengketa di antara mereka. Namun apabila sengketa tetap
lahir dan tidak mungkin dicegah, maka para pihak wajib menahan diri untuk tidak
menggunakan (ancaman) kekerasan. Pasal ini selanjutnya mewajibkan para pihak
untuk menyelesaikannya melalui negosiasi secara baik-baik (friendly
negotiations) langsung di antara mereka. Pasal 13 TAC berbunyi:
"The High Contracting Parties shall have the
determination and good faith to prevent disputes from arising. In case of
disputes on matters directly affecting them, they shall refrain from the threat
or use of force and shall at all times settle such disputes among themselves
through friendly negotiations."
2. Penyelesaian
Sengketa Melalui the High Council
Manakala negosiasi
secara langsung oleh para pihak gagal, penyelesaian sengketa masih dimungkinkan
dilakukan oleh the High Council (Pasal 14 TAC). Pasal 14 TAC berbunyi: "
“To
settle disputes through regional process, the High Contracting Parties shall
constitute, as a continuing body, a High Council comprising a Representative at
ministerial level from each of the High Contracting parties to take cognizance
of the existence of disputes or situations likely to disturb regional peace and
harmony”
High council juga
memiliki peran untuk memberikan rekomendasi mekanisme penyelesaian sengketa.
Mekanisme tersebut dapat berupa jasa baik, mediasi, penyelidikan atau
konsiliasi. Semua rekomendasi yang dapat diberikan oleh High council pada
dasarnya harus mendapat persetujuan dari pihak yang bersengketa. Apabila
dianggap perlu, High council dapat merekomendasikan cara-cara yang perlu
sebagai pencegahan agar perselisihan atau situasi tidak semakin memburuk. Hal
ini diatur dalam Pasal 15 TAC yang berbunyi:
“In
the event no solution is reached through direct negotiations, the High council
shall take cognizance of the dispute or the situation and shall recommend to
the parties in dispute appropriate means of settlement such as good offices,
mediation, inquiry or conciliation. The High council may however offer its good
offices, or upon agreement of the parties in dispute, constitute itself into a
committee of mediation, inquiry or conciliation. When deemed necessary, the
High council shall recommend appropriate measures for the prevention of a
deterioration of the dispute or the situation”
Pasal 16 menyatakan
bahwa mekanisme penyelesaian sengketa dalam perjanjian tidak berlaku kecuali
adanya kesepakatan para pihak yang bersengketa untuk menyerahkan sengketa
mereka untuk diselesaikan oleh High council. Dalam ketentuan ini juga diatur mengenai
tawaran bantuan yang diberikan oleh negara peserta perjanjian namun tidak
terlibat dalam sengketa tersebut.
“
The foregoing provision of this Chapter shall not apply to a dispute unless all
the parties to the dispute agree to their application to that dispute. However,
this shall not preclude the other High Contracting Parties not party to the
dispute from offering all possible assistance to settle the said dispute.
Parties to the dispute should be well disposed towards such offers of
assistance.”
3. Cara-cara
Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB
Meskipun terdapat
mekanisme tersebut di atas, TAC tidak menghalangi para pihak untuk menempuh
cara atau metode penyelesaian sengketa lainnya yang para pihak sepakati
sebagaimana tercantum dalam pasal 33 ayat (1) Piagam PBB (Pasal 17 TAC.
Pasal 17 dalam TAC ini,
mengatur mengenai bahwa mekanisme penyelesaian sengketa secara damai yang
terdapat dalam Pasal 33 (1) Piagam PBB dapat digunakan oleh para pihak yang
bersengketa. Namun sebelum menyerahkan kepada cara penyelesaian sengketa yang
diatur dalam Piagam PBB, para pihak diharapkan untuk mengambil inisiatif
sendiri dalam menyelesaikan sengketa mereka dengan cara negosiasi yang
bersahabat. Ketentuan tersebut berbunyi :
“
Nothing in this Treaty shall preclude recourse to the modes of peaceful
settlement contained in Article 33(l) of the Charter of the United Nations. The
High Contracting Parties which are parties to a dispute should be encouraged to
take initiatives to solve it by friendly negotiations before resorting to the
other procedures provided for in the Charter of the United Nations”
