Home

4.24.2011

Perkembangan poligami dalam hukum adat


Masyarakat hukum adat di indonesia pada umumnya mengenal perkawinan seorang suami dengan banyak istri terutama di kalangan raja-raja adat, bangsawan adat, di berbagai daerah, baik pada masyarakat yang menganut agama hindu/buddha, kristen maupun islam. Banyaknya istri dari para pemuka adat itu biasanya tidak terbatas, tergantung pada keadaan setempat. Dalam abad 17-18 sultan banten mempunyai berpuluh-puluh istri, sampai akhir perang dunia kedua di lampung ada kepala marga yang istrinya belasan.  Zaman itu banyak istri adalah kebanggaan dan kaum wanita pun ketika iytu bangga jika dapat dipersunting keturunan raja.

Menurut adat lokal seperti halnya berlaku dikalangan orang-orang pepaduan di Lampung, yang juga nampak di daerah-daerah lain di Indonesia, para isteri raja adat itu mempunyai kedudukan yang berbeda-beda, tergantung asal usul dari mana wanita yang diperisteri itu. Kedudukan mereka yang bebeda berakibat anak-anak keturunannya berbeda pula kedudukan adatnya. Poligami dalam hukum adat ini dulunya mendapat respon yang positif dari kalangan masyarakat, karena itu tadi, bahwa kebanyakan kaum wanita menyukai apabila dipersunting oleh raja, bagi wanita yang menjadi isteri raja merupakan sebagai kebanggaan juga bagi dirinya, apalagi bagi keturunannyanya yang berasal dari raja.
Perhatikan gambaran berikut dalam masyarakat lampung beradat pepadun. Isteri ratu berasala dari putri anak raja adat yang lain, yang kawin dengan upacara adat besar (ibal serbow), naik tahta adat (cakak pepadun). Setelah kawin berkedudukan sebagai permaisuri, bertugas dan berperan mendampingi kedudukan kepunimbangan bumi/marga suami.perlengkapan pakaian adat (perkawinan)-nya lengkap memakai siger (mahkota kuning emas), tarub (berdaun kembar), dengan baju dan payung berwarna putih.
Isteri perunggu adalah isteri kawin dan berkedudukan menunggu dimuka kamar perumpu ( kamar permaisuri) sebelum atau sesudah suaminya mendapatkan isteri ratu, Ia berasal dari bangsawan yang bertingkat menengah, yang ketika kawin dengan upacara bumbang aji. Isteri pembantu adalah isteri yang berasal dari keturunan bangsawan yang tingkat tiga, yang kedudukan sebagi punyimbang Raja atau Punyimbang Suku. Sedngakn isteri beduwa adalah isteri keturunan yang dikarenakan orang tuanya berasal mempunyai asal-usul yang tidak tentu.
Dalam suku dayak poligami dikenal dengan nama hajambua yang pengaturannya sama dengan peraturan undang-undang nomor tahun 1974, yang hanya memperbolehkan perkawinan hajambua hanya dapat terjadi bila mendapatkan persetujuan dari isteri yang pertamanya dan suaminya sanggup bersikap adil dan dijamin kehidupan yang layak dan juga dapat memnuhi syarat-syarat adat.
Dalam suku jawa  Raja-raja di Jawa pada zaman dahulu sudah biasa memakai cara “garwa padmi” (permaysuri resmi), dan “garwa selir” (istri ampean) yang jumlahnya tidak terbatas, menurut keperluan. Dan merupakan suatu kehormatan bagi seorang perempuan jika dapat diambil menjadi “garwa selir” oleh Raja atau Pangeran.
Sedangkan dalam suku badui Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
Hukum agama yang mengatur tentang poligami adalah hukum islam dan juga hukum hindu, sedangkan hukum kristen/katolik dan budha indonesia tidak memperkenankan poligami. Hal mana tidak berarti larangan poligami sudah benar-benar di taati oleh anggota masyarakat, walaupun sifatnya tidak resmi. Hingga sekarang masih terdengar istilah istri peliharaan, baku piara, nepa piara, manggih kaya, istri simpanan, hidup bersama, kesemuanya itu bersifat poligami bagi orang yang sudag beristri, terlepas dari syah tidaknya perkawinan mereka.
