Home

7.15.2011

Pelayanan Publik


Konsep dasar atau pengertian Pelayanan Publik (Public Services);
Pelayanan Umum menurut Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan: “Sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintahan di Pusat dan Daerah, dan di lingkungan BUMN/BUMD dalam bentuk barang dan/atau jasa, baik dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”
Departemen Dalam Negeri (2004) menyebutkan bahwa; “Pelayanan Publik adalah Pelayanan Umum”, dan mendefinisikan “Pelayanan Umum adalah suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan produk, baik berupa barang dan jasa”.
Dari beberapa pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang diuraikan tersebut, dalam konteks pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan.
2.2.2. Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik yaitu penyelenggara Negara/pemerintah, penyelenggara perekonomian dan pembangunan, lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah, badan usaha/badan hukum yang diberi wewenang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik, badan usaha/badan hukum yang bekerjasama dan/atau dikontrak untuk melaksanakan sebagaian tugas dan fungsi pelayanan publik. Dan masyarakat umum atau swasta yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi pelayanan publik yang tidak mampu ditangani/dikelola oleh pemerintah/pemerintah daerah.
Terdapat 3 unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu unsur pertama, adalah organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu Pemerintah Daerah, unsur kedua, adalah penerima layanan (pelanggan) yaitu orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan, dan unsur ketiga, adalah kepuasan yang diberikan dan/atauditerima oleh penerima layanan (pelanggan). Unsur pertama menunjukan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi kuat sebagai (regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan, dan menjadikan Pemda bersikap statis dalam memberikan layanan, karena layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh orang atau masyarakat atau organisasi yang berkepentingan. Posisi ganda inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab buruknya pelayanan publik yang dilakukan pemerintah daerah, karena akan sulit untuk memilah antara kepentingan menjalankan fungsi regulator dan melaksanakan fungsi meningkatkan pelayanan.
Unsur kedua, adalah orang, masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan, sehingga tidak memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Posisi inilah yang mendorong terjadinya komunikasi dua arah untuk melakukan KKN dan memperburuk citra pelayanan dengan mewabahnya pungli, dan ironisnya dianggap saling menguntungkan.
Unsur ketiga, adalah kepuasan pelanggan menerima pelayanan, unsure kepuasan pelanggan menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (Pemerintah), untuk menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorientasi untuk memuaskan pelanggan, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan daerah. Paradigma kebijakan publik di era otonomi daerahyang berorientasi pada kepuasan pelanggan, memberikan arah tejadinya perubahan atau pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan, dari paradigma rule government bergeser menjadi paradigma good governance. Dengan demikian, pemerintah daerah dalam menjalankan monopoli pelayanan publik, sebagai regulator/pembuat peraturan (rule government/peraturan pemerintah) harus mengubah pola pikir dan kerjanya dan disesuaikan dengan tujuan pemberian otonomi daerah, yaitu memberikan dan meningkatkan pelayanan yang memuaskan masyarakat. Untuk terwujudnya good governance, dalam menjalankan pelayanan publik, pemerintah daerah juga harus memberikan kesempatan luas kepada warga dan masyarakat, untuk mendapatkan akses pelayanan publik, berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, transparansi, akuntabilitas dan keadilan.
Peningkatan pelayanan kepada masyarakat seperti yang terdapat pada agenda reinventing government adalah pengembangan organisasi yang bermuara pada terwujudnya a smaller, better, faster, and cheaper government (pemerintah yang lebih kecil, lebih baik, lebih cepat, dan pemerintah yang lebih murah). Agenda reinventing government bertumpu pada prinsip costumer driven government (pemerintah berorientasi pada pelanggan). Instrumen dari prinsip ini adalah pembalikan mental model pada birokrat dari keadaan yang lebih suka dilayani menuju pada lebih suka melayani. Paradigma lama menempatkan pemimpin birokrasi berada pada piramida tertinggi dengan warga negara (costumer) berada pada posisi terbawah. Sebaliknya paradigma baru menempatkan warga negara (costumer) berada pada posisi puncak dengan pemimpin birokrasi berada pada posisi paling bawah (Osborne, 1992 ; Hardjosoekarto, 1997).
Ada sepuluh prinsip pelayanan umum yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, kesepuluh prinsip tersebut adalah sebagai berikut;
a. Kesederhanaan;
Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan;
b. Kejelasan;
1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik;
2) Unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik;
3) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.
c. Kepastian waktu;
Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
d. Akurasi ;
Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah
e. Keamanan;
Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.
f. Tanggung jawab;
Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan Penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
g. Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika (teletematika).
h. Kemudahan Akses;
Tempat dan lokasi sarana prasarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informasi.
i. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan; Pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
j. Kenyamanan;
Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapih, lingkungan yang indah dan sehat, serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah dan lainnya.
Untuk merealisasikan kesepuluh prinsip pelayanan umum tersebut tidak mudah, karena terkait dengan kompleknya penyelenggaraan pelayanan umum, banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja pelayanan yang optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pelayanan umum mencakup; aparatur pemerintah sebagai penyelenggara (kualitas SDM); masyarakat atau pelanggan sebagai pengguna atau penerima layanan umum; Peraturan Perundang-undangan; mekanisme dan prosedur penyelenggaraan pelayanan umum; sarana prasarana pendukung penyelenggaraan pelayanan; kelembagaan dan sumber pendanaan untuk kegiatan operasioanl pelayanan umum, dan yang paling menentukan adalah komitmen top pimpinan daerah.
Upaya meningkatkan kinerja pelayanan umum akan mendapat hambatan, manakala kita tidak memahami masalah-masalah yang ada pada masing-masing faktor yang mempengaruhi tersebut, oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk memadukan dan mengintegrasikan masing-masing faktor tersebut.
Setiap Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan, sebagai jaminan adanya kepastian bagi pemberi didalam pelaksanaan tugas dan fungsinya dan bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonannya.
Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai pedoman yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan, dan menjadi pedoman bagi penerima pelayanan dalam proses pengajuan permohonan, serta sebagai alat kontrol masyarakat dan/atau penerima layanan atas kinerja penyelenggara pelayanan. Oleh karena itu perlu disusun dan ditetapkan standar pelayanan sesuai dengan sifat, jenis dan karakteristik layanan yang diselenggarakan serta memperhatikan lingkungan. Dalam proses perumusan dan penyusunannya melibatkan masyarakat dan/atau stakeholder lainnya (termasuk aparat birokrasi) untuk mendapatkan saran dan masukan dan membangun kepedulian dan komitmen. Standar Pelayanan Publik menurut Keputusan Menteri PAN Nomor : 63/KEP/M.PAN/7/2003, sekurang-kurangnya meliputi:
a. Prosedur pelayanan;
b. Waktu Penyelesaian;
c. Biaya Pelayanan;
d. Produk Pelayanan;
e. Sarana dan Prasarana;
f. Kompetensi petugas pelayanan;
Selanjutnya untuk melengkapi standar pelayanan tersebut diatas, ditambahkan materi muatan yang dikutip dari Rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik yang cukup realistis untuk menjadi materi muatan Standar Pelayanan Publik, sehingga susunannya menjadi sebagai berikut;
1) Dasar Hukum
2) Persyaratan;
3) Prosedur pelayanan;
4) Waktu Penyelesaian;
5) Biaya Pelayanan;
6) Produk Pelayanan;
7) Sarana dan Prasarana;
8) Kompetensi petugas pelayanan;
9) Pengawasan intern;
10) Pengawasan extern;
11) Penanganan Pengaduan, saran dan masukan;
12) Jaminan pelayanan.
Tambahan materi muatan standar pelayanan publik tersebut diatas dimaksudkan untuk melengkapi, dasar pertimbangannya cukup realiistis karena memasukan materi muatan dasar hukum memberikan kepastian adanya jaminan hukum/legalitas bagi standar pelayanan tersebut. Disamping itu, persyaratan, pengawasan, penanganan pengaduan dan jaminan pelayanan bagi pelanggan perlu dijadikan materi muatan standar pelayanan publik. Penyusunan standar pelayanan publik, harus mempertimbangkan aspek kemampuan, kelembagaan dan aparat penyelenggara pelayanan, dan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat.
Dengan harapan, agar standar pelayanan publik yang ditetapkan dapat dilaksanakan dengan baik, terutama oleh para pelaksana operasional pelayanan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, dimengeti dan diterima oleh masyarakat/stakeholder.
2.2.5. Indikator Pelayanan Publik
Terdapat 5 (lima) determinan kualitas pelayanan publik yang dapat dirincikan sebagai berikut (Parasuraman, Zeithami dan Berry, 1988):
1) Keandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk melaksanakan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan terpercaya.
2) Ketanggapan (responsiveness), yaitu kemampuan untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan dengan cepat.
3) Keyakinan (confidence), yaitu pengetahuan dan kesopanan pegawai serta kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan atau “assurance”.
4) Empati (emphaty), yaitu syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan.
5) Berwujud (tangible), yaitu penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel, dan media komunikasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Parasuraman, Zeithami dan Berry diidentifikasikan 10 (sepuluh) faktor utama yang menentukan kualitas pelayanan publik (Tjiptono, 2005), yaitu :
a. Reliability/keandalan, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability).
b. Responsiveness/ketanggapan, yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan pelayanan yang dibutuhkan pelanggan.
c. Competence/kompetensi, artinya setiap orang dalam suatu perusahaan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan pelayanan tertentu.
d. Access/akses, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui.
e. Courtesy/kesopanan, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian dan keramahan yang dimiliki para contact person/pihak yang berhubungan.
f. Communication/komunikasi, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan.
g. Credibility/kepercayaan, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya.
h. Security/keamanan, yaitu aman dari bahaya, risiko, keragu-raguan.
i. Understanding/knowing the customer (memahami/mengetahui pelanggan), yaitu usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan.
j. Tangibles/bukti, yaitu bukti fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang dipergunakan, representasi fisik dari jasa.
Menurut LAN (2003), kriteria-kriteria pelayanan tersebut antara lain:
1. Kesederhanaan, yaitu bahwa tata cara pelayanan dapat diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh pelanggan.
2. Reliabilitas, meliputi konsistensi dari kinerja yang tetap dipertahankan dan menjaga saling ketergantungan antara pelanggan dengan pihak penyedia pelayanan, seperti menjaga keakuratan perhitungan keuangan, teliti dalam pencatatan data dan tepat waktu.
3. Tanggung jawab dari para petugas pelayanan, yang meliputi pelayanan sesuai dengan urutan waktunya, menghubungi pelanggan secepatnya apabla terjadi sesuatu yang perlu segera diberitahukan.
4. Kecakapan para petugas pelayanan, yaitu bahwa para petugas pelayanan menguasai keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan.
5. Pendekatan kepada pelanggan dan kemudahan kontak pelanggan dengan petugas. Petugas pelayanan harus mudah dihubungi oleh pelanggan, tidak hanya dengan pertemuan secara langsung, tetapi juga melalui telepon atau internet. Oleh karena itu, lokasi dari fasilitas dan operasi pelayanan juga harus diperhatikan.
6. Keramahan, meliputi kesabaran, perhatian dan persahabatan dalam kontak antara petugas pelayanan dan pelanggan. Keramahan hanya diperlukan jika pelanggan termasuk dalam konsumen konkret. Sebaliknya, pihak penyedia layanan tidak perlu menerapkan keramahan yang berlebihan jika layanan yang diberikan tidak dikonsumsi para pelanggan melalui kontak langsung.
7. Keterbukaan, yaitu bahwa pelanggan bisa mengetahui seluruh informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan gamblang, meliputi informasi mengenai tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain.
8. Komunikasi antara petugas dan pelanggan. Komunikasi yang baik dengan pelanggan adalah bahwa pelanggan tetap memperoleh informasi yang berhak diperolehnya dari penyedia pelayanan dalam bahasa yang mereka mengerti.
9. Kredibilitas, meliputi adanya saling percaya antara pelanggan dan penyedia pelayanan, adanya usaha yang membuat penyedia pelayanan tetap layak dipercayai, adanya kejujuran kepada pelanggan dan kemampuan penyedia pelayanan untuk menjaga pelanggan tetap setia.
10. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai tata cara, rincian biaya layanan dan tata cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan tersebut. Hal ini sangat penting karena pelanggan tidak boleh ragu-ragu terhadap pelayanan yang diberikan.
11. Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Jaminan keamanan yang perlu kita berikan berupa keamanan fisik, finansial dan kepercayaan pada diri sendiri.
12. Mengerti apa yang diharapkan pelanggan. Hal ini dapat dilakukan dengan berusaha mengerti apa saja yang dibutuhkan pelanggan. Mengerti apa yang diinginkan pelanggan sebenarnya tidaklah sukar. Dapat dimulai dengan mempelajari kebutuhan-kebutuhan khusus yang diinginkan pelanggan dan memberikan perhatian secara personal.
13. Kenyataan, meliputi bukti-bukti atau wujud nyata dari pelayanan, berupa fasilitas fisik, adanya petugas yang melayani pelanggan, peralatan yang digunakan dalam memberikan pelayanan, kartu pengenal dan fasilitas penunjang lainnya.
14. Efisien, yaitu bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapai sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan.
15. Ekonomis, yaitu agar pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk membayar

