Home

5.07.2011

Yurisdiksi Mahkamah Internasional


Yurisdiksi Mahkamah Internasional adalah kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Internasional yang bersumber pada hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Yurisdiksi ini menjadi dasar mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional. Kewenangan mahkamah internasional ini meliputi memutuskan perkara-perkara pertikaian atau fungsi penyelesaian sengketa (contetiouse case) dan memberikan opini-opini berupa nasehat atau disebut juga mempunyai fungsi konsultatif (advisory opinion). Perbedaan diantara keduanya adalah kekuatan mengikatnya. Fungsi penyelesaian sengketa mempunyai kekuatan hukum mengikat, sedangkan fungsi konsultatif tidak mempunyai kekuatan mengikat.
   Seperti halnya dengan arbitrasi internasional, yurisdiksi internasional juga merupakan suatu cara penyelesaian sengketa antar negara yang didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum dan karena itu kedua prosedur penyelesaian ini juga menghasilkan keputusan hukum. karena keputusan tersebut merupakan keputusan hukum, maka ia mengikat negara-negara yang bersengketa. Tetapi, bentuk yurisdiksi ini jauh lebih maju dari arbitrasi internasional.
   Para pihak yang beracara di mahkamah internasional harus menerima yurisdiksi mahkamah internasional. Ada beberapa cara penerimaan tersebut :
1.      Perjanjian khusus, yang berisi subjek persengketaan.
2.      Penundukan diri dalam perjanjian internasional
3.      Pernyataan penundukan diri negara peserta statuta mahkamah internasonal
4.      Keputusan mahkamah internasonal, mengenai yurisdiksinya.
5.      Penafsiran putusan
6.      Perbaikan putusan  
Yurisdiksi Mahkamah diatur pula oleh Pasal 36 ayat (1) Piagam PBB, yakni Mahkamah memiliki wewenang untuk mengadili semua sengketa yang diserahkan para pihak dalam semua persoalan yang ditetapkan oleh Piagam PBB, Perjanjian Internasional atau Konvensi Internasional yang berlaku.
   Apa bila ada negara yang bersengketa, dapat memohonkan penyelesaiannya ke ICJ. Suatu kasus dapat di bawa ke ICJ dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1.   Pemberitahuan kepada panitera tentang adanyaperjanjian khusus (special agreement), dimana para pihak telah menyetujui untuk penyelesaian sengketa diserahkan pada ICJ. Pemberitahuan itu harus disertai asli atau copy dari perjanjian khusus tersebut. Jika dalam perjanjian tersebut belum ditentukan apa yang disengketakan oleh pihak-pihak yang bersengketa, maka dalam pemberitahuan tersebut harus disebutkan apa yang disengketakan oleh pihak-pihak dalam sengketa (pasal 39 (2) Rules of court).
2.   Dengan suatu permohonan (application) oleh salah satu pihak yang didasarkan pada suatu pernyataan akan adanya yurisdiksi ICJ. Permohonan tersebut harus disertai pokok sengketa, pihak-pihak yang dituntut (pasal 40 statuta ICJ jo. Pasal 38(1) Rules of court).
Huala Adolf, HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

