Pada
umumnya hukum internasional diartikan himpunan peraturan-peraturan dan
ketetntuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara
dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.
Definisi hukum internasional yang diberikan oleh para pakar-pakar hukum
terkenal di masa lalu seperti oppenheim[1] dan brierly[2],
terbatas pada negara sebagi satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan
subjek hukum lainnya.
Namun,
dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh kedua abad
XX dan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini
kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan
perilaku organisasi internasional,
kelompok-kelompok supranasional, dan gerakan-pembebasan pembebasan nasional.
Bahkan, dalam hal tertentu, hukum internasional juga diberlakukan terhadap
individu-individu dalam hubungannya dengan negara-negara[3].
Menurut
pendapat Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H.
Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah – kaidah dan asas – asas
hukum dan mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas – batas negara
yaitu hubungan internasional yang tidak bersifat perdata sedangkan menurut
Charles Chery Hyde yang dikutip oleh J.G Starke ia mengatakan bahwa Hukum
Internasional sebagai sekumpulan hukum yang terbesar yang terdiri atas prinsip
– prinsip peraturan tingkah laku dimana negara itu sendiri merasa terikat dan
menghormatinya, oleh karena itu juga harus menghormati dalam hubungan antara
mereka satu dengan yang lainnya yang
mencakup :
o
Peraturan – peraturan hukum yang
berkaitan dengan fungsi – fungsi lembaga atau organisasi Internasional,
hubungan antara organisasi Internasional itu satu dengan lainnya, hubungan
antara organisasi Internasional dengan negara tersebut dan hubungan antara
organisasi Internasional dengan individu.
o
Peraturan – peraturan tertentu yang
berkenaan dengan individu dan subyek – subyek hukum bukan negara atau Non
States Entities sepanjang hak – hak dan kewajiban – kewajiban individu dan
subyek – subyek hukum negara itu, bersangkut paut dengan masalah Internasional.
A. Definisi sengketa internasional
Mahkamah
Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis Palestine Concessions (Preliminary Objections) (1924) mendifinisikan
pengertian sengketa sebagai: 'disagreement on a point of law or fact, a
conflict of legal views or interest between two persons. Mahkamah internasional
dalam pendapat bukumnya (AdvisoryOpinion)
dalam kasus “Interpretation of Peace
Treaties Case (1950, ICJ Rep 65) menyatakan bahwa untuk ada tidaknya suatu
sengketa Internasional harus ditentukan secara obyektif
Menurut
Mahkamah, sengketa internasional adalah suatu situasi di mana dua negara
mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanaken atau tidak
dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian.
Selengkapnya Mahkamah ini menyatakan[4]
"whether
there exists an international dispute is matter for objective determination.
The mere denial of the existence of a dispute does not prove its non-existence
... There has thus arisen a situation in which the two sides hold clearly
opposive views concerning the questions of the performance or non performance
of treaty obligations. Confronted with such a situation, the Court must
conclude that intrnational dispute has arisen”
Dalam Case Concerning East Timor
(Portugal vs. Australia), Mahkamah Internasional (ICJ) menetapkan 4 kriteria
sengketa yaitu:
o
Didasarkan pada kriteria-kriteria
objektif. Maksudnya adalah dengan melihat fakta-fakta yang ada. Contoh: Kasus
penyerbuan Amerika Serikat dan Inggris ke Irak
o
Tidak didasarkan pada argumentasi salah
satu pihak. Contoh: USA vs. Iran 1979 (Iran case). Dalam kasus ini Mahkamah
Internasional dalam mengambil putusan tidak hanya berdasarkan argumentasi dari
Amerika Serikat, tetapi juga Iran.
o
Penyangkalan mengenai suatu peristiwa
atau fakta oleh salah satu pihak tentang adanya sengketa tidak dengan
sendirinya membuktikan bahwa tidak ada sengketa. Contoh: Case Concerning the
Nothern Cameroons 1967 (Cameroons vs. United Kingdom). Dalam kasus ini Inggris
menyatakan bahwa tidak ada sengketa antara Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris
mengatakan bahwa sengketa tersebut terjadi antara Kamerun dan PBB. Dari kasus
antara Inggris dan Kamerun ini dapat disimpulkan bahwa bukan para pihak yang
bersengketa yang memutuskan ada tidaknya sengketa, tetapi harus
diselesaikan/diputuskan oleh pihak ketiga.
o
Adanya sikap yang saling bertentangan/berlawanan
dari kedua belah pihak yang bersengketa.Contoh: Case Concerning the
Applicability of the Obligation to Arbitrate under section 21 of the United
Nations Headquarters agreement of 26 June 1947.