Perkara Biasa


BAB 1
1.     Pengertian Perkara biasa
KUHAP membedakan tiga macam pemeriksaan sidang pengadilan, yaitu: pemeriksaan perkara biasa, pemeriksaan singkat, dan pemeriksaan cepat. Undang-undang tidak memberikan batasan tentang perkara-perkara mana yang termasuk perkara biasa. Hanya pada periksaan singkat dan cepat saja diberikan batasan. Acara pemeriksaan biasa, sebenarnya berlaku juga bagi pemeriksaan singkat dan cepat, kecuali dalam hal-hal tertentu yang secara tegas dinyatakan lain. Dimulai hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak (153 ayat (3) KUHAP). Pemeriksaan itu dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi (pasal 153 ayat (2a)). Kalau kedua ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka batal demi hukum (pasal 153 ayat (4)). Yang pertama dipanggil adalah terdakwa, yang walaupun ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas yaitu keadaan tidak dibelenggu tanpa mengurangi pengawalan, apabila ia tidak hadir, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. Jika tidak dipanggil secara sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintah supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada sidang berikutnya (pasal 154 ayat (3) KUHAP)
Hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya (pasal 154 ayat (6) KUHAP)
Menurut ketentuan, yang pertama dipanggil masuk kesidang ialah terdakwa. Mula-mula hakim ketua sidang menyatakan identitasnya, seperti nama, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebanggsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaannya, serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihat disidang (pasal 155 ayat (1) KUHAP). Sesudah itu hakim ketua sidang mempersilahkan penuntut umum membacakan surat dakwaannya, kemudian hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa apakah ia sudah benar-benar mengerti, apabila terdakwa tidak mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan (pasal 155 ayat (2) KUHAP)
Penjelasan pasal tersebut mengatakan bahwa penjelasan oleh penuntut umum itu tidak menjamin hak terdakwa guna memberikan pembelaannya, dan hanya dapat dilakukan pada permulaan sidang. Sesudah pembacaan dan penjelasan surat dakwaan oleh penuntut umum, maka terdakwa atau penasehat hukumnya dapat mengajukan keberatan tentang pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara tersebut atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan. Mengenai wewenang hakim untuk mengadili dapat dibaca dimuka. Kapan suatu dakwaan tidak dapat diterima, tidak dijelaskan. Menurut pendapat penulis, yang dimaksud dengan dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima atau yang biasa disebut niet ontvankelijk verkalring van het openbaar ministerie. Undang-undang tidak menjelaskan kapan suatu dakwaan atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima. Menurut van Bemmelen, hal itu terjadi jika tidak ada hak untuk menuntut, misalnya dalam delik aduan tidak ada pengaduan atau delik itu dilakukan pada waktu dan tempat yang undang-undang pidana tidak berlaku atau hak menuntut telah hapus. Harus diperhatikan surat dakwaan bukan delik, bukan termasuk tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvakelijk van het OM) atau pernyataan (onbervoegdverklaring), tetapi termasuk dilepas dari tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) termasuk pula tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika telah ada putusan yang tidak dapat diubah mengenai perkara tersebut, berlaku asas nebis in idem.
Apabila terdakwa penasihat hukum terdakwa keberatan, penuntut umum diberi kesempatan untuk menyatakan pendapatnya, kemudian hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan (pasal 156 ayat (1) KUHAP). Kalau keberatan tersebut diterima oleh dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan (pasal 156 ayat (2) dan (3)
Ketentuan pasal 156 ayat (4) KUHAP  menyatakan bahwa dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau penasehat hukumnya diterima oleh pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat belas hari, pengadilan tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa perkara itu.