Statuta dan Aturan Mahkamah Internasional


Statuta ICJ merupakan bagian integral dari Piagam (pasal 92 Piagam). Statuta ini tidak dimasukkan ke dalam Piagam tetapi dijadikan lampirannya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah ketidak-seimbangan antara pasal-pasal Piagam yang berjumlah 111 pasal dari pasal-pasal Statuta yang berjumlah 70 pasal. Statuta memberi kelonggaran pada negara-negara non-anggota PBB untuk menjadi anggota Statuta.
Statuta terbagi ke dalam 4 bab: Organization of the Court (Komposisi Mahkamah, pasal 2 – 33), Competence of the Court (Jurisdiksi Mahkamah, pasal 34 – 38), Procedure (Hukum Acara, pasal 39 – 64), Advisory opinion (Pendapat Hukum Mahkaamh, pasal 65 – 68), dan Amendements (Pperubahan, pasal 69 – 70).
Perubahan terhadap Statuta sama kedudukannya dengan perubahan terhadap Piagam, yaitu 2/3 dari suara mayoritas dalam Majelis Umum dan ratifikasi dari 2/3 dari negara-negara termasuk dari negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan. Perbedaannya adalah negara-negara anggota yang bukan menjadi anggota PBB dibolehkan juga untuk berpartisipasi (ikut serta) dalam memberikan suara dalam Majelis Umum. Apabila ICJ menganggap bahwa Statuta perlu diubah, maka ICJ harus menyerahkan usulan perubahan kepada Majelis Umum secara tertulis yang diumumkan melalui Sekjen PBB. Sampai sekarang belum pernah ada usulan perubahan terhadap Statuta ICJ.
Sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh Statuta, ICJ menetapkan aturan-aturan Mahkamah (Rules of Court). Maksud aturan ini adalah untuk melengkapi aturan-aturan umum (pokok) Statuta dan memberikan ketentuan-ketentuan detail. Jadi aturan-aturan Mahkamah ini berupaya menguraikan kembali ketentuan-ketentuan Statuta mengenai prosedur Mahkamah dan tata kerja Mahkamah (dan Registry). ICJ berwenang merubah aturan-aturan ini. Aturan-aturan Mahkamah sendiri sebenarnya merupakan pengambil-alihan dari Aturan PCIJ yang dibuat pada tahun 1936.
Sejak aturan Mahkamah berlaku pada tanggal 5 Agustus 1946, aturan-aturan tersebut telah mengalami dua kali perubahan. Pertama pada tanggal 10 Mei 1972 yang berlaku pada tanggal 1 September 1972. Kedua perubahan yang dilakukan pada tanggal 14 April 1978 yang berlaku pada tanggal 1 Juli 1978. Perubahanperubahan ini dipandang perlu untuk dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di dunia. Tujuan perubahan tersebut adalah untuk meningkatkan fleksibilitas persidangan, menyederhanakan aturan dan mempercepat persidangan dan mengurangi beban biaya para pihak. Perubahan ini dipandang perlu mengingat kasus yang masuk kepada ICJ masih relatif kecil, yaitu antara tahun 1946 – 1985 ICJ menerima dan menangani 35 kasus dan 18 nasihat hukum.
Statuta ICJ bertujuan agar semakin banyak negara menjadi peserta atau anggotanya. Untuk itu Statuta berupaya agar tidak ada suatu atau sekelompok negara memiliki kedudukan yang lebih penting atau keuntungan daripada negara lainnya. Karena itu ICJ mengupayakan hal-hal berikut:
1.    Semua negara anggota Statuta memiliki hak untuk mengusulkan calonnya. Usulan ini tidak dibuat oleh pemerintah dari negara yang bersangkutan, melainkan oleh suatu kelompok negara yang terdiri anggota the Permanent Court of Arbitration, yakni oleh 4 orang ahli hukum yang dapat ditunjuk sebagai anggota pada suatu peradilan arbitrase berdasarkan Konvensi Den Haag 1899 dan 1907. Apabila suatu negara tidak menjadi anggota pada Konvensi Den Haag, maka pencalonan dilakukan oleh suatu kelompok yang dibentuk dengan cara yang sama. Setiap kelompok negara dapat mengusulkan sampai 4 calon, tetapi tidak boleh lebih dari 2 calon yang berasal dari satu kewarganegaraan yang sama. Nama-nama calon ini diserahkan kepada Sekjen PBB.
2.    Dua anggota hakim Mahkamah tidak boleh berasal dari kebangsaan yang sama. Kalau ada dua orang terpilih, maka 1 orang saja yang berusia lebih tua yang dipilih.
3.    Pada setiap proses pemilihan anggota Mahkamah, Majelis Umum dan Dewan Keamanan disyaratkan untuk mempertimbangkan ’perwakilan dari bentuk-bentuk peradaban dan sistem hukum di dunia[1].
Tidak seperti badan-badan organisasi internasional lainnya, Mahkamah bukan terdiri dari wakil-wakil pemerintah. Sekali terpilih, maka seorang anggota atau hakim Mahkamah bukan lagi delegasi pemerintah negaranya atau negara lainnya. Ia adalah hakim independen yang ketika diangkat bersumpah di hadapan Mahkamah bahwa ia akan melaksanakan kekuasaannya dan tugas-tugasnya secara adil dan bersungguh-sungguh. Untuk menjamin kemerdekaannya, seorang hakim tidak dapat dibebas-tugaskan. Kecuali atas pendapat secara bulat dari anggota-anggota lainnya, ia tidak dapat lagi melaksanakan kondisi-kondisi yang disyaratkan sebagai seorang hakim. Dalam praktek hal ini belum pernah terjadi[2].
ICJ merupakan salah satu dari 6 organ utama PBB. Namun badan ini memiliki kedudukan khusus dibandingkan 5 organ utamaclainnya. ICJ atau Mahkamah tidak memiliki hubungan hierarkhiscdengan badan-badan utama PBB lainnya.11 Ia benar-benar lembagachukum dalam sebagai suatu pengadilan. Ia bukan pula pengadilanckonstitutsi (Constitutional Court) yang memiliki kewenangan untukcmeninjau (mereview) putusan-putusan politis yang dibuat olehcDewan Keamanan.12 Ia menggunakan nama resmi ICJ dan tidakcmenggunakan simbol atau nama PBB dalam putusannya.