B. Peranan Hukum Dalam Penyelesaian
Sengketa International
Hubungan-hubungan
internasional yang diadakan antar negara tidak selamanya terjalin dengan baik.
Acapkali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat
bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antar negara
dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan,
dll. Manakala hal demikian itu terjadi, hukum internasional memainkan peranan,
yang tidak kecil dalam penyelesaiannya.
Upaya-upaya penyelesaian terhadapnya telah
menjadi perhatian yang cukup penting di masyarakat internasional sejak awal
abad ke- 20. Upaya-upaya ini ditujukan untuk menciptakan hubungan-hubungan antara
negara yang lebih baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan
internasional[5].
Dewasa
ini ada beberapa peran yang hukum internasional dapat mainkan dalam
menyelesaikan sengketa:
o
pada prinsipnya hukum internasional
berupaya agar hubungan-hubungan antar negara terjalin dengan persahabatan
(friendly relations among States) dan tidak mengharapkan adanya persengketaan;
o
hukum internasional memberikan
aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan
sengketanya;
o
hukum internasional memberikan
pilihan-pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara-cara, prosedur atau
upaya yang seyogyanya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya; dan
o
hukum internasional modern semata-mata
hanya menganjurkan cara penyelesaian secara damai; apakah sengketa itu sifatnya
antar negara atau antar negara dengan subyek hukum internasional lainnya. Hukum internasional tidak
menganjurkan sama sekali cara kekerasan atau peperangan.
Perang
telah digunakan negara-negara untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman mereka
mengenai aturan-aturan hukum internasional. Perang bahkan telah telah pula
dijadikan sebagai salah satu wujud dari tindakan negara yang berdaulat. Menteri
Luar Negeri AS Lansing pada tahun 1919 menyatakan bahwa “to declare war is one of the highest acts of sovereignty[6].
Bahkan para sarjana masih menyadari adanya praktek negara yang masih
menggunakan kekerasan atau perang untuk menyelesaikan sengketa dewasa ini.
Sebaliknya, cara damai belum dipandang sebagai aturan yang dipatuhi dalam
kehidupan atau hubungan antar negara. Sarjana terkemuka Rumania Ion Diaconu
antara lain menyatakan bahwa “in many
cases recourse to violence has been and continues to be used in international
relations, and the use of peaceful way and means is not yet the rule in
international life[7]”
Pada
umumnya metode penyelesaian sengketa internasional digolongkan dalam dua
kategori yaitu :
o
Cara-cara penyelesaiaan damai, yaitu
apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang
bersahabat.
o
Cara penyelesaiaan sengketa secara paksa
atau kekerasan , yaitu apabiala solusi yang dipakai atau dikenakan adalah
melalui kekerasan.
1.
Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional
Secara Damai atau Bersahabat.
a.
Negoisasi
Negosiasi
adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua
digunakan oleh umat manusia[8].
Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak
sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi ini tanpa adanya publisitas
atau menarik perhatian publik[9]. Alasan utamanya adalah karena dengan cara
ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap
penyelesaiannya didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak[10]
Negosiasi
dapat dilangsungkan melalui saluran-saluran diplomatik pada
konperensi-konperensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi
internasional.
b.
Pencarian Fakta (fact finding)
Metode
penyelesaian sengketa ini digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa
dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan untuk mencari dan mendengarkan
semua bukti-bukti yang bersifat internasional, yang relevan dengan
permasalahan.
Tujuan
dari pencari fakta (Fact Finding) yang paling utama adalah memberikan laporan
kepada para pihak mengenai fakta yang ada. Sedangkan tujuan lain dari
penyelesaian sengketa internasional dengan cara pencari fakta yaitu :
• Membetuk suatu dasar bagi penyelesaian
semgketa antar dua negara
• Mengawasi pelaksanaan suatu perjanijian
internasional.
• Memberikan informasi guna membuat putusan
ditingkat internasional
Dasar
hukum yang dipakai dalam fact finding adalah pasal 9 sampaim dengan 36 haque
convention on the pacific settlement of disputes tahun 1899 dan 1907..
c.