Menurut hukum islam poligami di atur dalam al-qur’an surat an- nissa ayat 3 yang maksudnya, “dan  jika kamu takut tidak dapat berlaku adil  (hak-hak) wanita yatim (jika kamu mengawininya), maka kawinilah wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.
Wahyu tuhan itu jelas menunjukan bahwa umat islam boleh kawin dengam 4 isteri dalam waktu bersamaan, dengan syarat dapat erlaku adil. Yang dimaksud dengan kata dapat berlaku adil, adalah dapat memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya, sandang pangan, tempat kediamannya, giliran mengunjungi, pemeliharaan dan pendidikan anak-anak, budi pekerti dan agama mereka; tidak menimbulkan kericuhan keluarga terus menerus dan sebagainya. Jika tidak sanggup berkahu adil cukuplah kawin dengan 1 isteri. Jadi islam memebolehkan manusia beristeri sampai 4 orang, boleh poligami, tetapi poligami tertutup atau terbatas.
Menurut hukum agama kristen/katolik perkawinan poligami dilarang, oleh karena ia menganut asas monogami tertutup jadi sesuai dengan kaidah pasal 27 KUH Perdata bahwa dalam waktu yang sama seorang pria hanya boleh mempunyai satu orang wanitasebagai isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang pria sebagai suaminya. Walaupun demikian dalam penerapannya masih banyak umat katolik yang tidak mentaatinya, mungkin karena pengaruh nafsu manusia dan lingkungan hukum adat yang masih mempengaruhi mereka.
Menurut hukum agama budha indoneisa yang berbeda dari dunia lain (seperti di tibet) juga menganut asas monogami (pasal 3 KPAB). Tetapi menurut hukum perkawinan agama hindu terutama yang nampak di bali, poligami sampai empat istri tidak dilarang, sebagai mana dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra yang membolehkan perkawinan poligami bagi golongan brahmana, ksatria, dan waisha, sedangkan bagi golongan sudra dilarang. Dasar pelarangannya ialah karena golongan sudra dianggap sosial ekomoninya lemah, sedangkan bagi ke tiga golongan warna di atas sudra dianggap kuat sekali sosial ekomoninya. Asas anuloma (menurut garis menurun) dan asas patriloma (menurut garis mendaki) ini di masa sekarang tidak dapat diterapkan lagi karena emansipasi sosial.
Dalam hal ini adalah Pegawai Negara Sipil, yang dimaksud Pegawai Negara Sipil menurut UU no. 8-1974 tentang pokok-pokok Kepegawaian ialah meliputi Pegawai Negara Sipil Pusal dan Pegawai Negara Sipil Daerah, termasuk calon Pegawai Negara Sipil dan yang dipersamakan ialah Pegawai bulanan di samping pensiun, Pegawai Bank Milik Negara, Pegawai Badan Usaha Milik Negara, Pegawai Bank Milik Daerah, Pegawai Badan Usaha Milik Daerah dan Kepala Desa, Perangkat Desa dan Petugas yang melenyelenggarakan urusan Pemerintah di Desa. Perkawinan bagi Pegawai negeri Sipil itu diatur dalam aturan Peraturan Pemerintah (PP) no 10 tahun 1983 tentang izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negara Sipil.
Pegawai Negara Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama, termasuk yang sudah duda atau janda yang akan melangsungkan perkawinan, wajib memberitahukannya secara tertulis kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam waktu selambat-lambatnya satu tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan (Pasal 2 ayat 1-2 PP 10-1983).
Apabila Pegawai Negara Sipil pria akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat. Yang dimaksud Pejabat adalah Penteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi Negara, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Pimpinan Bank Milik Negara, Pimpinan Bank Milik Daerah, Pimpinan Badan Usaha Milik Darah. (pasal 1b PP10-1983).
Permintaan izin sebagaimana dimaksudkan diajukan secara tertulis dengan harus mencantumkan alasan yang lengkap mendasari permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga ataupun keempar. (pasal 4 ayat 4-5) permintaan izin itu diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki dan setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negara Sipil dalam lingkungannya, wajib mempertimban-timbangkan dan meneruskannya kepada pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan itu (pasal 5 ayat 2).
Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari seorang atau menjadi isteri kedua/ketiga/keempat, wajib memerhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negara Sipil bersangkutan. Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negara Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan. Sebelum mengambil keputusan, pejabat memanggil Pegawai Negara Sipil bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat (pasal 9 ayat 2 dan 3).
