Home

4.24.2011

Perkembangan poligami dalam hukum adat


Masyarakat hukum adat di indonesia pada umumnya mengenal perkawinan seorang suami dengan banyak istri terutama di kalangan raja-raja adat, bangsawan adat, di berbagai daerah, baik pada masyarakat yang menganut agama hindu/buddha, kristen maupun islam. Banyaknya istri dari para pemuka adat itu biasanya tidak terbatas, tergantung pada keadaan setempat. Dalam abad 17-18 sultan banten mempunyai berpuluh-puluh istri, sampai akhir perang dunia kedua di lampung ada kepala marga yang istrinya belasan.  Zaman itu banyak istri adalah kebanggaan dan kaum wanita pun ketika iytu bangga jika dapat dipersunting keturunan raja.

Menurut adat lokal seperti halnya berlaku dikalangan orang-orang pepaduan di Lampung, yang juga nampak di daerah-daerah lain di Indonesia, para isteri raja adat itu mempunyai kedudukan yang berbeda-beda, tergantung asal usul dari mana wanita yang diperisteri itu. Kedudukan mereka yang bebeda berakibat anak-anak keturunannya berbeda pula kedudukan adatnya. Poligami dalam hukum adat ini dulunya mendapat respon yang positif dari kalangan masyarakat, karena itu tadi, bahwa kebanyakan kaum wanita menyukai apabila dipersunting oleh raja, bagi wanita yang menjadi isteri raja merupakan sebagai kebanggaan juga bagi dirinya, apalagi bagi keturunannyanya yang berasal dari raja.
Perhatikan gambaran berikut dalam masyarakat lampung beradat pepadun. Isteri ratu berasala dari putri anak raja adat yang lain, yang kawin dengan upacara adat besar (ibal serbow), naik tahta adat (cakak pepadun). Setelah kawin berkedudukan sebagai permaisuri, bertugas dan berperan mendampingi kedudukan kepunimbangan bumi/marga suami.perlengkapan pakaian adat (perkawinan)-nya lengkap memakai siger (mahkota kuning emas), tarub (berdaun kembar), dengan baju dan payung berwarna putih.
Isteri perunggu adalah isteri kawin dan berkedudukan menunggu dimuka kamar perumpu ( kamar permaisuri) sebelum atau sesudah suaminya mendapatkan isteri ratu, Ia berasal dari bangsawan yang bertingkat menengah, yang ketika kawin dengan upacara bumbang aji. Isteri pembantu adalah isteri yang berasal dari keturunan bangsawan yang tingkat tiga, yang kedudukan sebagi punyimbang Raja atau Punyimbang Suku. Sedngakn isteri beduwa adalah isteri keturunan yang dikarenakan orang tuanya berasal mempunyai asal-usul yang tidak tentu.
Dalam suku dayak poligami dikenal dengan nama hajambua yang pengaturannya sama dengan peraturan undang-undang nomor tahun 1974, yang hanya memperbolehkan perkawinan hajambua hanya dapat terjadi bila mendapatkan persetujuan dari isteri yang pertamanya dan suaminya sanggup bersikap adil dan dijamin kehidupan yang layak dan juga dapat memnuhi syarat-syarat adat.
Dalam suku jawa  Raja-raja di Jawa pada zaman dahulu sudah biasa memakai cara “garwa padmi” (permaysuri resmi), dan “garwa selir” (istri ampean) yang jumlahnya tidak terbatas, menurut keperluan. Dan merupakan suatu kehormatan bagi seorang perempuan jika dapat diambil menjadi “garwa selir” oleh Raja atau Pangeran.
Sedangkan dalam suku badui Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
Hukum agama yang mengatur tentang poligami adalah hukum islam dan juga hukum hindu, sedangkan hukum kristen/katolik dan budha indonesia tidak memperkenankan poligami. Hal mana tidak berarti larangan poligami sudah benar-benar di taati oleh anggota masyarakat, walaupun sifatnya tidak resmi. Hingga sekarang masih terdengar istilah istri peliharaan, baku piara, nepa piara, manggih kaya, istri simpanan, hidup bersama, kesemuanya itu bersifat poligami bagi orang yang sudag beristri, terlepas dari syah tidaknya perkawinan mereka.
Menurut hukum islam poligami di atur dalam al-qur’an surat an- nissa ayat 3 yang maksudnya, “dan  jika kamu takut tidak dapat berlaku adil  (hak-hak) wanita yatim (jika kamu mengawininya), maka kawinilah wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.
Wahyu tuhan itu jelas menunjukan bahwa umat islam boleh kawin dengam 4 isteri dalam waktu bersamaan, dengan syarat dapat erlaku adil. Yang dimaksud dengan kata dapat berlaku adil, adalah dapat memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya, sandang pangan, tempat kediamannya, giliran mengunjungi, pemeliharaan dan pendidikan anak-anak, budi pekerti dan agama mereka; tidak menimbulkan kericuhan keluarga terus menerus dan sebagainya. Jika tidak sanggup berkahu adil cukuplah kawin dengan 1 isteri. Jadi islam memebolehkan manusia beristeri sampai 4 orang, boleh poligami, tetapi poligami tertutup atau terbatas.