Good Offices (Jasa-jasa Baik)
Jasa-jasa
baik adalah suatu cara penyelesaian sengketa melalui pihak bantuan pihak yang
ketiga. Pihak ketiga ini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya
dengan negoisasi. Fungsi dari jasa-jasa baik yang paling utama adalah
memperemukan para pihak agar mereka mau bertemu, duduk bersama dan bernegoisasi
atau dikenal dengan nama fasilisator.
Keikut
sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa dapat dua macam yaitu atas
permintaan para pihak atau inisiatif pihak ketiga sendiri yang menawarkan
jasa-jasa baiknya guna menyelesaiakan sengketa. Dalam kedua cara ini, syarat
mutlak yang harus ada adalah kesepakatan para pihak[11].
d.
Mediasi
Yang
menjadi pihak ketiga ini organisasi internasional, negara ataupun individu.
Pihak ketiga ini dalam sengketa ini dinamakan mediator. Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak
yang netral berupa mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian
sengketa[12]
Fungsi
utamanya adalah mencari solusi (penyelesaian) mengidentifikasi, hal-hal yang
dapat disepakati para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri
sengketa, informal, dan bersifat aktif. Dalam proses negoisasi sesuai dengan
pasal 3 dan 4 haque convention on the pacific settlement of disputes (1907) yang
menyatakan bahwa usulan-usulan yang diberikan mediator janganlah dianggap
sebagai suatu tindakan yang bersahabat terhadap suatu pihak (yang merasa
merugikan).
e.
Konsiliasi
Konsiliasi
adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibandingkan
mediasi. Biasanya konsiliasi ini berbentuk badan konsiliasi yang dibentuk oleh
para pihak melalui perjanjian. Komisi ini berfungsi untuk menetapkan
persyaratan-persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak, sehingga
lebih formal atau luas karena ada aturan dan ada lembaga atau lembaganya.
.
Para pihak mendengarkan keterangan lisan para pihak dan dapat diwakkili oleh
kuasanya. Hasil fakta-fakta yang diperoleh konsilator (sebutan dari konsiliasi)
menyerahkan laporannya kepada para pihak dengan kesimpulan dan
usulan-usulannya, dan putusannya tidak mengikat karena diterima atau tidaknya
usulan tersebut tergantung sepenuhnya kepada para pihak[13].
f.
Arbitrasi
Biasanya
arbitase menunjukkan pada prosedur yang persis sama sebagaimana dalam hukum
nasional yaitu menyerahkana sengketa kepada orang-orang tertentu yang dinamakan
arbitrator, yang dipilih bebas oleh para pihak. Arbitasi adalah suatu institusi
yang sudah cukup tua tetapi sejarah baru
mencatatat pada tahun 1797, pada kasus jay treaty antara inggris dan amerika.
Yang mengatur joint mixed commission. Yang menyesaikan sengketa beberapa
peerselisihan tertentu yang tidak dapat diselesaikan selama perundingan di
traktat tersebut.suatu langkah penting telah diambil dalam pada tahun 1899
ketika konferensi the haque tidak hanya mengkodifikasi hukum arbitatrase tetapi
menjadikan landasan bagi pembentukan permanent court arbitration.
Lembaga
PCA tidak bersifat “tetap” pun bukan sebuah pengadilan. Permanent court of
arbitration sendiri tidak memiliki yurisdiksi yang spesifik. Sehingga hanya 20
kasus yang ditangani abtara lain muscat dhowe case 1905 antara inggris dan
perancis danNorth Atlantic Coast fisheries case 1910 antar inggris dan amerika
serikat. Meskipun ada kekurangan yang nyata menurut Hakim Manly O. Hudson,
permanent court arbitration merupakan suatu metode dan suatu prosedur[14].
Arbitrasi pada haikaknnya adalah suatu prosedur konsensus[15],
artinya negara-negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa dimuka arbitrase kecuali
mereka setuju untuk melakukan hal tersebut.
Pada
tahun 1966 bank dunia mendirikan badan ICSID (international Centre for the
Settlement of Investment Disputes). Terbentuknya Konvensi adalah sebagai akibat
dari situasi perekonomian dunia pada waktu1950-1960-an yaitu Khususnya dikala
beberapa negara berkembang menasionalisasi atau mengekspropriasi
perusahaan-perusahaan asing yang berada di dalam wilayahnya.