Pejabat bersankutan tidak memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang apabila hal tersebut bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negara Sipil bersangkutan, ketika memenuhi syarat alternative (isteri tidak dapat memenuhi kewajiban isteri) dan ketiga syarat kumulatif (persetujuan tertulis dari isteri) tersebut, bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat dan atau ada kemmungkinan menggangu pelaksanaan tugas kedinasan. Sedangkan bagi Pegawai Negara Sipil wanita tidak di izinkan untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari Pegawai Negara Sipil (pasal 4 ayat 2).

4.20.2011

PERANAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENYELESAAINA SENGKETA INTERNASIONAL


Pada umumnya hukum internasional diartikan himpunan peraturan-peraturan dan ketetntuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional. Definisi hukum internasional yang diberikan oleh para pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu seperti oppenheim[1]  dan brierly[2], terbatas pada negara sebagi satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek hukum lainnya.
Namun, dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada paruh kedua abad XX dan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi  internasional, kelompok-kelompok supranasional, dan gerakan-pembebasan pembebasan nasional. Bahkan, dalam hal tertentu, hukum internasional juga diberlakukan terhadap individu-individu dalam hubungannya dengan negara-negara[3].
Menurut pendapat Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H.  Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah – kaidah dan asas – asas hukum dan mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas – batas negara yaitu hubungan internasional yang tidak bersifat perdata sedangkan menurut Charles Chery Hyde yang dikutip oleh J.G Starke ia mengatakan bahwa Hukum Internasional sebagai sekumpulan hukum yang terbesar yang terdiri atas prinsip – prinsip peraturan tingkah laku dimana negara itu sendiri merasa terikat dan menghormatinya, oleh karena itu juga harus menghormati dalam hubungan antara mereka  satu dengan yang lainnya yang mencakup :
o   Peraturan – peraturan hukum yang berkaitan dengan fungsi – fungsi lembaga atau organisasi Internasional, hubungan antara organisasi Internasional itu satu dengan lainnya, hubungan antara organisasi Internasional dengan negara tersebut dan hubungan antara organisasi Internasional dengan individu.
o   Peraturan – peraturan tertentu yang berkenaan dengan individu dan subyek – subyek hukum bukan negara atau Non States Entities sepanjang hak – hak dan kewajiban – kewajiban individu dan subyek – subyek hukum negara itu, bersangkut paut dengan masalah Internasional.

A.    Definisi sengketa internasional
Mahkamah Internasional Permanen dalam sengketa Mavrommatis Palestine Concessions (Preliminary Objections) (1924) mendifinisikan pengertian sengketa sebagai: 'disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or interest between two persons. Mahkamah internasional dalam pendapat bukumnya (AdvisoryOpinion) dalam kasus “Interpretation of Peace Treaties Case (1950, ICJ Rep 65) menyatakan bahwa untuk ada tidaknya suatu sengketa Internasional harus ditentukan secara obyektif
Menurut Mahkamah, sengketa internasional adalah suatu situasi di mana dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanaken atau tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian. Selengkapnya Mahkamah ini menyatakan[4]
"whether there exists an international dispute is matter for objective determination. The mere denial of the existence of a dispute does not prove its non-existence ... There has thus arisen a situation in which the two sides hold clearly opposive views concerning the questions of the performance or non performance of treaty obligations. Confronted with such a situation, the Court must conclude that intrnational dispute has arisen
Dalam Case Concerning East Timor (Portugal vs. Australia), Mahkamah Internasional (ICJ) menetapkan 4 kriteria sengketa yaitu:
o   Didasarkan pada kriteria-kriteria objektif. Maksudnya adalah dengan melihat fakta-fakta yang ada. Contoh: Kasus penyerbuan Amerika Serikat dan Inggris ke Irak
o   Tidak didasarkan pada argumentasi salah satu pihak. Contoh: USA vs. Iran 1979 (Iran case). Dalam kasus ini Mahkamah Internasional dalam mengambil putusan tidak hanya berdasarkan argumentasi dari Amerika Serikat, tetapi juga Iran.