[1] IICJ, The International Court of Justice, The Haque, 3rd.ed., 1986, hlm. 22 – 23.
[2] ICJ, op.cit., hlm. 22-23
Huala Adolf, HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL

Sejarah dan Latar Belakang Dibentuknya Mahkamah Internasional

  Salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara hukum atau 'judicial settlement' dalam hukum internasional adalah penyelesaian melalui badan peradilan internasional (world court atau international court)[1]. Dalam hukum internasional, penyelesaian secara hukum dewasa ini dapat ditempuh melalui berbagai cara atau lembaga, yakni: Permanent Court of International of Justice (PCIJ atau Mahkamah Permanen Internasional), International Court of Justice (ICJ atau Mahkamah Internasional), the International Tribunal for the Law of the Sea (Konvensi Hukum Laut 1982), atau International Criminal Court(ICC).
PCIJ pendahulu Mahkamah Internasional (ICJ), dibentuk berdasarkan pasal XIV Kovenan Liga Bangsa-bangsa (LBB) pada tahun 1922. Badan LBB yang membantu berdirinya PCIJ adalah Dewan (Council) LBB. Dalam sidangnya pada awal 1920, Dewan menunjuk suatu Advisory Committee of Jurists untuk membuat laporan mengenai rencana pembentukan PCIJ. Komisi yang berkedudukan di Den Haag dipimpin oleh Baron Descamps dari Belgia. Pada bulan Agustus 1920, Descamps mengeluarkan dan menyerahkan laporan mengenai rancangan pembentukan PCIJ kepada Dewan.
Dalam pembahasan di Dewan, Rancangan tersebut mengalami perubahan-perubahan. Rancangan tersebut pada akhirnya berhasil dirumuskan menjadi Statuta yang mendirikan PCIJ pada tahun 1922. Dua masalah yang timbul pada waktu itu adalah bagaimana memilih hakim dan di mana tempat kedudukan PCIJ. Hasil rancangan Statuta Baron Descamps pada waktu itu telah berpikir jauh ke depan (dan sekarang masih digunakan). Rancangan Descamps yaitu bahwa hakim-hakim yang dipilih harus mewakili peradaban dan sistem hukum di dunia.
Masalah tempat kedudukan PCIJ berhasil dipecahkan berkat inisiatif dan pendekatan pemerintah Belanda pada tahun 1919. Belanda melobi agar tempat kedudukan PCIJ berada di Belanda. Upaya ini berhasil sehingga pada waktu berlangsungnya pembahasan ini, disepakati bahwa kedudukan tetap PCIJ adalah di Peace Palace (Istana Perdamaian), Den Haag. Sidang pertama Mahkamah berlangsung pada tanggal 15 Februari 1922. Persidangan dipimpin oleh ahli hukum Belanda Loder, yang pada waktu itu diangkat sebagai Presiden PCIJ pertama.
Sebagai badan peradilan internasional, PCIJ diakui sebagai suatu peradilan yang memainkan peranan penting dalam sejarah penyelesaian sengketa internasional. Arti peran PCIJ tampak sebagai berikut:
1.         PCIJ merupakan suatu badan peradilan permanen yang diatur oleh Statuta dan Rules of Procedure-nya yang telah ada dan mengikat para pihak yang menyerahkan sengketanya kepada PCIJ.
2.         PCIJ memiliki suatu badan kelengkapan yaitu Registry (pendaftar) permanen yang, antara lain, bertugas menjadi penghubung komunikasi antara pemerintah dan badan-badan atau organisasi internasional.
3.         Sebagai badan peradilan, PCIJ telah menyelesaikan berbagai sengketa yang putusannya memiliki nilai penting dalam mengembangkan hukum internasional. Dari tahun 1922 sampai 1940, PCIJ menangani 29 kasus. Beberapa ratus perjanjian dan konvensi memuat klausul penyerahan sengketa kepada PCIJ[2].
4.         Negara-negara telah memanfaatkan badan peradilan ini dengan cara menundukkan dirinya terhadap jurisdiksi PCIJ.