b. Acara Pemeriksaan Perkara Biasa
Pemeriksaan saksi ditentukan dalam pasal 160 bahwa yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadu saksi. Nilai kesaksian yang disumpah atau mengucapkan janji dan yang tidak, diatur dalam pasal 162 KUHAP, tetapi kurang jelas. Kalau pada waktu, pemeriksaan pendahuluan (penyidikan) saksi tersebut tidak disumpah, maka keterangan itu disamakan nilainya dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diucapkan di sidang. Menurut penafsiran a’contrario, berarti keterangan saksi yang dibacakan dibacakan disidang yang tidak mengangkat sumpah sebelumnya tidak sama nilainya dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diucapkan di sidang.
Yang dapat dipandang sebagai alat bukti petunjuk, dalam pasal 188 ayat (2) hanya dapat diperoleh dari:
a.     Keterangan saksi
b.     Surat
c.      Keterangan terdakwa
Kalau pemeriksaan sidang dipandang sudah selesai, maka penuntut umum mengajukan tuntutan pidana, sesudah itu terdakwa dan/atau penasehat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukum selalu mendapat giliran terakhir. Semua ini dilakukan secara tertulis, dan setelah dibacakan diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunnya kepada pihak yang berkepentingan (pasal 182 ayat (1) KUHAP). Setelah itu, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat dibuka kembali, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasehat hukum dengan memberikan alasannya (pasal 182 ayat (2) KUHAP)
BAB II
Analisis Kasus
Berawal dari FAIZAL ANDRI dengan cara awalnya terdakwa Faizal Andri menelepon saksi korban yang awalnya menanyakan masalah band yang akhirnya terdakwa Faizal Andri menawarkan mobil Honda Jazz No Pol B-1387 LC warna Biru Metalik. Saksi korban menanyakan harganya kepada terdakwa dan terdakwa menjawab kalau harga normal sebesar Rp 125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah) sampai dengan Rp 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah). Akhirnya terdakwa mengajak bertemu saksi korban untuk membicarakan proses over kredit penjualan mobil terdakwa. Saksi korban mengatakan bahwa saksi korban mempunyai uang sebesar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), sisanya dicicil dan terdakwa sepakat. Selanjutnya saksi dan terdakwa sepakat membuat surat perjanjian jual beli kendaraan tertanggal 12 juli 2007 dan saksi melakukan pembayaran kendaraan secara bertahap.
Bahwa pada tanggal 3 Desember 2008 sekira pukul 20.00 WIB saksi korban kedatangan dari pihak lising U Finance yang menjelaskan bahwa kendaraan tersebut adalah kendaraan lising dan terdakwa sudah tidak membayar dan kendaraan tersebut akan ditarik pada saat itu juga oleh pihak Lising U Finance. Yang mana pada saat saksi korban dan terdakwa melakukan perjanjian jual beli yang dilengkapi adanya mobil Jazz, STNK, BPKB dan FAKTUR PAJAK. Bahwa uang yang ditransfer oleh saksi korban Ipung Rihadi dipergunakan oleh terdakwa untuk kerjasama proyek dengan sdr Indra Gautama (DPO), dan terdakwa mengajukan pinjaman melalui sdr Indra Gautama keperorangan consorsium atas nama PT. GEMA SUARA NADIANDRA yang bergerak dibidang periklanan. Sehingga akibat perbuatan terdakwa saksi Ipung Rahadi mengalami kerugian sebesar Rp 100.000.000’- (seratus juta rupiah) atau setidak-tidaknya Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah)

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 372 KUHP

Keterangan saksi:
1.     Ipung Rihadi, dibawah sumpah menerangkan sesuai dengan BAP dan terdakwa membenarkan
2.     Raden Heni Agustiani, dibawah sumpah menerangkan sesuai BAP dan terdakwa membenarkan
3.     Imang Krismawan, dibawah sumpah menerangkan sesuai dengan BAP dan terdakwa membenarkan
4.     Widanarson Heru Nugroho, dibawah sumpah menerangkan sesuai dengan BAP dan terdakwa membenarkan