o   Penyangkalan mengenai suatu peristiwa atau fakta oleh salah satu pihak tentang adanya sengketa tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa tidak ada sengketa. Contoh: Case Concerning the Nothern Cameroons 1967 (Cameroons vs. United Kingdom). Dalam kasus ini Inggris menyatakan bahwa tidak ada sengketa antara Inggris dan Kamerun, bahkan Inggris mengatakan bahwa sengketa tersebut terjadi antara Kamerun dan PBB. Dari kasus antara Inggris dan Kamerun ini dapat disimpulkan bahwa bukan para pihak yang bersengketa yang memutuskan ada tidaknya sengketa, tetapi harus diselesaikan/diputuskan oleh pihak ketiga.
o   Adanya sikap yang saling bertentangan/berlawanan dari kedua belah pihak yang bersengketa.Contoh: Case Concerning the Applicability of the Obligation to Arbitrate under section 21 of the United Nations Headquarters agreement of 26 June 1947.
B.     Peranan Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa International
Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antar negara tidak selamanya terjalin dengan baik. Acapkali hubungan itu menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antar negara dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dll. Manakala hal demikian itu terjadi, hukum internasional memainkan peranan, yang tidak kecil dalam penyelesaiannya.
 Upaya-upaya penyelesaian terhadapnya telah menjadi perhatian yang cukup penting di masyarakat internasional sejak awal abad ke- 20. Upaya-upaya ini ditujukan untuk menciptakan hubungan-hubungan antara negara yang lebih baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional[5].
Dewasa ini ada beberapa peran yang hukum internasional dapat mainkan dalam menyelesaikan sengketa:
o   pada prinsipnya hukum internasional berupaya agar hubungan-hubungan antar negara terjalin dengan persahabatan (friendly relations among States) dan tidak mengharapkan adanya persengketaan;
o   hukum internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya;
o   hukum internasional memberikan pilihan-pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara-cara, prosedur atau upaya yang seyogyanya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya; dan
o   hukum internasional modern semata-mata hanya menganjurkan cara penyelesaian secara damai; apakah sengketa itu sifatnya antar negara atau antar negara dengan subyek hukum internasional  lainnya. Hukum internasional tidak menganjurkan sama sekali cara kekerasan atau peperangan.
Perang telah digunakan negara-negara untuk memaksakan hak-hak dan pemahaman mereka mengenai aturan-aturan hukum internasional. Perang bahkan telah telah pula dijadikan sebagai salah satu wujud dari tindakan negara yang berdaulat. Menteri Luar Negeri AS Lansing pada tahun 1919 menyatakan bahwa “to declare war is one of the highest acts of sovereignty[6]. Bahkan para sarjana masih menyadari adanya praktek negara yang masih menggunakan kekerasan atau perang untuk menyelesaikan sengketa dewasa ini. Sebaliknya, cara damai belum dipandang sebagai aturan yang dipatuhi dalam kehidupan atau hubungan antar negara. Sarjana terkemuka Rumania Ion Diaconu antara lain menyatakan bahwa “in many cases recourse to violence has been and continues to be used in international relations, and the use of peaceful way and means is not yet the rule in international life[7]
Pada umumnya metode penyelesaian sengketa internasional digolongkan dalam dua kategori yaitu :
o   Cara-cara penyelesaiaan damai, yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat.
o   Cara penyelesaiaan sengketa secara paksa atau kekerasan , yaitu apabiala solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.
1.      Cara-cara Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai atau Bersahabat.
a.       Negoisasi
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan oleh umat manusia[8]. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling penting. Banyak sengketa diselesaikan setiap hari oleh negosiasi ini tanpa adanya publisitas atau menarik perhatian publik[9].  Alasan utamanya adalah karena dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaiannya didasarkan pada kesepakatan atau konsensus para pihak[10]
Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluran-saluran diplomatik pada konperensi-konperensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
b.      Pencarian Fakta (fact finding)
Metode penyelesaian sengketa ini digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang bersifat internasional, yang relevan dengan permasalahan.
Tujuan dari pencari fakta (Fact Finding) yang paling utama adalah memberikan laporan kepada para pihak mengenai fakta yang ada. Sedangkan tujuan lain dari penyelesaian sengketa internasional dengan cara pencari fakta yaitu :
     Membetuk suatu dasar bagi penyelesaian semgketa antar dua negara
     Mengawasi pelaksanaan suatu perjanijian internasional.
