A. Pembuktian
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Dalam suatu proses peradilan, pembuktian merupakan hal
yang penting dalam menentukan keberhasilan pihah-pihak yang berperkara. Menang
atau kalahnya para pihak yang berperkara ditentukan dalam tahap pembuktian karena
pembuktian merupakan landasan bagi para hakim dalam menentukan memutuskan suatu
perkara. Dengan demikian tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh putusan
hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Atau dengan kata lain tujuan
dari pembuktian adalah mencari atau menemukan kebenaran suatu peristiwa yang
digunakan sebagai dasar putusan hakim yang mrmpunyai akibat hukum.[1]
Alat-alat bukti
Ketentuan pembuktian yang berlaku dalam lingkungan
Mahkamah lingkungan terdapat dalam pasal 36 sampai dengan 39 UU MK.
Dalam pasal 36 ayat 1 disebutkan ada enam macam alat
bukti yang digunakan yaitu :
·
Surat atau tulisan
Alat bukti tulisan adalah segala sesuatu
yang memuata tanda-tanda bacaan yang bisa dimengeti atu ayng mengandung pikiran
tertentu. Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis [2]yaitu
ü Akta
otentik.
ü Akta
dibawah tangan
ü Surat-surat
lain yang bukan akta
·
Keterangan saksi
Keterangan saksi dianggap sebagai
alat bukti apabila keterngan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat,
ata didengar oleh saksi sendiri. ketentuannya diatur dalam pasal 38 UU MK.
·
Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah pendapat
orang yang diberikan dibawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang
diketahui menurut pengalamnnay dan pengetahuannya.
·
Keterangan para pihak
Para pihak disini adala pemohon dan
termohon dan dapat diwakilkan kepada kuasa hukumnnya.
·
Petunjuk
Yang dimaksud petunjuk dalam
ketetntuan ini hanya dapat diperoleh dari ketrangan saksi, surat dan barang
bukti. Diluar itu bukan dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk. Diatur dalam
pasal 37 UU MK.
·
Alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirimkan diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang seupa dengan itu contohnya teleconference dengan saksi yang
jauh, rekaman suara, data elektronik dan
lain-lain.
B. Pembuktian
Dalam Hukum Acara Perdata
Dalam suatu proses
perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan
hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan
hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam
suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang
menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila
berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Alat-alat Bukti
Menurut KUHperdata
pasal 1865 dab RIB pasal 163, bahwa barang siapa menyatakan mempunyai hak atau
menyebutkan sesuatu peristiwa, maka ia harus membuktikan adanya hak itu atau
adanya peristiwa tersebut.
Berhubungan dengan itu dalam Hukum Acara
Perdata dikenal dengan tujuh macam alat pembuktian (cara pembuktian) yaitu:
1. Alat
bukti tertulis atau surat-surat
Alat
bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan
yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampikan kbuah
pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian
Surat akte dibagi dua yaitu:
·
Suatu akte resmi (otentik) yaitu surat yang diberi tanda tangan.
·
Suatu akte di bawah tangan (onderhands) yaitu akta yang sengaja dibuat untuk
pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.[3]
2. Kesaksian
Kesaksian adalah
kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang
disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang
yang bukan salahsatu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan. Suatu
kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri
atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar
saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
Dalam proses peradilan
perkara perdata dikenal adanya Testimonium de auditu yaitu keterangan saksi
yang diperolehnya dari pihak lain yang melihat dan mengetahui adanya suatu
peristiwa namun pihak yang mengetahui tersebut tidak bersaksi di pengadilan
melainkan menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Misalnya, pihak ketiga
mengetahui secara langsung bahwa kedua belah pihak yang berperkara pernah
mengadakan perjanjian hutang piutang. Kemudian pihak ketiga ini menceritakan
pengetahuannya kepada saksi.
3. Persangkaan
Persangkan ialah suatu
kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari
peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa
lain yang dibuktikan juga telah terjadi
Persangkaan ada 2, yaitu:
·
Persangkaan yang ditetapkan oleh
undang-undang (watterlijk vermoeden), :Pada hakekatnya merupakan suatu
pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu
pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah
yang berturut-turut.
·
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim
(rechtelijk vermoeden) : Terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak
terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa
itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya
berbuat zina dengan lelaki lain.
4. Pengakuan
Pengakuan dapat
diberikan dimuka hakim di persidangan atau diluar persidangan. Pengakuan dimuka
hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan
yang tegas dan dinyatakan oleh salahsatu pihak dalam perkara di persidangan,
yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau
hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan
lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.
5. Sumpah
Sumpah pada umumnya
adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu
memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada
Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak
benar akan dihukum olehNya.
Ada 2 macam sumpah:
·
Sumpah pelengkap (suppletoir) Ialah
suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara
apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu
”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena
dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti
yang terdapat itu.
·
Sumpah pemutus yang bersifat menentukan
(decicoir) ialah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang
berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang
sedang diperiksa oleh hakim.