Di
antara kasus-kasus nasionalisasi yang langsung mempengaruhi dan menggerakkan
Bank Dunia membentuk Konvensi ini adalah kasus nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Perancis di Tunisia. Kasus ini bermula dengan tindakan
DPR Tunisia (the Tunisian National Assembly) yang mengeluarkan UU Nasionalisasi
tanahtanah milik orang asing (khususnya Perancis) pada tanggal 10 Mei 1964.
Negara-negara
yang bisa menjadi anggota konvensi ICSID adalah setiap anggota Bank Dunia.
Namun negara-negara bukan anggota Bank Dunia dapat menjadi anggota konvensi
asal negara tersebut adalah anggota pada Statuta Mahkamah Internasional. Sampai
1993, 105 negara telah menjadi anggota pada konvensi ini. ICSID dikelola oleh
suatu administrative Council (Dewan Administratif). Setiap negara peserta
konvensi memiliki seorang wakil dan memiliki satu suara. Dewan ini memiliki
ketua ex officio, yaitu Presiden Bank Dunia. Badan utama struktur organisasi
ICSID adalah Secretary General (Sekjen). Ia berfungsi sebagai registrar
(pendaftar atau panitera). ICSID menyimpan daftar nama untuk dicantumkan ke
dalam suatu panel arbitrase atau konsiliasi. Setiap negara peserta konvensi
dapat menunjuk 4 orang arbitrator atau konsiliator ke dalam masing-masing
daftar panel tersebut. Mereka dapat warganegaranya atau orang asing. Ketua
Dewan Admintratif dapat menunjuk 10 orang pada masing-masing panel.
Contoh
lain dalam sengketa di ICSID ini adalah sengketa antara KPC dan pemerintah
Kaltim, Pemprov Kaltim telah mencabut gugatan sengketa divestasi melalui ICSID
pada 2008 saat era Gubernur Kaltim Yurnalis Ngayoh. Dampak pencabutan itu,
Pemprov Kaltim bakal menerima kompensasi senilai Rp 285 miliar, tetapi hingga
kini belum dibayar KPC[16].
g.
Penyelesaian Yudisial.
Penyelesaiaan yudisial
berarti suatu penyelesaian yang dihasilkan melalui suatu yang penagdilan
internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya, dengan memberlakukan
kaidah-kaidah hukum. Salah satunya “organ umum[17]”
untuk penyelesaian yudisial yang saat ini tersedia dalam masyarakat inetrnasional adalah International Court of justice di the Haque yang menggantikan dan
melanjutkan kontinuitas Permanent Court
of International Justice. Pengukuhan lembaga ini dilaksanakan pada tanggal
18 april 1946 oleh dewan majelis PBB.
Intenational Court of
justice dibentuk berdasarkan Bab IV (pasal 92-96) Charter PBB yang dirumuskan
di san fransisico pada tahun 1945. Mahkamah Internasional terdiri dari 15
hakim, dua merangkap ketua dan wakil ketua, masa jabatan 9 tahun. Anggotanya
direkrut dari warga Negara anggota yang dinilai cakap di bidang hukum
internasional. Lima berasal dari Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB
seperti Cina, Rusia, Amerika serikat, Inggris dan Prancis.
Fungsi Mahkamah
Internasional Adalah menyelesaikan kasus-kasus persengketaan internasional yang
subyeknya adalah Negara. Ada 3 kategori Negara, yaitu :
•
Negara anggota PBB, otomatis dapat
mengajukan kasusnya ke Mahkamah Internasional.
•
Negara bukan anggota PBB yang menjadi
wilayah kerja Mahkamah intyernasional. Dan yang bukan wilayah kerja Mahkamah
Internasional boleh mengajukan kasusnya ke Mahkamah internasional dengan syarat
yang ditentukan dewan keamanan PBB
•
Negara bukan wilayah kerja (statute)
Mahkamah internasional, harus membuat deklarasi untuk tunduk pada ketentuan
Mahjkamah internasional dan Piagam PBB.
ICJ merupakan salah
satu dari 6 organ utama PBB. Namun badan ini memiliki kedudukan khusus
dibandingkan 5 organ utama lainnya. ICJ atau Mahkamah tidak memiliki hubungan
hierarkhis dengan badan-badan utama PBB lainnya[18].
Ia benar-benar lembaga hukum dalam sebagai suatu pengadilan. Ia bukan pula
pengadilan konstitutsi (Constitutional
Court) yang memiliki kewenangan untuk meninjau (mereview) putusan-putusan
politis yang dibuat oleh Dewan Keamanan[19].