     Memberikan informasi guna membuat putusan ditingkat internasional
Dasar hukum yang dipakai dalam fact finding adalah pasal 9 sampaim dengan 36 haque convention on the pacific settlement of disputes tahun 1899 dan 1907..
c.       Good Offices (Jasa-jasa Baik)
Jasa-jasa baik adalah suatu cara penyelesaian sengketa melalui pihak bantuan pihak yang ketiga. Pihak ketiga ini berupaya agar para pihak menyelesaikan sengketanya dengan negoisasi. Fungsi dari jasa-jasa baik yang paling utama adalah memperemukan para pihak agar mereka mau bertemu, duduk bersama dan bernegoisasi atau dikenal dengan nama fasilisator.
Keikut sertaan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa dapat dua macam yaitu atas permintaan para pihak atau inisiatif pihak ketiga sendiri yang menawarkan jasa-jasa baiknya guna menyelesaiakan sengketa. Dalam kedua cara ini, syarat mutlak yang harus ada adalah kesepakatan para pihak[11].
d.      Mediasi
Yang menjadi pihak ketiga ini organisasi internasional, negara ataupun individu. Pihak ketiga ini dalam sengketa ini dinamakan mediator.  Biasanya ia dengan kapasitasnya sebagai pihak yang netral berupa mendamaikan para pihak dengan memberikan saran penyelesaian sengketa[12]
Fungsi utamanya adalah mencari solusi (penyelesaian) mengidentifikasi, hal-hal yang dapat disepakati para pihak serta membuat usulan-usulan yang dapat mengakhiri sengketa, informal, dan bersifat aktif. Dalam proses negoisasi sesuai dengan pasal  3 dan 4 haque convention on the pacific settlement of disputes (1907) yang menyatakan bahwa usulan-usulan yang diberikan mediator janganlah dianggap sebagai suatu tindakan yang bersahabat terhadap suatu pihak (yang merasa merugikan).
e.       Konsiliasi
Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibandingkan mediasi. Biasanya konsiliasi ini berbentuk badan konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak melalui perjanjian. Komisi ini berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak, sehingga lebih formal atau luas karena ada aturan dan ada lembaga atau lembaganya.
. Para pihak mendengarkan keterangan lisan para pihak dan dapat diwakkili oleh kuasanya. Hasil fakta-fakta yang diperoleh konsilator (sebutan dari konsiliasi) menyerahkan laporannya kepada para pihak dengan kesimpulan dan usulan-usulannya, dan putusannya tidak mengikat karena diterima atau tidaknya usulan tersebut tergantung sepenuhnya kepada para pihak[13].
f.       Arbitrasi
Biasanya arbitase menunjukkan pada prosedur yang persis sama sebagaimana dalam hukum nasional yaitu menyerahkana sengketa kepada orang-orang tertentu yang dinamakan arbitrator, yang dipilih bebas oleh para pihak. Arbitasi adalah suatu institusi  yang sudah cukup tua tetapi sejarah baru mencatatat pada tahun 1797, pada kasus jay treaty antara inggris dan amerika. Yang mengatur joint mixed commission. Yang menyesaikan sengketa beberapa peerselisihan tertentu yang tidak dapat diselesaikan selama perundingan di traktat tersebut.suatu langkah penting telah diambil dalam pada tahun 1899 ketika konferensi the haque tidak hanya mengkodifikasi hukum arbitatrase tetapi menjadikan landasan bagi pembentukan permanent court arbitration.
Lembaga PCA tidak bersifat “tetap” pun bukan sebuah pengadilan. Permanent court of arbitration sendiri tidak memiliki yurisdiksi yang spesifik. Sehingga hanya 20 kasus yang ditangani abtara lain muscat dhowe case 1905 antara inggris dan perancis danNorth Atlantic Coast fisheries case 1910 antar inggris dan amerika serikat. Meskipun ada kekurangan yang nyata menurut Hakim Manly O. Hudson, permanent court arbitration merupakan suatu metode dan suatu prosedur[14]. Arbitrasi pada haikaknnya adalah suatu prosedur konsensus[15], artinya negara-negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa dimuka arbitrase kecuali mereka setuju untuk melakukan hal tersebut.
Pada tahun 1966 bank dunia mendirikan badan ICSID (international Centre for the Settlement of Investment Disputes). Terbentuknya Konvensi adalah sebagai akibat dari situasi perekonomian dunia pada waktu1950-1960-an yaitu Khususnya dikala beberapa negara berkembang menasionalisasi atau mengekspropriasi perusahaan-perusahaan asing yang berada di dalam wilayahnya.
