Masyarakat hukum adat di
indonesia pada umumnya mengenal perkawinan seorang suami dengan banyak istri
terutama di kalangan raja-raja adat, bangsawan adat, di berbagai daerah, baik
pada masyarakat yang menganut agama hindu/buddha, kristen maupun islam.
Banyaknya istri dari para pemuka adat itu biasanya tidak terbatas, tergantung
pada keadaan setempat. Dalam abad 17-18 sultan banten mempunyai berpuluh-puluh
istri, sampai akhir perang dunia kedua di lampung ada kepala marga yang
istrinya belasan. Zaman itu banyak istri
adalah kebanggaan dan kaum wanita pun ketika iytu bangga jika dapat
dipersunting keturunan raja.
Menurut adat lokal seperti halnya berlaku dikalangan
orang-orang pepaduan di Lampung, yang juga nampak di daerah-daerah lain di
Indonesia, para isteri raja adat itu mempunyai kedudukan yang berbeda-beda,
tergantung asal usul dari mana wanita yang diperisteri itu. Kedudukan mereka
yang bebeda berakibat anak-anak keturunannya berbeda pula kedudukan adatnya.
Poligami dalam hukum adat ini dulunya mendapat respon yang positif dari
kalangan masyarakat, karena itu tadi, bahwa kebanyakan kaum wanita menyukai
apabila dipersunting oleh raja, bagi wanita yang menjadi isteri raja merupakan
sebagai kebanggaan juga bagi dirinya, apalagi bagi keturunannyanya yang berasal
dari raja.
Perhatikan gambaran berikut dalam masyarakat lampung
beradat pepadun. Isteri ratu berasala dari putri anak raja adat yang lain, yang
kawin dengan upacara adat besar (ibal serbow), naik tahta adat (cakak pepadun).
Setelah kawin berkedudukan sebagai permaisuri, bertugas dan berperan
mendampingi kedudukan kepunimbangan bumi/marga suami.perlengkapan pakaian adat
(perkawinan)-nya lengkap memakai siger (mahkota kuning emas), tarub (berdaun
kembar), dengan baju dan payung berwarna putih.
Isteri perunggu adalah isteri kawin dan berkedudukan
menunggu dimuka kamar perumpu ( kamar permaisuri) sebelum atau sesudah suaminya
mendapatkan isteri ratu, Ia berasal dari bangsawan yang bertingkat menengah,
yang ketika kawin dengan upacara bumbang aji. Isteri pembantu adalah isteri
yang berasal dari keturunan bangsawan yang tingkat tiga, yang kedudukan sebagi
punyimbang Raja atau Punyimbang Suku. Sedngakn isteri beduwa adalah isteri
keturunan yang dikarenakan orang tuanya berasal mempunyai asal-usul yang tidak
tentu.
Dalam suku dayak poligami dikenal dengan nama hajambua
yang pengaturannya sama dengan peraturan undang-undang nomor tahun 1974, yang
hanya memperbolehkan perkawinan hajambua hanya dapat terjadi bila mendapatkan
persetujuan dari isteri yang pertamanya dan suaminya sanggup bersikap adil dan
dijamin kehidupan yang layak dan juga dapat memnuhi syarat-syarat adat.
Dalam suku jawa
Raja-raja di Jawa pada zaman dahulu sudah biasa memakai cara “garwa
padmi” (permaysuri resmi), dan “garwa selir” (istri ampean) yang jumlahnya
tidak terbatas, menurut keperluan. Dan merupakan suatu kehormatan bagi seorang
perempuan jika dapat diambil menjadi “garwa selir” oleh Raja atau Pangeran.
Sedangkan dalam suku badui Orang Baduy tidak mengenal
poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika
salah satu dari mereka telah meninggal.
Hukum agama yang
mengatur tentang poligami adalah hukum islam dan juga hukum hindu, sedangkan
hukum kristen/katolik dan budha indonesia tidak memperkenankan poligami. Hal
mana tidak berarti larangan poligami sudah benar-benar di taati oleh anggota
masyarakat, walaupun sifatnya tidak resmi. Hingga sekarang masih terdengar
istilah istri peliharaan, baku piara, nepa piara, manggih kaya, istri simpanan,
hidup bersama, kesemuanya itu bersifat poligami bagi orang yang sudag beristri,
terlepas dari syah tidaknya perkawinan mereka.
Menurut hukum islam
poligami di atur dalam al-qur’an surat an- nissa ayat 3 yang maksudnya,
“dan jika kamu takut tidak dapat berlaku
adil (hak-hak) wanita yatim (jika kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja”.
Wahyu tuhan itu jelas
menunjukan bahwa umat islam boleh kawin dengam 4 isteri dalam waktu bersamaan,
dengan syarat dapat erlaku adil. Yang dimaksud dengan kata dapat berlaku adil,
adalah dapat memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya, sandang pangan, tempat
kediamannya, giliran mengunjungi, pemeliharaan dan pendidikan anak-anak, budi
pekerti dan agama mereka; tidak menimbulkan kericuhan keluarga terus menerus
dan sebagainya. Jika tidak sanggup berkahu adil cukuplah kawin dengan 1 isteri.