5.         PCIJ memiliki kompetensi untuk memberikan nasihat hukum terhadap masalah atau sengketa hukum yang diserahkan oleh Dewan atau Majelis LBB. Selama berdiri, PCIJ telah mengeluarkan 27 nasihat hukum yang berupa penjelasan terhadap aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum internasional[3].
6.         Statuta PCIJ menetapkan berbagai sumber hukum yang dapat digunakannya terhadap pokok perkara yang diserahkan kepadanya termasuk masalah-masalah yang meminta nasihat hukum. PCIJ antara lain diberi wewenang untuk menerapkan prinsip ex aequo et bono apabila para pihak menghendakinya.
7.          PCIJ memiliki lebih banyak perwakilan (anggota) baik dari jumlah maupun sistem hukum yang terwakili di dalamnya.
PCIJ, seperti tampak di atas, terbentuk oleh LBB. Namun demikian kedudukan PCIJ terlepas atau tidak merupakan bagian dari LBB. Yang ada hanyalah semacam hubungan erat (close relationship) antara kedua badan ini. Hal ini tampak antara lain dari kenyataan bahwa Dewan secara periodik memilih anggota PCIJ. Dewan berhak meminta nasihat hukum dari Mahkamah. Begitu pula dengan kedudukan Statuta PCIJ. Kedudukannya juga terpisah dengan Kovenan LBB. Karena itu pula anggota Kovenan LBB tidak secara otomatis menjadi anggota Statuta PCIJ[4].
Pecahnya Perang Dunia II di bulan September 1939 telah berakibat serius terhadap PCIJ. Pecahnya perang ini secara politis telah menghentikan kegiatan-kegiatan Mahkamah. Terjadinya peperangan yang terus berkelanjutan ini bahkan telah membuat PCIJ menjadi bubar. Pada tahun 1942, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan rekannya dari Inggris menyatakan kesepakatan untuk mengaktifkan dan membentuk kembali suatu mahkamah internasional. Pada tahun 1943, pemerintah Inggris mengambil inisiatif dengan mengundang para ahli ke London untuk mengkaji masalah tersebut. Pertemuan ini yang membentuk suatu komisi, yaitu ’Inter-Allied Committee' yang dipimpin oleh Sir William Malkin berkebangsaan Inggris. Komisi berhasil mengeluarkan laporannya pada tanggal 10 Februari 1944. Laporan tersebut membuat antara lain beberapa rekomenasi sebagai berikut:
1). bahwa perlu dibentuk suatu mahkamah internasional baru denganstatuta yang mendasarkan pada Statuta PCIJ ;
2). bahwa mahkamah baru tersebut harus memiliki jurisdiksi untuk memberikan nasihat;
3). bahwa mahkamah baru tersebut tidak boleh memiliki jurisdiksi memaksa (compulsory jurisdiction)[5].
Setelah berbagai pertemuan dan pembahasan mengenai pembentukan suatu mahkamah baru, akhirnya kesepakatan berhasil tercapai pada konperensi San Fransisco pada tahun 1945. Konperensi ini memutuskan, antara lain, bahwa suatu badan Mahkamah Internasional baru akan dibentuk dan badan ini merupakan badan hukum utama PBB. Kedudukan badan ini sejajar atau sama dengan Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwakilan, dan Sekretariat. Keputusan tersebut antara lain menyatakan: ‘to create an international court of justice which would in law be a new entity, and not a continuation of the existing permanent Court'.
 Badan peradilan tersebut haruslah: ‘a new court, with a separate and independent jurisdiction to apply in the relation between the parties to the Statute of that new Court[6]. Diputuskan pula bahwa Statuta Mahkamah merupakan lampiran dan bagian yang tidak terpisahkan dengan piagam PBB. Alasan utama konperensi tersebut memutuskan untuk membentuk suatu badan peradilan baru adalah