Ketentuan
mengenai mekanisme penyelesaian sengketa secara damai dalam TAC ini kemudian
dilengkapi dengan sebuah rules and procedures yang disepakati oleh para peserta
perjanjian di Hanoi, Vietnam pada tanggal 23 Juli 2001. Aturan dan prosedur ini
dibuat untuk menentukan tata cara mengenai High council yang diatur dalam pasal
14 TAC.
Komposisi
mengenai High council diatur dalam pasal 3- 5 rules and procedures. High
council terdiri seorang perwakilan dari peserta TAC. Semenjak protokol
amandemen di Filipina 1987, High council juga terdiri dari seorang perwakilan
dari negara peserta perjanjian yang bukan anggota ASEAN, apabila negara
tersebut terlibat dalam sengketa yang sedang berlangsung. (Pasal 3)
Setiap
negara peserta juga diharuskan melakukan komunikasi kepada negara peserta lain
melalui saluran diplomatik mengenai perwakilannya yang ditunjuk serta apabila
ingin melakukan perubahan perwakilan (Pasal 4)
Pasal
5 rules and procedures menentukan bahwa High council harus memilih seorang
ketua High council. Ketua merupakan salah seorang dari perwakilan peserta
perjanjian yang pada saat bersamaan menjadi ketua standing committee ASEAN atau
dipilih sendiri oleh perwakilan negara peserta perjanjian yang ada di High
council. Ketua High council memiliki tugas :
1. Menerima
pernyataan tertulis yang diajukan oleh pihak yang bersengketa (Pasal 7 ayat 1)
2. Setelah
menerima pernyataan tertulis dari para pihak, ketua high council kemudian
meminta konfirmasi tertulis dari para pihak yang bersengketa (Pasal 8 ayat 1)
3. Setelah
menerima konfirmasi tertulis dari para pihak, maka ketua high council akan
melakukan :
a. Menentukan
pertemuan high council dalam jangka waktu selama 6 minggu.
b. Memberikan
pemberitahuan kepada semua perwakilan dan orang yang ditunjuk, paling lama 3
minggu sebelum pertemuan tersebut dilangsungkan. Surat pemberitahuan tersebut
harus disertakan dengan fotokopi peryataan tertulis dan konfirmasi tertulis
dari para pihak yang bersengketa. (Pasal 9)
c. Tempat
pertemuan dapat dilangsungkan di negara dimana ketua high council itu berasal
atau ditentukan lain oleh high council. (Pasal 10)
4. Ketua
High council harus mengundurkan diri pada saat awal pertemuan apabila negara
asal dari ketua merupakan pihak yang bersengketa. Untuk selanjutnya ketuanya
dapat ditentukan oleh high council (Pasal 21).
Proses
yang berjalan dalam proceeding adalah :
1. Kuorum
putusan dari high council adalah apabila dihadiri oleh semua anggota high
council. (Pasal 12)
2. Perwakilan
dalam high council dapat diwakilkan oleh wakil yang mendapatkan otorisasi dalam
pertemuan, seorang perwakilan juga dapat ditemani oleh wakil dan penasihat.
(Pasal 13)
3. Notulensi
dan biaya pertemuan menjadi tanggungjawab dari negara yang menjadi tempat
pertemuan, kecuali high council menentukan lain (Pasal 14 dan 15)
Putusan
High council
1. Putusan
high council harus didasarkan konsensus (Pasal 19)
2. Keputusan
dapat berupa rekomendasi atau hal lain yang disesuaikan dengan TAC (Pasal 22).
B.
Mekanisme
Penyelesaian Sengketa ASEAN Dalam Piagam ASEAN 2007
Latar
belakang lahirnya Piagam ASEAN tidak dapat dihindarkan dari serangkaian
kesepakatan yang telah dibuat secara sadar oleh para pemimpin ASEAN. Diawali
oleh Deklarasi Kuala Lumpur tentang Pembentukan Piagam ASEAN, 17 Desember 2005,
yaitu yang membentuk Eminent Persons Group (EPG), yang bertugas untuk
memformulasi rekomendasi dan petunjuk dalam penyusunan Piagam ASEAN. Sejarah
berlanjut dengan Deklarasi Cebu tentang Blue Print Piagam ASEAN, 13 Januari
2007, dengan membentuk High Level Task Force (HLTF) yang bertugas untuk
penyusunan draft Piagam ASEAN, negosiasi dan formulasi piagam. HLTF kemudian
mengadakan beberapa pertemuan; 13 kali diantara mereka, 3 kali dengan ASEAN
Ministrial Meeting (AMM) serta pertemuan dengan konferensi-konferensi
koordinasi sosial budaya dan ekonomi, politik keamanan, AIPA, Ormas dan LSM.