Di antara kasus-kasus nasionalisasi yang langsung mempengaruhi dan menggerakkan Bank Dunia membentuk Konvensi ini adalah kasus nasionalisasi perusahaan-perusahaan Perancis di Tunisia. Kasus ini bermula dengan tindakan DPR Tunisia (the Tunisian National Assembly) yang mengeluarkan UU Nasionalisasi tanahtanah milik orang asing (khususnya Perancis) pada tanggal 10 Mei 1964.
Negara-negara yang bisa menjadi anggota konvensi ICSID adalah setiap anggota Bank Dunia. Namun negara-negara bukan anggota Bank Dunia dapat menjadi anggota konvensi asal negara tersebut adalah anggota pada Statuta Mahkamah Internasional. Sampai 1993, 105 negara telah menjadi anggota pada konvensi ini. ICSID dikelola oleh suatu administrative Council (Dewan Administratif). Setiap negara peserta konvensi memiliki seorang wakil dan memiliki satu suara. Dewan ini memiliki ketua ex officio, yaitu Presiden Bank Dunia. Badan utama struktur organisasi ICSID adalah Secretary General (Sekjen). Ia berfungsi sebagai registrar (pendaftar atau panitera). ICSID menyimpan daftar nama untuk dicantumkan ke dalam suatu panel arbitrase atau konsiliasi. Setiap negara peserta konvensi dapat menunjuk 4 orang arbitrator atau konsiliator ke dalam masing-masing daftar panel tersebut. Mereka dapat warganegaranya atau orang asing. Ketua Dewan Admintratif dapat menunjuk 10 orang pada masing-masing panel.
Contoh lain dalam sengketa di ICSID ini adalah sengketa antara KPC dan pemerintah Kaltim, Pemprov Kaltim telah mencabut gugatan sengketa divestasi melalui ICSID pada 2008 saat era Gubernur Kaltim Yurnalis Ngayoh. Dampak pencabutan itu, Pemprov Kaltim bakal menerima kompensasi senilai Rp 285 miliar, tetapi hingga kini belum dibayar KPC[16].
g.      Penyelesaian Yudisial.
Penyelesaiaan yudisial berarti suatu penyelesaian yang dihasilkan melalui suatu yang penagdilan internasional yang dibentuk sebagaimana mestinya, dengan memberlakukan kaidah-kaidah hukum. Salah satunya “organ umum[17]” untuk penyelesaian yudisial yang saat ini tersedia dalam masyarakat  inetrnasional adalah International Court of justice di the Haque yang menggantikan dan melanjutkan kontinuitas Permanent Court of International Justice. Pengukuhan lembaga ini dilaksanakan pada tanggal 18 april 1946 oleh dewan majelis PBB.
Intenational Court of justice dibentuk berdasarkan Bab IV (pasal 92-96) Charter PBB yang dirumuskan di san fransisico pada tahun 1945. Mahkamah Internasional terdiri dari 15 hakim, dua merangkap ketua dan wakil ketua, masa jabatan 9 tahun. Anggotanya direkrut dari warga Negara anggota yang dinilai cakap di bidang hukum internasional. Lima berasal dari Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti Cina, Rusia, Amerika serikat, Inggris dan Prancis.
Fungsi Mahkamah Internasional Adalah menyelesaikan kasus-kasus persengketaan internasional yang subyeknya adalah Negara. Ada 3 kategori Negara, yaitu :
            Negara anggota PBB, otomatis dapat mengajukan kasusnya ke Mahkamah Internasional.
            Negara bukan anggota PBB yang menjadi wilayah kerja Mahkamah intyernasional. Dan yang bukan wilayah kerja Mahkamah Internasional boleh mengajukan kasusnya ke Mahkamah internasional dengan syarat yang ditentukan dewan keamanan PBB
            Negara bukan wilayah kerja (statute) Mahkamah internasional, harus membuat deklarasi untuk tunduk pada ketentuan Mahjkamah internasional dan Piagam PBB.