Ia menggunakan nama resmi ICJ dan tidak menggunakan simbol atau nama PBB dalam
putusannya.
kedudukan ICJ ini
memang unik. Kedudukan seperti ini memang perlu dipertahankan. Sebagai salah satu
organ utama PBB, ia harus benar-benar menunjukkan kemandiriannya sebagai suatu
organ atau badan pengadilan.
Jurisdiksi Mahkamah
Internasional mencakup dua hal: 1 Jurisdiksi atas pokok sengketa yang
diserahkannya (contentious jurisdiction); dan 2 non-contentious jurisdiction
atau jurisdiksi untuk memberikan nasihat hukum (advisory jurisdiction). Tindakann
perlindungan sementara ini termasuk juga ke dalam jurisdiksi Mahkamah, yakni
berada dalam ruang lingkup jurisdiksi yang disebut incidental jurisdiction.
Berdasarkan jurisdiksi ini, Mahkamah memiliki wewenang untuk menyatakan
diberlakukannya suatu tindakan-tindakan perlindungan sementara, membolehkan
suatu intervensi dan manafsirkan atau merubah suatu putusan[20].
Sesuai dengan namanya,
tindakan perlindungan sementara ini berkaitan dengan perlindungan hak-hak para
pihak sementara persidangan atas pokok sengketanya sendiri sedang berlangsung Dasar
hukum yang mendasari jurisdiksi seperti ini terdapat dalam Pasal 41 Statuta ICJ
yang berbunyi:
•
The
Court shall have the power to indicate, if it considers that circumstances so
require, any provisional measures which ought to be taken to preseve the
respective rights of either party;
•
Pending
the final decision, notice of the measures suggested shall forthwith be given
to the parties and to the Security Council.
Dasar
pembenaran pemberian perlindungan ini berasal dari prinsip hukum yang sudah
mendasar yakni bahwa putusan suatu pengadilan haruslah efektif. Karenanya,
sangatlah penting bagi pengadilan untuk mencegah salah satu atau kedua belah
pihak untuk mengganggu situasi atau mencoba untuk membuat pihak lainnya fait
accompli[21].
2.
Cara-cara Penyelesaian Paksa atau
Kekerasan
a.
Perang dan Tindakan bersenjata Non
perang
Keseluruhan
tujuan perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan mebebankan syarat-syarat
penyelesaiaan diamana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternative
lain selain mematuhinya.
b.
Retorsi (retorsion)
Retorsi
adalah istilah teknik pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap
tindakan-tindakan yang tidak pantas aatau tidak patut dari negara lain, balas
dendam tersebut dilakuakna dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak
bersahabat didalam konferensi negara yang kehormatannya dihina: misalnya
merenggangnya hubungan diplomati anta 2 negara, pencabutan previllage
diplomatic dan lain-lain[22].
c. Tindakan-tindakan
Pembalasan (Repraisals)
Pembalasan
adalah tindakan yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya
ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang
besifat pembalasan. Saat ini praktek pembalasan hanya dibenarkan, apabila
negara yang dituju oleh pembalasan ini bersalah melakukan tindakan yang
sifatnya merupakan pelanggaran internasional. Contoh nyata tindkan pembalsan,
misalnya pengusiran orang-orang hungaria dari Yugoslavia pada tahun 1935, yang
merupakan balas dendam dari pembunuhan raja Alexander dari yugoslavia.
d. Blokade
Secara Damai (pacific Blokade)
Blokade secara
damai adalah suatu tindakan yang dilakukan secara damai. Kadang-kadang
dilakukan sebagi suatu pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk
memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk mentaati permintaan ganti rugi
kerugian yang diderita oleh negara untuk meblokade.
Ada beberapa
manfaat nyata dalam pengunaan blokade damai. Tindakan ini merupakan cara yang
jauh dari kekerasan disbanding dengan perang dan blokade yang sifatnya
fleksibel.
C.
Kesimpulan
Dari uraian
diatas, Peranan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional
ada 4 macam yaitu antara laian :
1. pada
prinsipnya hukum internasional berupaya agar hubungan-hubungan antar negara
terjalin dengan persahabatan (friendly relations among States) dan tidak
mengharapkan adanya persengketaan;
2. hukum
internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang
bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya;
3. hukum
internasional memberikan pilihan-pilihan yang bebas kepada para pihak tentang
cara-cara, prosedur atau upaya yang seyogyanya ditempuh untuk menyelesaikan
sengketanya; dan
4. hukum
internasional modern semata-mata hanya menganjurkan cara penyelesaian secara
damai; apakah sengketa itu sifatnya antar negara atau antar negara dengan
subyek hukum internasional lainnya.