Draft final piagam kemudian diadopsi oleh AMM terlebih dahulu sebelum
persetujuan dari para kepala negara atau pemerintahan ASEAN dalam KTT ASEAN ke
-13 di Singapura, 20 November 2007.
Salah
satu bab yang terdapat dalam Piagam ASEAN adalah mengenai penyelesaian sengketa
yang diatur dalam Bab VIII (Pasal 22-28). Sebelum melihat ketentuan tentang
penyelesaian sengketa dalam piagam, kita harus melihat dahulu mukadimah yang
terdapat dalam piagam ASEAN.
Dalam
bab pembukaan dinyatakan bahwa dengan menghormati persahabatan dan kerjasama
serta prinsip-prinsip yang terdapat dalam TAC dengan beberapa prinsip tambahan
yaitu, bersatu dalam perbedaan serta konsensus. Dengan melihat pembukaan piagam
seperti itu, maka TAC dapat dianggap sebagai salah satu rujukan yang digunakan
dalam pembentukan Piagam ASEAN.
Pasal
2 Piagam ASEAN yang menyebutkan prinsip-prinsip fundamental, pada ayat 2 poin
d, dapat dibaca bahwa penyelesaian sengketa secara damai masih merupakan salah
satu prinsip utama dalam Piagam ASEAN.
Apabila
kita beralih kepada Bab VIII, Piagam ASEAN, maka judul bab tersebut tidah
memasukan kata pacifiq (damai), judul bab tersebut hanya tertulis Settlement of
Dispute (penyelesaian sengketa). Penggunaan judul bab tersebut terlihat tidak
konsisten dengan prinsip yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat 2 poin d. Padahal
jika kita merujuk dalam ayat 1 dalam pasal yang sama, menyebutkan bahwa dalam
mencapai tujuan ASEAN, harus didasari dari deklarasi, treaty, agreement,
convention, concord dan instrumen lain yang ada dalam ASEAN, maka penyelesaian
sengketa yang menjadi rujukan dalam piagam pastilah TAC 1976. Ketentuan dalam
TAC secara jelas dalam Bab IV, yang menggunakan judul Pacifiq Settlement of
Disputes (Penyelesaian Sengketa Secara Damain). Meskipun ada kejanggalan dalam
penamaan judul bab, kini harus dilihat bagaimana pengaturan penyelesaian
sengketa dalam Piagam ASEAN.
Pasal
22 menjelaskan tentang prinsip-prinsip yang dianut dalam penyelesaian sengketa
menurut Piagam. Prinsip tersebut adalah dialog, konsultasi dan negosiasi (ayat
1). Dalam ayat 2 dinyatakan bahwa ASEAN harus membuat mekanisme penyelesaian
sengketa di semua bidang kerjasama. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam tiap
bidang antara lain politik-keamanan, ekonomi dan sosial-budaya akan memiliki
mekanisme penyelesaian sengketanya masing-masing.
Mekanisme
penyelesaian sengketa dalam Piagam ASEAN hanya menganut jasa-jasa
baik,konsiliasi dan mediasi. Ketua atau Sekjen ASEAN dapat dimintakan untuk
menyediakan mekanisme tersebut (Pasal 23). Ketentuan ini jauh lebih berkurang
dibanding dengan yang diatur dalam TAC, dimana penyelidikan (inquiry) tidak
dimasukkan dalam mekanisme piagam.
Pasal
24 mengatur mengenai penyelesaian sengketa yang terdapat dalam instrumen yang
spesifik. Pada ayat1 disebutkan apabila dalam instrumen tertentu telah diatur
mekanisme penyelesaian sengketanya, maka mekanisme itu yang digunakan. Apabila
terjadi perselisihan yang tidak berkaitan dengan instrumen yang spesifik, maka
mekanisme yang digunakan adalah TAC 1976 beserta aturan dan prosedurnya, 2001.
Pada ayat terakhirnya adalah, apabila berhubungan dengan kesepakatan ekonomi,
maka penyelesaian sengketanya diselesaikan dengan menggunakan mekanisme ASEAN
Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism, 2003 sebagai pengganti dari
Dispute settlement mechanism, 1996.
Jika
melihat materi yang diatur dalam pasal 24 ini, maka piagam menganut pluralitas
hukum, hal ini disatu pihak dapat merugikan perkembangan hukum ASEAN. Secara
umum, sebaiknya pembagian perselisihan cukup dibagi dua saja, antara sengketa
politik atau hukum. Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam mekanisme
PBB.