6. pemeriksaan setempat ( descente)
Yang
dimaksud dengan pemriksaan ditempat adalah pemeriksaan perkara oleh hakim
karena jabatannya yang diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim
dapat melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan-keterangan yang
member kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa. Ini diatur
dalam pasal i53 HIR.
Dalam
praktek pemeriksaan setempat biasanya dilakukan berkenaan dengan letak gedung
atau batas tanah. Meskipun pemeriksaan kktidak dimuat dalam pasal 164 HIR
sebagai alat bukti, maka pada hakekatnya fungsi pemeriksaan setempat adalah
sebagai alat bukti.[4]
7. Keterangan Ahli
Ketrangan ahli adalah keterangan para pihak ketiga yang obyektif
dan bertujuan membantu hakim guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Ketrangan
ahli diatur dalam pasal 154 HIR.[5]
Dengan
demikian terdapat perbedaan alat bukti dalam hukum acara mahkamah konstitusi
dengan hukum acara perdata dimana dalam hukum acara mahkamah konstitusi lebih
mengikuti perkembangan jaman seperti adanya alat bukti rekaman video kaset, cd
data elektronik dan lain-lain sedangkan dalam hukum acara perdata hanya terikat
pada kebiasaan atau formalitas karena tidak mengenal atau tidak lazim atau
tidak diarur dalam undang-undang.
C. Sistem Pembuktian hukum acara mahkamah
konstitusi
Sistem
pembuktian dalam hukum acara mahkamah konstitusi dalam rangka memperoleh
kebenaran materil[6].
yang tidak semata-mata berdasarkan alat-alat bukti semata. Hal ini diatur Dalam
psal 45 UU MK.
Hukum
acara konstitusi menganut ajaran pembuktian bebas yaitu hakim mahkamah
konstitusi memiliki kebebasan atau kewenagan dalam memberikan penilaian
terhadap kekuatan masing-masing alat bukti. Dalam pasal 37 UU MK.
Namun
demikian terdapat batas-batas tertentu terhadap kebebasan dalam hukum cara
konstitusi itu misalnya syarat-syarat sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk
sahnya pembuktian serta penyebutan alat-alat bukti secara limitatif.pada ajaran
pembuktian murni tidak terdapat ketentuan tertulis yang mengikat bagi hakim/
pengadilan untuk menentukan berapa banyaknya kpembuktian yang dibutuhkan,
pembebanan, pembuktian, pemilihan alat bukti maupun penilainnya[7].
D.
Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata
Sistem
pembuktian yang dianut Hukum Acara Perdata, tidak bersifat stelsel negatif
menurut undang-undang, seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut
pencarian kebenaran. Di dalam hukum acara perdata, kebenaran yang dicari dan
diwujudkan hakim cukup kebenaran formil.. Yang terpenting adalah adanya
alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat bukti tersebut hakim akan
mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Para pihak yang berperkara dapat mengajukan
pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian
secara teoritis harus diterima hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak
perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan.
Dalam kerangka sistem pembuktian yang
demikian, sekiranya tergugat mengakui dalil pegugat, meskipun hal itu bohong
dan palsu, hakim harus menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa
berdasarkan pengakuan itu, tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak
perdatanya atas hal yang diperkarakan. Meskipun hakim berpendapat kebenaran
dalil gugat yang diakui tergugat itu setengah benar dan setengah palsu, secara
teoritis dan yuridis, hakim tidak boleh melampaui batas-batas kebenaran yang
diajukan para pihak di persidangan. Sikap demikian ditegaskan dalam putusan MA
no. 3136K/Pdt/1983 yang menyatakan, tidak dilarang pengadilan perdata mencari
dan menemukan kebenaran materil. Namun apabila kebenaran materil tidak
ditemukan dalam peradilan perdata, hakim di benarkan hukum mengambil putusan
berdasarkan kebenaran formil.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan
yang harus dibuktikan kebenarannya. Seperti dalil-dalil yang tidak
disangkal,(diakui sepenuhnya oleh pihak lawan) dan hal-hal atau keadaan–keadaan
yang telah diketahui oleh kalayak ramai (fakta notoir) tidak perlu dibuktikan
lagi.
[1] Sudikno mertokusumo, hukum acara perdata
Indonesia, liberty, Yogyakarta, 1998, hal 165.
[2]
Lihat Zairin harahap, Hukum acara pengadilan Tata Usaha Negara< Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm 130.
[3] Sudikno
mertokusumo, hukum acara perdata Indonesia, liberty, Yogyakarta, 1998, hal 149.
[4] HR
24 Jan 1873, W 3554, Asser-Verdam,op.cit., hal 484 sebaliknya pitlo berpendapat
lain Op. cit., hal 24.
[5] Sudikno
mertokusumo, hukum acara perdata Indonesia, liberty, Yogyakarta, 1998, hal 195
[6]
Kebenaran materil semacam ini berlaku juga dalam perkara pidana dan PTUN. Dalam
pidan diatur dalam pasal 203 KUHAP sedangkan dalam dalam perkara PTUN diatur
dalam pasal 107 Undang-undang NO 5 tahun 1986.
[7] Zairin
Harahap, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara< Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm 130.