Hukum internasional tidak menganjurkan sama sekali cara kekerasan atau
peperangan.
Hadirnya
lembaga-lembaga atau mekanisme penyelesaian sengketa yang diciptakan oleh
masyarakat internasional pada umumnya ditujukan untuk suatu maksud utama, yakni
memberi cara mengenai bagaimana seyogyanya senqketa internasional diselesaikan
secara damai. Peran hukum internasional dalam penyelesaian sengketa ini cukup
penting. Hukum internasional tidak semata-mata mewajibkan penyelesaian secara
damai, hukum internasional ternyata pula memberi kebebasan seluas-luasnya
kepada negara-negara untuk menerapkan atau memanfaatkan mekanisme penyelesaian
sengketa yang ada baik yang terdapat dalam Piagam PBB, perjanjian atau konvensi
internasional yang negara-negara yang bersengketa telah mengikatkan dirinya.
Semua ini menunjukkan dan memperkuat tujuan akhir dari hukum internasional
mengenai penyelesaian sengketa ini yaitu penyelesaian secara damai dan tidak
menghendaki penyelesaian secara kekerasan (militer).
[1] L.
Oppenheim. International law, A treatise,
8th Edition, 1955,p.4
[2] J.L.
Brierly, The law of Nations, 5th edition, 1955,p.4
[3]
-Henkin c.s. International Law, cases and
materials, West Publishing Company, 1993, p. XVII
- Gerhard Von Glahn, Law Among Nation, Sevent edition 1996, p.2.
- David Ruzie, Droit Internasional Public. 14® edition, Momentos, Dallos, 1999, p.1
[4]
Martin Dixon and Robert McCorquodale,
Cases and Materials on International Law, London: Blackstone Press Ltd.,
1991, hlm. 511.
[5] Ion Diaconu, peaceful Settlement of Disputes between States: History and Prospects,'
dalam R. St. J. MacDonald and Douglas M. Johnston (eds) , The Structure and Process of International Law: Essays in Legal
Philosophy Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, 1986, hlm.
1095.
[6] Lauterpacht, Recognition in international
Law (1947) p. 5, dikutip dalam Sette-Camara, op.cit., dalam. M. Bedjaoui
(ed.), op.cit., hlm. 520.
[8] W. Poeggel and E. Oeser, "Methods of Diplomatic Settlement,"
dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International
Law: Achievements and Prospects, Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers and
UNESCO, 1991, hlm. 514
[9] F.V.
Garcia-Amador, The Changing Law of
International Claims, USA: Oceana Publications, Inc., 1984, hlm. 518
[10] Peter
Behrens, "Alternative Methods of
Dispute Settlement in International Economic Relations," dalam:
Ernst-Ulrich Petersmann and Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Dispute in International and
National Economic Law, Fribourg U.P., 1992, hlm. 14
[11] Peter
Behrens, op. cit., hlm. 17
[12] W.
Poeggel and E. Oeser, op.cit., hlm. 515
[13] Peter
Behrens, op. cit., hlm. 23.
[14]
Hudson, International tribunal (1944), hal 8.
[15] Advisory opinion on the status of eastern
carelia (1923) Pub PCIJ series B, No 5, hal 27.
[16] http://tekno.kompas.com/read/2010/01/13/17340751/Sengketa.Divestasi.KPC.Berakhir.
[17]
Yang berbeda dari suatu pengadilan yudisial regional, seperti court of justice of the european communities
yang berdasarkan traktat-trakta tanggal 18 april 1951 dan 25 maret 1957.
[18] Peter Malanczuk, Akehurst's Modern
Introduction to International Law, London: Routledge, 7th.rev.ed., 1997, hlm 282
[20] J.G.
Merrills, op.cit., hlm. 16.
[21] .G.
Merrills, op.cit., hlm. 16.
[22] Lihat
Richard B. Lillich “forcible shelp-help
under international law”, 62 US naval war college international law
studies.
terimakasih sudah berbagi ilmu. sangat bermanfaat
BalasHapusini nih yang disukain, referensinya jelas banget mantap
BalasHapusterimaksih telah berbagi pengetahuan
BalasHapus