Pasal
25 menentukan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa dengan menggunakan
mekanisme arbitarase, apabila mekanisme yang tersedia dalam ASEAN sudah tidak
ada lagi.
Pasal
26 mengatur mengenai perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan beragam
mekanisme yang telah diatur dalam piagam ini, maka sengketa tersebut akan
deselesaikan melalui KTT.
Pasal
27 mengatur tentang tugas sekjen untuk melaporkan hal penaatan atas putusan
telah dihasilkan oleh mekanisme penyelesaian sengketa yang ada dalam ASEAN, dan
kemudian melaporkanya dalam KTT. (ayat 1). Apabila ada pihak yang terpengaruh
dengan penidaktaatan hasil putusan salah satu mekanisme penyelesaian sengketa
tersebut, maka negara tersebut dapat meminta KTT untuk mengambil keputusan.
(ayat 2)
Pasal
28 mengatur bolehnya menggunakan mekanisme PBB ( Pasal 33 (1)) untuk
menyelesaikan sengketa antara para pihak, apabila dirasa tidak ditemukan
mekanisme penyelesaian sengketa dalam piagam.
C.
Peranan
ASEAN Menyelesaikan sengketa antara Thailand dan Kamboja
1. Kasus posisi
Thailand dan
Kamboja. Kedua negara ini awalnya merupakan dua negara Asia Tenggara yang
memiliki hubungan yang baik. Keduanya sangat jarang terlibat pertikaian. Hal
ini mungkin dikarenakan kedua negara tersebut memiliki banyak persamaan. Salah
satu persamaan tersebut adalah persamaan agama, yaitu agama Buddha yang
merupakan agama mayoritas di kedua negara tersebut1. Persamaan kedua adalah
dari sistem pemerintahan mereka, yang sama-sama mengadopsi system monarki
absolut. Namun hubungan yang baik itu lantas menjadi merenggang selepas konflik
Perang Indochina pada 1975, selepas Perang Indochina tersebut hubungan kedua
negara terus-menerus merenggang. Memburuknya hubungan Thailand dan Kamboja
diperparah dengan konflik antara keduanya yang semakin memanas belakangan ini.
Permasalahannya
terletak pada satu tempat : Kuil Preah Vihear. Sebuah kuil berusia kurang-lebih
900 tahun tersebut kini sedang ramai-ramainya diperbincangkan. Penyebabnya
adalah karena wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar kuil tersebut kini sedang
diperebutkan dua negara ASEAN, Thailand dan Kamboja. Kedua negara itu sama-sama
mengklaim wilayah tersebut sebagai wilayahnya, dan kedua negara tersebut
sama-sama berpendapat penempatan tentara dari negara lainnya di wilayah tersebut
merupakan bukti pelanggaran kedaulatan nasional mereka. Juli 2008 lalu, kedua
negara yang bertikai tersebut sama-sama menempatkan tentaranya yang keseluruhannya
berjumlah lebih dari 4000 pasukan di kawasan Kuil Preah Vihear tersebut.
Sebenarnya
sejak dahulu, wilayah seluas 4,6 km2 ini memang sudah menjadi perdebatan. Akan
tetapi, perdebatan semakin memanas sejak dikeluarkannya keputusan UNESCO yang
memasukkan kuil itu ke dalam daftar warisan sejarah dunia. Keputusan UNESCO ini
kemudian mengundang dua reaksi berbeda, reaksi gembira dari rakyat Kamboja,
serta reaksi negatif dari rakyat Thailand. Sebenarnya, masalah kepemilikan kuil
tersebut sudah diatur oleh Mahkamah Internasional tahun 1962, yang menyatakan
kuil tersebut adalah milik rakyat Kamboja namun yan menjadi masalah di sini
adalah wilayah seluas 4,6 km2 di sekitar kuil tersebut yang tidak dijelaskan
kepemilikannya oleh Mahkamah Internasional.
Masalah
kepemilikan yang tidak jelas inilah yang menyebabkan terjadinya sengketa yang
kemudian berlanjut dengan konflik bersenjata di wilayah itu. Konflik bersenjata
yang terjadi pada tanggal 15 Oktober yang lalu tersebut dikabarkan telah menewaskan
tiga tentara Kamboja dan membuat empat tentara Thailand luka-luka. Hal ini
tentu membuat warga Kamboja berang. Kemarahan warga Kamboja itu menyebabkan
kedutaan Thailand dan beberapa usaha milik warga Thailand dibakar dan dijarah
di Phnom Penh.