 1). Karena Mahkamah tersebut akan merupakan badan hukum utama PBB, maka dirasakan kurang tepat peranannya tersebut diisi oleh PCIJ yang pada waktu itu (tahun 1945) sudah tidak aktif lagi.
2). Pembentukan suatu Mahkamah baru lebih konsisten dengan ketentuan Piagam bahwa semua anggota PBB adalah ipso facto juga anggota Statuta Mahkamah.
3). Beberapa negara yang merupakan peserta pada Statuta PCIJ tidak ikut dalam konperensi San Fransisco dan sebaliknya beberapa negara yang ikut dalam konperensi bukanlah peserta pada Statuta PCIJ.
4). Terdapat perasaan dari seperempat anggota peserta konperensi pada waktu itu bahwa PCIJ merupakan bagian dari orde lama, yaitu di mana negara-negara Eropa mendominasi secara politis dan hukum masyarakat internasional dan bahwa pembentukan suatu mahkamah baru akan memudahkan bagi negara-negara di luar Eropa untuk memainkan peranan yang lebih berpengaruh. Hal ini tampak nyata dari keanggotaan PBB yang berkembang dari 51 di tahun 1945 menjadi 159 di tahun 1985[7].
Konperensi San Fransisco menyadari bahwa kelanjutan dari praktek dan pengalaman lama PCIJ, khususnya Statutanya telah berjalan dengan baik. Karena itulah pasal 92 Piagam PBB dengan tegas menyatakan bahwa Statuta ICJ merupakan pengambil-operan dari Statuta PCIJ[8]. PCIJ bersidang terakhir kalinya pada bulan Oktober 1945. Sidang ini memutuskan untuk mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengalihkan arsip-arsip dan harta benda PCIJ kepada ICJ baru yang juga akan berkedudukan di Peace Palace (Istana Perdamaian) di Den Haag, Belanda. Sidang hakim PCIJ pertama kali berlangsung pada tanggal 5 Februari 1946 bersamaan waktunya ketika sidang pertama Majelis Umum PBB berlangsung.
Bulan April 1946, PCIJ secara resmi berakhir. Pada pertemuan pertama ICJ berhasil dipilih presiden pertama ICJ yaitu Hakim Querrero, yang juga adalah presiden terakhir PCIJ. Pertemuan juga memilih anggota-anggota Registry yang kebanyakan berasal dari PCIJ dan mengadakan acara peresmiannya pada tanggal 18 April 1946. Dalam pasal 92 Piagam, status hukum ICJ secara tegas dinyatakan sebagai badan peradilan utama PBB. Di samping ICJ, ada pula badan-badan peradilan lain dalam PBB, yaitu the UN Administrative Tribunal. Badan ini berfungsi sebagai badan peradilan yang menangani sengketa-sengketa administratif atau ketata-usahaan antara pegawai PBB. Status badan ini disebut sebagai ‘a subsidiary judicial organ’ atau badan pengadilan subsider (tambahan).


[1] Peter Malanczuk, Akehurst's Modern Introduction to International Law, London: Routledge, 7th.rev.ed., 1997, hlm. 270
[2]  Cf., Malanczuk menyatakan bahwa PCIJ menangani 32 kasus. Sengketa yang ditangani PCIJ lebih banyak menangani sengketa antar negara-negara Eropa. (Peter Malanczuk, Ibid., hlm 25)
[3]  Peter Malanczuk, Ibid., hlm 25.
[4] Bandingkan dengan kedudukan Statuta ICJ dengan Piagam PBB di bawah, infra.
[5] ICJ, The International Court of Justice, The Haque, 3rd.ed., 1986,hlm. 16-17.
[6] ICJ Report 1964, p. 33, dikutip dalam Goerg Schwarzenberger, International Law as Applied by International Courts and Tribunals, Vol: International Judicial Law, London: Stevens and Sons Ltd., 1986, hlm. ….CEK.
[7] ICJ, op.cit., hlm. 17-18
[8] Pasal 92 Piagam menyatakan “The International Court of Justice shall be the principal organ of the United Nations, It shall function in accordance with the annexed Statuta, which is based upon the Statute of the Permanent Court of International Justice and forms an Integral Part of the present Charter.”