ICJ merupakan salah satu dari 6 organ utama PBB. Namun badan ini memiliki kedudukan khusus dibandingkan 5 organ utama lainnya. ICJ atau Mahkamah tidak memiliki hubungan hierarkhis dengan badan-badan utama PBB lainnya[18]. Ia benar-benar lembaga hukum dalam sebagai suatu pengadilan. Ia bukan pula pengadilan konstitutsi (Constitutional Court) yang memiliki kewenangan untuk meninjau (mereview) putusan-putusan politis yang dibuat oleh Dewan Keamanan[19]. Ia menggunakan nama resmi ICJ dan tidak menggunakan simbol atau nama PBB dalam putusannya.
kedudukan ICJ ini memang unik. Kedudukan seperti ini memang perlu dipertahankan. Sebagai salah satu organ utama PBB, ia harus benar-benar menunjukkan kemandiriannya sebagai suatu organ atau badan pengadilan.
Jurisdiksi Mahkamah Internasional mencakup dua hal: 1 Jurisdiksi atas pokok sengketa yang diserahkannya (contentious jurisdiction); dan 2 non-contentious jurisdiction atau jurisdiksi untuk memberikan nasihat hukum (advisory jurisdiction). Tindakann perlindungan sementara ini termasuk juga ke dalam jurisdiksi Mahkamah, yakni berada dalam ruang lingkup jurisdiksi yang disebut incidental jurisdiction. Berdasarkan jurisdiksi ini, Mahkamah memiliki wewenang untuk menyatakan diberlakukannya suatu tindakan-tindakan perlindungan sementara, membolehkan suatu intervensi dan manafsirkan atau merubah suatu putusan[20].
Sesuai dengan namanya, tindakan perlindungan sementara ini berkaitan dengan perlindungan hak-hak para pihak sementara persidangan atas pokok sengketanya sendiri sedang berlangsung Dasar hukum yang mendasari jurisdiksi seperti ini terdapat dalam Pasal 41 Statuta ICJ yang berbunyi:
         The Court shall have the power to indicate, if it considers that circumstances so require, any provisional measures which ought to be taken to preseve the respective rights of either party;
         Pending the final decision, notice of the measures suggested shall forthwith be given to the parties and to the Security Council.
Dasar pembenaran pemberian perlindungan ini berasal dari prinsip hukum yang sudah mendasar yakni bahwa putusan suatu pengadilan haruslah efektif. Karenanya, sangatlah penting bagi pengadilan untuk mencegah salah satu atau kedua belah pihak untuk mengganggu situasi atau mencoba untuk membuat pihak lainnya fait accompli[21].
2.      Cara-cara Penyelesaian Paksa atau Kekerasan
a.       Perang dan Tindakan bersenjata Non perang
Keseluruhan tujuan perang adalah untuk menaklukan negara lawan dan mebebankan syarat-syarat penyelesaiaan diamana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternative lain selain mematuhinya.
b.      Retorsi (retorsion)
Retorsi adalah istilah teknik pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan yang tidak pantas aatau tidak patut dari negara lain, balas dendam tersebut dilakuakna dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat didalam konferensi negara yang kehormatannya dihina: misalnya merenggangnya hubungan diplomati anta 2 negara, pencabutan previllage diplomatic dan lain-lain[22].
c.       Tindakan-tindakan Pembalasan (Repraisals)
Pembalasan adalah tindakan yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang besifat pembalasan. Saat ini praktek pembalasan hanya dibenarkan, apabila negara yang dituju oleh pembalasan ini bersalah melakukan tindakan yang sifatnya merupakan pelanggaran internasional. Contoh nyata tindkan pembalsan, misalnya pengusiran orang-orang hungaria dari Yugoslavia pada tahun 1935, yang merupakan balas dendam dari pembunuhan raja Alexander dari yugoslavia.
d.      Blokade Secara Damai (pacific Blokade)
Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan secara damai. Kadang-kadang dilakukan sebagi suatu pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade untuk mentaati permintaan ganti rugi kerugian yang diderita oleh negara untuk meblokade.
Ada beberapa manfaat nyata dalam pengunaan blokade damai. Tindakan ini merupakan cara yang jauh dari kekerasan disbanding dengan perang dan blokade yang sifatnya fleksibel.
C.    Kesimpulan
Dari uraian diatas, Peranan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional ada 4 macam yaitu antara laian :
1.      pada prinsipnya hukum internasional berupaya agar hubungan-hubungan antar negara terjalin dengan persahabatan (friendly relations among States) dan tidak mengharapkan adanya persengketaan;
2.      hukum internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya;
3.      hukum internasional memberikan pilihan-pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara-cara, prosedur atau upaya yang seyogyanya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya; dan
4.      hukum internasional modern semata-mata hanya menganjurkan cara penyelesaian secara damai; apakah sengketa itu sifatnya antar negara atau antar negara dengan subyek hukum internasional  lainnya. Hukum internasional tidak menganjurkan sama sekali cara kekerasan atau peperangan.