Perdebatan
mengenai wilayah sekitar Kuil Preah Vihear itu sebenarnya sudah dimulai sejak
lama. Perdebatan ini muncul karena Kamboja, sebagai negara bekas jajahan Perancis,
dan Thailand menggunakan peta berbeda yang menunjukkan teritori masing- masing
negara. Dan karena peta yang digunakan kedua negara tersebut berbeda (Kamboja menggunakan
peta dari mantan penjajahnya, Perancis sementara Thailand menggunakan petanya
sendiri), tentu saja banyak terjadi salah penafsiran mengenai besar wilayah masing-masing.
Salah satu wilayah yang disalahtafsirkan itu adalah wilayah seluas 4,6 km2 di
sekitar Kuil Preah Vihear tersebut. Dan apabila, misalnya klaim Kamboja tentang
wilayah 4,6 km2 ini lantas dikabulkan Thailand, Thailand khawatir Kamboja akan
semakin merajalela dan mencaplok pula wilayah-wilayah lain yang juga
disalahtafsirkan.
Hal yang sama
juga berlaku sebaliknya. Karena itu, tidak heran wilayah yang hanya seluas 4,6
km2 itu begitu diperebutkan, baik oleh Kamboja maupun Thailand. Akan tetapi,
sebenarnya ada satu masalah lagi yang mendorong Kamboja maupun Thailand untuk
memiliki wilayah sekitar Kuil Preah Vihear tersebut. Alasan tersebut adalah
karena wilayah sekitar Kuil Preah Vihear adalah wilayah yang kaya akan sumber daya
mineral—minyak bumi dan gas alam. Kepemilikan akan wilayah sekitar Kuil Preah Vihear
itu berarti akan menjamin terpenuhinya kebutuhan energi negara pemiliknya, juga
sekaligus akan meningkatkan pemasukan negara tersebut dari sisi penjualan
sumber energi. Hal ini menambah alasan mengapa wilayah sekitar Kuil Preah
Vihear merupakan wilayah yang layak untuk diperebutkan, baik oleh Thailand dan
Kamboja.
Dalam konflik
Thailand-Kamboja, pentingnya peran negara sebagai aktor utama dalam hubungan
internasional sangat terasa. Hal ini dibuktikan dengan tidak signifikannya
peran aktor lain, selain negara dalam konflik Thailand-Kamboja ini. Semisal,
keberadaan Organisasi Internasional seperti PBB ataupun ASEAN, yang ternyata
tidak mampu memberi signifikansinya dalam penyelesaian masalah konflik
bersenjata Thailand- Kamboja. Masalah Thailand-Kamboja tersebut hanya akan dan
mungkin dapat diselesaikan bila negara-negara yang berkonflik, dalam hal ini
Thailand dan Kamboja bersedia untuk berdamai; yang sayangnya dalam kasus ini
belum terlaksana.
2.
Peranan ASEAN dalam
menyelesaikan sengketa antara Thailand dan Kamboja
Peran ASEAN
dalam menyelesaikan sengketa wilayah Kuil Preah Vihear dapat dilakukan dengan
cara yang diatur dalam Piagam ASEAN tahun 2007 dalam pasal 23 mengenai Mekanisme
penyelesaian sengketa dalam Piagam ASEAN hanya menganut jasa-jasa baik, konsiliasi
dan mediasi. Ketua atau Sekjen ASEAN dapat dimintakan untuk menyediakan
mekanisme tersebut (Pasal 23). Ketentuan ini jauh lebih berkurang dibanding
dengan yang diatur dalam TAC, dimana penyelidikan (inquiry) tidak dimasukkan
dalam mekanisme piagam.
Dalam hal ini
ASEAN mengajak kedua negara untuk berdiskusi dalam masalah sengketa wilayah
Kuil Preah Vihear tetapi dalam kenyataan pihak dari Thailand selalu menolak
Negosiasi sengketa tersebut.
ASEAN hanya
bisa menyelesaikan sengketa tersebut dengan 4 cara yaitu negosiasi, mediasi,
penyelidikan dan konsiliasi. Apabila keempat cara tersebut gagal dalam
menyelesaikan sengeketa maka dalam pasal 25 piagam ASEAN dapat dilanjutkan
melalui badan arbitrase internasional yang diinginkan oleh kedua belah pihak.
ASEAN hanya menjadi fasilisator bagi kedua negara untuk menyelsaikan sengketa antara
kedua belah pihak.