Terdakwa Faizal Andri yang diancam pidana pasal 372 KUHP yang berbunyi: barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana paling banyak sembilan ratus rupiah. Akan tetapi penuntut umum menuntut dua setengah tahun penjara, terdakwa merasa keberatan dengan tuntutan tersebut kemudian mengajukan nota pembelaan (pledoi). Pada persidangan  berikutnya hakim memvonis Faizal Andri, dua setengah tahun penjara dipotong masa tahanan. Faizal Andri mulai ditahan penyidik dengan penahanan Rutan sejak tanggal 12 desember 2009 s/d 31 Desember 2009. Perpanjangan penahanan terdakwa di Rutan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Bandung sejak tanggal 01 JPU sejak tanggal 28 Januari 2010 sampai dilimpahkan ke PN

PENEREPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM KAITANNYA KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Konsep good governance ini munculnya karena adanya ketidakpuasan pada kinerja pemerintahan yang selama ini dipercaya sebagai penyelengggara urusan publik. Pendekatan penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralis, non partisifatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik pada rezim-rezim terdahulu, harus diakui telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati pada rezim yang berkuasa. Menurut Edelman, hal seperti ini merupakan era anti birokrasi, era anti pemerintah,Penerapan prinsip-prinsip good governance sangat penting dalam pelaksanaan pelayanan publik untuk meningkatkan kinerja aparatur negara. Hal ini disebabkan karena pemerintah merancang konsep prinsip-prinsip good governance untuk meningkatkan potensi perubahan dalam birokrasi agar mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik, disamping itu juga Masyarakat masih menganggap pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi pasti cenderung lamban, tidak profesional, dan biayanya mahal.
Gambaran buruknya birokrasi antara lain organisasi birokrasi gemuk dan kewenangan antar lembaga yang tumpang tindih; sistem, metode, dan prosedur kerja belum tertib; pegawai negeri sipil belum profesional, belum netral dan sejahtera; praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih mengakar; koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi program belum terarah; serta disiplin dan etos kerja aparatur negara masih rendah. Pendapat tentang buruknya semua pelayanan yang dilaksanakan birokrasi menurut Pandji Santosa merupakan pengaburan makna birokrasi yang berkembang di masyarakat dan terus berlangsung oleh sikap diam masyarakat[1]. Berbagai kondisi tersebut mencerminkan bad governance dalam birokrasi di Indonesia
Paradigma tata kelola pemerintahan telah bergeser dari government ke arah governance yang menekankan pada kolaborasi dalam kesetaraan dan keseimbangan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani[2]. Pelayanan publik menjadi tolok ukur keberhasilan pelaksanaan tugas dan pengukuran kinerja pemerintah melalui birokrasi.
Menerapkan praktik good governance dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kapasitas pemerintah, masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Salah satu pilihan strategis untuk menerapkan good governance di Indonesia adalah melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis untuk memulai menerapkan good governance.
Pelayanan publik sebagai penggerak utama juga dianggap penting oleh semua aktor dari unsur good governance. Para pejabat publik, unsur-unsur dalam masyarakat sipil dan dunia usaha sama-sama memiliki kepentingan terhadap perbaikan kinerja pelayanan publik. Ada tiga alasan penting yang melatar-belakangi bahwa pembaharuan pelayanan publik dapat mendorong praktik good governance di Indonesia. Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh stakeholders, yaitu pemerintah , warga, dan sektor usaha. Kedua, pelayanan publik adalah ranah dari ketiga unsur governance melakukan interaksi yang sangat intensif. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance diterjemahkan secara lebih mudah dan nyata melalui pelayanan publik
Fenomena pelayanan publik oleh birokrasi pemerintahan sarat dengan permasalahan, misalnya prosedur pelayanan yang bertele-tele, ketidakpastian waktu dan harga yang menyebabkan pelayanan menjadi sulit dijangkau secara wajar oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadi ketidakpercayaan kepada pemberi pelayanan dalam hal ini birokrasi sehingga masyarakat mencari jalan alternatif untuk mendapatkan pelayanan melalui cara tertentu yaitu dengan memberikan biaya tambahan. Dalam pemberian pelayanan publik, disamping permasalahan diatas, juga tentang cara pelayanan yang diterima oleh masyarakat yang sering melecehkan martabatnya sebagai warga Negara. Masyarakat ditempatkan sebagai klien yang membutuhkan bantuan pejabat birokrasi, sehingga harus tunduk pada ketentuan birokrasi dan kemauan dari para pejabatnya. Hal ini terjadi karna budaya yang berkembang dalam birokrasi selama ini bukan budaya pelayanan, tetapi lebih mengarah kepada budaya kekuasaan.
Untuk mengatasi kondisi tersebut perlu dilakukan upaya perbaikan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik yang berkesinambungan demi mewujudkan pelayanan publik yang prima sebab pelayanan publik merupakan fungsi utama pemerintah yang wajib diberikan sebaik-baiknya oleh pejabat publik. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan melakukan penerapan prinsip-prinsip Good Governance, yang diharapkan dapat memenuhi pelayanan yang prima terhadap masyarakat. Terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas merupakan salah satu ciri Good Governance. Untuk itu, aparatur Negara diharapkan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara efektif dan efesien. Diharapkan dengan penerapan Good Governance dapat mengembalikan dan membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Berdasarkan Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik membahas persoalan tersebut dalam pembuatan makalah ini penulis beri judul :
PENEREPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM KAITANNYA KEPUASAN MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK

B.   Identifikasi Masalah
Untuk memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah sesuai dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam paper ini. Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang menunjukkan jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara harapan dengan kenyataan. Perumusan masalah dalam paper ini berisikan antara lain :
1.    Bagaimana penerapan prinsip good governance dalam pelayanan publik?
2.    Bagaimana pengaruh penerapan prinsip-prnsip good governace dalam pelayana publik kaitannya kepuasan masyarakat  

C.   Maksud Dan Tujuan Penilitian
Adapun  tujuan pembuatan Penilitian adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui penerapan prinsip-prinsp good governance dalam pelayanan publik
2.      Untuk mengetahui pengaruh penerapan prinsip-prnsip good governace dalam pelayana publik kaitannya kepuasan masyarakat

D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan paper ini yaitu :
1.    Studi Kepustakaan Yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen laporan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan penelitian.
2.    Bahan – bahan yang didapatkan melalui Intenet

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.   Good Governance
Governance, yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat[3]. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sektor negara dan sektor non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif[4]. Definisi ini mengasumsikan banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminologi governance membantah pemahaman formal tentang bekerjanya institusiinstitusi negara. Governance mengakui bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang bekerja pada tingkat yang berbeda
Lembaga Administrasi Negara (2000) memberikan pengertian Good governance yaitu penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efesien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta, dan masyarakat
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik terdiri dari:
1.    Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau.
2.    Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat.
3.    Transparansi, menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
4.    Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tarif, kepastian waktu, kemudahan akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin.
5.    Demokrasi dan Partisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung
6.    Efisiensi dan Efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
7.    Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Karakteristik atau prinsip-prinsip yang harus dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance) dikemukakan oleh UNDP (1997) yaitu meliputi:
1.    Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan sesuai dengan kepentingan dan aspirasinya masing-masing
2.    Akuntabilitas (Accountability): Para pengambil keputusan dalam sektor publik, swasta dan masyarakat madani memiliki pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik, sebagaimana halnya kepada stakeholders.
3.    Aturan hukum (Rule of law): Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan hukum tentang hak azasi manusia.
4.    Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam rangka kebebasan aliran informasi. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
5.    Daya tangkap (Responsiveness): Setiap intuisi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders).
6.    Berorientasi konsensus (consensus Orientation): Pemerintah yang baik akan bertindak sebagai penengah bagi berbagai kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan yang berbeda untuk mencapai konsensus atau kesempatan yang terbaik bagi kepentingan masing-masing pihak, dan berbagai kebijakan dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah.
7.    Berkeadilan (Equity): Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
8.    Efektifitas dan Efisiensi (Effectifitas and Effeciency): Setiap proses kegiatan dan kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya dengan berbagai sumber yang tersedia.
9.    Visi Strategis (Strategic Vision): Para pemimpin dan masyarakat memiliki persfektif yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintah yang baik dan pembangunan manusia, bersamaan dengan dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut.

B.     Pelayanan Publik
Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan[5]. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayana sebagai hal, cara atau hasil pekerjaan melayani. Sedangkan melayani adalah menyuguhi (orang dengan makanan atau minuman; menyediakan keperluan orang; mengiyakan, menerima; menggunakan).
Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara publik.
Sementara itu istilah publik berasal dari bahasa inggris public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi bahasa Indonesia baku menjadi publik yang berarti umum, orang banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat sehingga lahir istilah pamong praja yang berarti pemerintah yang melayani kepentingan seluruh rakyat[6].
Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Lijan Poltak Sinambela mengartikan pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan. Pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat pada penyelenggaraan negara[7]. Negara didirikan oleh publik atau masyarakat tentu saja dengan tujuan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakekatnya negara dalam hal ini birokrasi haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat.
Tujuan pelayanan publik adalah memuaskan dan bisa sesuai dengan keinginan masyarakat atau pelayanan pada umumnya[8]. Untuk mencapai hal ini diperlukan kualitas pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No 62 tahun 2003 tentang penyelenggaraan pelayanan publik setidaknya mengandung sendi-sendi :
1.    Kesederhanaan, dalam arti prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan.
2.    Kejelasan yang mencakup :
a.Rincian biaya atau tarif pelayanan publik.
b.Prosedur/tata cara umum, baik teknis maupun administratif.
3.    Kepastian waktu, yaitu pelaksanaan pelayanan publik harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
4.    Kemudahan akses, yaitu bahwa tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
5.    Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan, yakni memberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
6.    Kelengkapan sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika

BAB III
PENGARUH PENERAPAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM   PELAYANAN PUBLIK TERHADAP TINGKAT KEPUASAN MASYARAKAT