Hadirnya lembaga-lembaga atau mekanisme penyelesaian sengketa yang diciptakan oleh masyarakat internasional pada umumnya ditujukan untuk suatu maksud utama, yakni memberi cara mengenai bagaimana seyogyanya senqketa internasional diselesaikan secara damai. Peran hukum internasional dalam penyelesaian sengketa ini cukup penting. Hukum internasional tidak semata-mata mewajibkan penyelesaian secara damai, hukum internasional ternyata pula memberi kebebasan seluas-luasnya kepada negara-negara untuk menerapkan atau memanfaatkan mekanisme penyelesaian sengketa yang ada baik yang terdapat dalam Piagam PBB, perjanjian atau konvensi internasional yang negara-negara yang bersengketa telah mengikatkan dirinya. Semua ini menunjukkan dan memperkuat tujuan akhir dari hukum internasional mengenai penyelesaian sengketa ini yaitu penyelesaian secara damai dan tidak menghendaki penyelesaian secara kekerasan (militer).


[1] L. Oppenheim. International law, A treatise, 8th Edition, 1955,p.4
[2] J.L. Brierly, The law of Nations, 5th edition, 1955,p.4
[3] -Henkin c.s. International Law, cases and materials, West Publishing Company, 1993, p. XVII
  - Gerhard Von Glahn, Law Among Nation, Sevent edition 1996, p.2.
  - David Ruzie, Droit Internasional Public. 14® edition, Momentos, Dallos, 1999, p.1
[4] Martin Dixon and Robert McCorquodale, Cases and Materials on International Law, London: Blackstone Press Ltd., 1991, hlm. 511.
[5]  Ion Diaconu, peaceful Settlement of Disputes between States: History and Prospects,' dalam R. St. J. MacDonald and Douglas M. Johnston (eds) , The Structure and Process of International Law: Essays in Legal Philosophy Doctrine and Theory, Martinus Nijhoff Publishers, 1986, hlm. 1095.
[6] Lauterpacht, Recognition in international Law (1947) p. 5, dikutip dalam Sette-Camara, op.cit., dalam. M. Bedjaoui (ed.), op.cit., hlm. 520.
[7] Ion Diaconu, op.cit., hlm. 1095
[8]  W. Poeggel and E. Oeser, "Methods of Diplomatic Settlement," dalam Mohammed Bedjaoui (ed)., International Law: Achievements and Prospects, Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers and UNESCO, 1991, hlm. 514
[9] F.V. Garcia-Amador, The Changing Law of International Claims, USA: Oceana Publications, Inc., 1984, hlm. 518
[10] Peter Behrens, "Alternative Methods of Dispute Settlement in International Economic Relations," dalam: Ernst-Ulrich Petersmann and Gunther Jaenicke, Adjudication of International Trade Dispute in International and National Economic Law, Fribourg U.P., 1992, hlm. 14
[11] Peter Behrens, op. cit., hlm. 17
[12] W. Poeggel and E. Oeser, op.cit., hlm. 515
[13] Peter Behrens, op. cit., hlm. 23.
[14] Hudson, International tribunal (1944), hal 8.
[15] Advisory opinion on the status of eastern carelia (1923) Pub PCIJ series B, No 5, hal 27.
[16] http://tekno.kompas.com/read/2010/01/13/17340751/Sengketa.Divestasi.KPC.Berakhir.
[17] Yang berbeda dari suatu pengadilan yudisial regional, seperti court of justice of the european communities yang berdasarkan traktat-trakta tanggal 18 april 1951 dan 25 maret 1957.
[18]  Peter Malanczuk, Akehurst's Modern Introduction to International Law, London: Routledge, 7th.rev.ed., 1997, hlm 282
[19]  Peter Malanczuk, op.cit., hlm. 292-293
[20] J.G. Merrills, op.cit., hlm. 16.
[21] .G. Merrills, op.cit., hlm. 16.
[22] Lihat Richard B. Lillich “forcible shelp-help under international law”, 62 US naval war college international law studies.