Menurut hukum agama kristen/katolik perkawinan poligami dilarang, oleh karena ia menganut asas monogami tertutup jadi sesuai dengan kaidah pasal 27 KUH Perdata bahwa dalam waktu yang sama seorang pria hanya boleh mempunyai satu orang wanitasebagai isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang pria sebagai suaminya. Walaupun demikian dalam penerapannya masih banyak umat katolik yang tidak mentaatinya, mungkin karena pengaruh nafsu manusia dan lingkungan hukum adat yang masih mempengaruhi mereka.
Menurut hukum agama budha indoneisa yang berbeda dari dunia lain (seperti di tibet) juga menganut asas monogami (pasal 3 KPAB). Tetapi menurut hukum perkawinan agama hindu terutama yang nampak di bali, poligami sampai empat istri tidak dilarang, sebagai mana dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra yang membolehkan perkawinan poligami bagi golongan brahmana, ksatria, dan waisha, sedangkan bagi golongan sudra dilarang. Dasar pelarangannya ialah karena golongan sudra dianggap sosial ekomoninya lemah, sedangkan bagi ke tiga golongan warna di atas sudra dianggap kuat sekali sosial ekomoninya. Asas anuloma (menurut garis menurun) dan asas patriloma (menurut garis mendaki) ini di masa sekarang tidak dapat diterapkan lagi karena emansipasi sosial.
Dalam hal ini adalah Pegawai Negara Sipil, yang dimaksud Pegawai Negara Sipil menurut UU no. 8-1974 tentang pokok-pokok Kepegawaian ialah meliputi Pegawai Negara Sipil Pusal dan Pegawai Negara Sipil Daerah, termasuk calon Pegawai Negara Sipil dan yang dipersamakan ialah Pegawai bulanan di samping pensiun, Pegawai Bank Milik Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara, Pegawai Bank Milik Daerah, Pegawai Badan Usaha Milik Daerah dan Kepala Desa, Perangkat Desa dan Petugas yang melenyelenggarakan urusan Pemerintah di Desa. Perkawinan bagi Pegawai negeri Sipil itu diatur dalam aturan Peraturan Pemerintah (PP) no 10 tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negara Sipil.
Pegawai Negara Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama, termasuk yang sudah duda atau janda yang akan melangsungkan perkawinan, wajib memberitahukannya secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan (Pasal 2 ayat 1-2 PP 10-1983).
Apabila Pegawai Negara Sipil pria akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat. Yang dimaksud Pejabat adalah Penteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi Negara, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Pimpinan Bank Milik Negara, Pimpinan Bank Milik Daerah, Pimpinan Badan Usaha Milik Darah. (pasal 1b PP10-1983).
Permintaan izin sebagaimana dimaksudkan diajukan secara tertulis dengan harus mencantumkan alasan yang lengkap mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga ataupun keempar. (pasal 4 ayat 4-5) permintaan izin itu diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki dan setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negara Sipil dalam lingkungannya, wajib mempertimban-timbangkan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan itu (pasal 5 ayat 2).
Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memerhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negara Sipil bersangkutan. Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negara Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan. Sebelum mengambil keputusan, pejabat memanggil Pegawai Negara Sipil bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat (pasal 9 ayat 2 dan 3).
Pejabat bersankutan tidak memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang apabila hal tersebut bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negara Sipil bersangkutan, ketika memenuhi syarat alternative (isteri tidak dapat memenuhi kewajiban isteri) dan ketiga syarat kumulatif (persetujuan tertulis dari isteri) tersebut, bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat dan atau ada kemmungkinan menggangu pelaksanaan tugas kedinasan. Sedangkan bagi Pegawai Negara Sipil wanita tidak di izinkan untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negara Sipil (pasal 4 ayat 2).