A.   Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik.
Upaya untuk menghubungkan tata-pemerintahan yang baik dengan pelayanan publik barangkali bukan merupakan hal yang baru. Namun keterkaitan antara konsep good-governance (tata-pemerintahan yang baik) dengan konsep public service (pelayanan publik) tentu sudah cukup jelas logikanya publik dengan sebaik-baiknya. Argumentasi lain yang membuktikan betapa pentingnya pelayanan publik ialah keterkaitannya dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Inilah yang tampaknya harus dilihat secara jernih karena di negara-negara berkembang kesadaran para birokrat untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat masih sangat rendah.
Secara garis besar, permasalahan penerapan Good Governance meliputi :
1.    reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat;
2.    tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan;
3.    masih tingginya tingkat penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktek KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur;
4.    makin meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik;
5.    meningkatnya tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik antara lain transparansi, akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum;
6.    meningkatnya tuntutan dalam pelimpahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan dalam era desentralisasi;
7.    rendahnya kinerja sumberdaya manusia dan kelembagaan aparatur; sistem kelembagaan (organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan daerah yang belum memadai;
Untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam buku van walt yang berjudul changing public services values mengatakan bahwa para birokrat bekerja dalam sebuah bermuatan nilai dan lingkungan yang yang didorong oleh sejumlah nilai. nilai-nilai ini yang menjadi pijakan dalam segala aktivitas birokrasi saat memberi pelayanan publik.
terkait dengan pernyataan tersebut ada beberapa nilai yang harus dipegang teguh para formulator saat mendesain suatu naklumat pelayanan. beberapa nilai yang dimaksud yakni
1.            kesetaraan
2.            keadilan
3.            keterbukaan
4.            kontinyuitas dan regualitas
5.            partisipasi
6.            inovasi dan perbaikan
7.            efesiensi
8.            efektifitas[9]
Dengan metode tersebut  penerapan prinsip good governance dalam pelayanan publik akan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000.

B.   Pengaruh Penerapan Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik Terhadap Tingkat Kepuasan masyarakat
Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menurut paradigma good governance, dalam prosesnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah daerah berdasarkan pendekatan rule government (legalitas), atau hanya untuk kepentingan pemeintahan daerah. Paradigma good governance, mengedepankan proses dan prosedur, dimana dalam proses persiapan, perencanaan, perumusan dan penyusunan suatu kebijakan senantiasa mengedepankan kebersamaan dan dilakukan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
Pelibatan elemen pemangku kepentingan di lingkungan birokrasi sangat penting, karena merekalah yang memiliki kompetensi untuk mendukung keberhasilan dalam pelaksanaan kebijakan. Pelibatan masyarakat juga harus dilakukan, dan seharusnya tidak dilakukan formalitas, penjaringan aspirasi masyarakat (jaring asmara) tehadap para pemangku kepentingan dilakukan secara optimal melalui berbagai teknik dan kegiatan, termasuk di dalam proses perumusan dan penyusunan kebijakan.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan yang baik (good governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik.
Beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik (khususnya dibidang perizinan dan non perizinan) menjadi strategis, dan menjadi prioritas sebagai kunci masuk untuk melaksanakan kepemerintahan yang baik di Indonesia. Salah satu pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi strategis dan prioritas untuk ditangani adalah, karena dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik sangat buruk dan signifikan dengan buruknya penyelenggaraan good governance. Dampak pelayanan publik yang buruk sangat dirasakan oleh warga dan masyarakat luas, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap kinerja pelayanan pemerintah. Buruknya pelayanan publik, mengindikasikan kinerja manajemen pemerintahan yang kurang baik.
Kinerja manajemen pemerintahan yang buruk, dapat disebabkan berbagai faktor, antara lain: ketidakpedulian dan rendahnya komitmen top pimpinan, pimpinan manajerial atas, menengah dan bawah, serta aparatur penyelenggara pemerintahan lainnya untuk berama-sama mewujudkan tujuan otonomi daerah. Selain itu, kurangnya komitmen untuk menetapkan dan melaksanakan strategi dan kebijakan meningkatkan kualitas manajemen kinerja dan kualitas pelayanan publik. Contoh: Banyak Pemerintah Daerah yang gagal dan/atau tidak optimal melaksanakan kebijakan pelayanan terpadu satu atap, tetapi banyak yang berhasil menerapkan kebijakan pelayanan terpadu satu atap seperti yang dilakukan oleh pemerintah kota solo yang secara tegas memberlakukan kebijakan tersebut misalnya dalam pembuatan KTP yang biasanya dalam pengurusan KTP tersebut membutuhkan waktu sekitar dua minggu, yang dilakukan oleh walikota solo adalah dengan cara mebuat efesien pelayan pembuatan KTP itu hanya dengan satu jam saja.
Walikota Solo  juga menmbuat semacam kartu jaminan kesehatan bagi warga miskin yang sudah terdata secara komputerisasi dan sehingga dalam pelayanan kesehatan tersebut warga di kota Solo tidak lagi harus membuat surat tanda tidak mampu dari RT maupun kelurahannya karena sudag terdata secara baik dan benar[10].
Meningkatnya kualitas pelayanan publik, sangat dipengaruhi oleh kepedulian dan komitmen pimpinan/top manajer dan aparat penyelenggara pemerintahan untuk menyelenggarakan kepemerintahan yang baik. Perubahan signifikan pelayanan publik, akan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan berpengaruh terhadap meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah daerah.
Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, memberikan indikasi membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, disisi lain menunjukan adanya perubahan pola pikir yang berpengaruh terhadap perubahan yang lebih baik terhadap sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik.
Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan berpengaruh untuk menurunkan atau mempersempit terjadinya KKN dan pungli yang dewasa ini telah merebak di semua lini ranah pelayanan publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi dalam pemberian pelayanan. Dalam kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, perbaikan atau peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pada jalur yang benar, memiliki nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan mendorong kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat dan swasta).
Paradigma good governance, dewasa ini merasuk di dalam pikiran sebagian besar stakeholder pemerintahan di pusat dan daerah, dan menumbuhkan semangat pemerintah daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja mamajemen pemerintahan daerah, guna meningkatkan kualitas pelayanan publik. Banyak pemerintah daerah yang telah mengambil langkah-langkah positif didalam menetapkan kebijakan peningkatan kualitas pelayanan publik berdasarkan prinsip-prinsip good governance.
Paradigma good governance menjadi relevan dan menjiwai kebijakan pelayanan publik di era otonomi daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja manajemen pemerintahan, mengubah sikap mental, perilaku aparat penyelenggara pelayanan serta membangun kepedulian dan komitmen pimpinan daerah dan aparatnya untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan publik yang berkualitas.

BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas, bahwa Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, pada dasarnya menuntut keterlibatan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik di lingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik, adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Esensi kepemerintahan yang baik (good governance) dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik, hal ini sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah mengatur dan mengurus masyarakat setempat, dan meningkatkan pelayanan publik.
Pemerintah perlu menyusun Standar Pelayanan bagi setiap instansi pemerintahan yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat. Ada lima cara perbaikan di sektor pelayanan publik yang patut dipertimbangkan: Mempercepat terbentuknya UU Pelayanan Publik, Pembentukan pelayanan publik satu atap (one stop services), Transparansi biaya pengurusan pelayanan publik, Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), dan reformasi pegawai yang berkecimpung di pelayanan publik.
Terselenggaranya pelayanan publik yang baik, memberikan indikasi membaiknya kinerja manajemen pemerintahan, disisi lain menunjukan adanya perubahan pola pikir yang berpengaruh terhadap perubahan yang lebih baik terhadap sikap mental dan perilaku aparat pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik.
Tidak kalah pentingnya, pelayanan publik yang baik akan berpengaruh untuk menurunkan atau mempersempit terjadinya KKN dan pungli yang dewasa ini telah merebak di semua lini ranah pelayanan publik, serta dapat menghilangkan diskriminasi dalam pemberian pelayanan. Dalam kontek pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, perbaikan atau peningkatan pelayanan publik yang dilakukan pada jalur yang benar, memiliki nilai strategis dan bermanfaat bagi peningkatan dan pengembangan investasi dan mendorong kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat luas (masyarakat dan swasta).

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
L.P. Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, Jakarta, Bumi Aksara, 2010
Pandji Santosa, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance, Bandung: PT. Reflika Aditama, 2008
Sampara Lukman, manajemen Kualitas Pelayanan, jakarta, STIA LAN Press 2000

B Peraturan perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang pendidikan, pelatihan jabatan pegawai negeri sipil
Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik

C.  Lain-lain
artikel “Dokumen Kebijakan UNDP : Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan”, dalam buletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia, 2000
jurnal I Made Sumadana, mewujudkan good governance dalam system pelayanan publik, Widyatana vol 2 2007 FISIP UNR
Meuthia Ganie-Rochman dalam artikel berjudul “Good governance : Prinsip, Komponen dan Penerapannya”, yang dimuat dalam buku HAM : Penyelenggaraan Negara Yang Baik & Masyarakat Warga, (2000), Jakarta : Komnas HAM
http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2011/05/26/8878/27/Solo-Memang-Beda/


[1] Pandji Santosa, Administrasi Publik: Teori dan Aplikasi Good Governance, Bandung: PT. Reflika Aditama, 2008  hlm. 1.
[2] Ibid, hlm 130.
[3] Dikutip dari artikel “Dokumen Kebijakan UNDP : Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan”, dalam buletin informasi Program Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia, 200
[4] Dikutip Meuthia Ganie-Rochman dalam artikel berjudul “Good governance : Prinsip, Komponen dan Penerapannya”, yang dimuat dalam buku HAM : Penyelenggaraan Negara Yang Baik & Masyarakat Warga, (2000), Jakarta : Komnas HAM
[5] Sampara Lukman, manajemen Kualitas Pelayanan, jakarta, STIA LAN Press 2000, hlm 8
[6] L.P. Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik, Jakarta, Bumi Aksara, 2010, hlm 5
[7] Opcit, L.P Sinambela, Hlm 5
[8] opcit, L.P Sinambela, Hlm 6
[9] Dikutip dari  jurnal I Made Sumadana, mewujudkan good governance dalam system pelayanan public fisip UNR
[10]  Dikutip dari http://www.metrotvnews.com/read/newsprograms/2011/05/26/8878/27/Solo-Memang-Beda/