Jadi islam memebolehkan manusia beristeri sampai 4 orang, boleh poligami,
tetapi poligami tertutup atau terbatas.
Menurut hukum agama
kristen/katolik perkawinan poligami dilarang, oleh karena ia menganut asas
monogami tertutup jadi sesuai dengan kaidah pasal 27 KUH Perdata bahwa dalam
waktu yang sama seorang pria hanya boleh mempunyai satu orang wanitasebagai
isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang pria sebagai suaminya.
Walaupun demikian dalam penerapannya masih banyak umat katolik yang tidak
mentaatinya, mungkin karena pengaruh nafsu manusia dan lingkungan hukum adat
yang masih mempengaruhi mereka.
Menurut hukum agama
budha indoneisa yang berbeda dari dunia lain (seperti di tibet) juga menganut
asas monogami (pasal 3 KPAB). Tetapi menurut hukum perkawinan agama hindu
terutama yang nampak di bali, poligami sampai empat istri tidak dilarang,
sebagai mana dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra yang membolehkan perkawinan poligami
bagi golongan brahmana, ksatria, dan waisha, sedangkan bagi golongan sudra
dilarang. Dasar pelarangannya ialah karena golongan sudra dianggap sosial
ekomoninya lemah, sedangkan bagi ke tiga golongan warna di atas sudra dianggap
kuat sekali sosial ekomoninya. Asas anuloma (menurut garis menurun) dan asas
patriloma (menurut garis mendaki) ini di masa sekarang tidak dapat diterapkan
lagi karena emansipasi sosial.
Dalam hal ini adalah Pegawai Negara Sipil, yang dimaksud
Pegawai Negara Sipil menurut UU no. 8-1974 tentang pokok-pokok Kepegawaian
ialah meliputi Pegawai Negara Sipil Pusal dan Pegawai Negara Sipil Daerah,
termasuk calon Pegawai Negara Sipil dan yang dipersamakan ialah Pegawai bulanan
di samping pensiun, Pegawai Bank Milik Negara, Pegawai Badan Usaha Milik
Negara, Pegawai Bank Milik Daerah, Pegawai Badan Usaha Milik Daerah dan Kepala
Desa, Perangkat Desa dan Petugas yang melenyelenggarakan urusan Pemerintah di
Desa. Perkawinan bagi Pegawai negeri Sipil itu diatur dalam aturan Peraturan
Pemerintah (PP) no 10 tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negara Sipil.
Pegawai Negara Sipil yang melangsungkan perkawinan
pertama, termasuk yang sudah duda atau janda yang akan melangsungkan
perkawinan, wajib memberitahukannya secara tertulis kepada pejabat melalui
saluran hirarki dalam waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan
itu dilangsungkan (Pasal 2 ayat 1-2 PP 10-1983).
Apabila Pegawai Negara Sipil pria akan beristeri lebih
dari seorang, maka ia wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat. Yang
dimaksud Pejabat adalah Penteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi Negara, Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I, Pimpinan Bank Milik Negara, Pimpinan Bank Milik Daerah,
Pimpinan Badan Usaha Milik Darah. (pasal 1b PP10-1983).
Permintaan izin sebagaimana dimaksudkan diajukan secara
tertulis dengan harus mencantumkan alasan yang lengkap mendasari permintaan
izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga
ataupun keempar. (pasal 4 ayat 4-5) permintaan izin itu diajukan kepada pejabat
melalui saluran hirarki dan setiap atasan yang menerima permintaan izin dari
Pegawai Negara Sipil dalam lingkungannya, wajib mempertimban-timbangkan dan
meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 3 bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan itu
(pasal 5 ayat 2).
Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri
lebih dari seorang atau menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memerhatikan
dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan
pertimbangan dari atasan Pegawai Negara Sipil bersangkutan. Apabila
alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut
kurang meyakinkan, maka pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri
Pegawai Negara Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang
dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan. Sebelum mengambil
keputusan, pejabat memanggil Pegawai Negara Sipil bersangkutan sendiri atau
bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat (pasal 9 ayat 2 dan 3).
Pejabat bersankutan tidak memberi izin untuk beristeri
lebih dari seorang apabila hal tersebut bertentangan dengan ajaran/peraturan
agama yang dianut Pegawai Negara Sipil bersangkutan, ketika memenuhi syarat
alternative (isteri tidak dapat memenuhi kewajiban isteri) dan ketiga syarat
kumulatif (persetujuan tertulis dari isteri) tersebut, bertentangan dengan
peraturan perundangan yang berlaku, alasan yang dikemukakan bertentangan dengan
akal sehat dan atau ada kemmungkinan menggangu pelaksanaan tugas kedinasan.
Sedangkan bagi Pegawai Negara Sipil wanita tidak di izinkan untuk menjadi
isteri kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negara Sipil (pasal 4 ayat 2).