A.
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)
Dalam UUD 1945 jelas
tergambar bahwa dalam rangka Fungsi legislatif dan pengawasan, lembaga utamanya
adalah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 menegaskan, “Dewan Perwakilan Rakyat Memegang kekuasaan
membentuk undang-undang”.
Bandingkan dengan ketentuan
Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden
berhak mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Pasal 5 ayat (1) ini sebelum Perubahan Pertama tahun 1999 berbunyi, “Presiden Memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Kedua pasal tersebut setelah
Perubahan Pertama tahun 1999, berubah drastis sehingga mengalihkan pelaku
kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembentukan undang-undang itu dari tangan
presiden ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan perkataan lain, sejak
Perubahan Pertama UUD 1945 pada tahun 1999, telah terjadi pergeseran kekuasaan
substantif dalam kekuasaan legislatif dari tangan presiden ke tangan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Di samping itu, menurut
ketentuan Pasal 21 UUD 1945, setiap anggota DPR berhak pula mengajukan usul
rancangan undang-undang yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
peraturan tata tertib. Seperti halnya presiden yang berhak mengajukan rancangan
undang-undang, para anggota DPR-pun secara sendiri-sendiri dapat berinisiatif untuk
mengajukan rancangan undang-undang asalkan memenuhi syarat, yaitu jumlah
anggota DPR yang tampil sendiri-sendiri[1] itu mencukupi jumlah
persyaratan minimal yang ditentukan oleh undang-undang. Bahkan lebih dipertegas
lagi dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 ditentukan pula, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan
fungsi pengawasan”.
Artinya, kekuasaan
legislasi, kekuasaan penentuan anggaran (budgeting),
dan kekuasaan pengawasan (control), berada
di Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak
yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi,
hak angket, dan hak menyatakan pendapat”. Ayat (3) Pasal 20A itu menyatakan
pula, “Selain hak yang diatur dalam
pasalpasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota DPR mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul, dan pendapat, serta hak imunitas”.
Untuk menggambarkan kuat
posisi konstitusional DPR berdasarkan UUD 1945, ditegaskan pula dalam Pasal 7C
bahwa “Presiden tidak dapat membekukan
dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.” Sebaliknya, dalam Pasal 7A
ditentukan, “Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.”
Karena pergeseran kekuasaan
yang semakin kuat ke arah Dewan Perwakilan Rakyat inilah, maka sering timbul anggapan
bahwa sekarang terjadi gejala yang berkebalikan dari keadaan sebelum Perubahan
UUD 1945. Dulu sebelum UUD 1945 diubah, yang terjadi adalah gejala “executive heavy”, sedangkan sekarang
setelah UUD 1945 diubah, keadaan berubah menjadi “legislative heavy”. Akan tetapi, menurut studi yang dilakukan oleh
Margarito Khamis[2],
gejala apa yang disebut sebagai “executive
heavy” itu sendiri hanya dampak psikologis yang ditimbulkan oleh pergeseran
bandul perubahan dari keadaan sebelumnya.
Yang sebenarnya terjadi
menurut Margarito, dalam sistim konstitusional yang baru dewasa ini, baik
Presiden maupun DPR sama-sama menikmati kedudukan yang kuat dan sama-sama tidak
dapat dijatuhkan melalui prosedur politik dalam dinamika politik yang biasa.
Dengan demikian, tidak perlu dikuatirkan terjadinya ekses yang berlebihan dalam
gejala “legislative” heavy yang
banyak dikeluhkan oleh berbagai kalangan masyarakat. Karena dampak psikologis
ini merupakan sesuatu yang wajar dan hanya bersifat sementara, sambil
dicapainya titik keseimbangan (equilibrium)
dalam perkembangan politik ketatanegaraan di masa yang akan datang.
Di samping itu, dalam rangka
fungsinya sebagai pengawas, Pasal 11 UUD 1945 menentukan pula:
1) Presiden
dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian
dengan Negara lain.
2) Presiden
dalam membuat perjanjian internasional Lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan DPR.
3) Ketentuan
lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Bahkan dalam Pasal 13 dan
Pasal 14 hasil Perubahan Pertama tahun 1999, bahkan diatur pula hal-hal lain yang
bersifat menyebabkan posisi DPR menjadi lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya.
Pasal 13 ayat (2) menentukan, “Dalam hal
mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR,” dan ayat (3)-nya
menentukan, “Presiden menerima penempatan
duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.” Sedangkan Pasal 14
ayat (2) menentukan, “Presiden memberi
amnesty dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.”
Untuk lebih lengkapnya
uraian mengenai kewenangan DPR itu, dapat dikutipkan di sini ketentuan UUD 1945
Pasal 20 dan Pasal 20A, yang masing-masing berisi lima ayat, dan empat ayat.
Pasal 20 menentukan bahwa:
1) DPR
memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
2) Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama.
3) Jika
rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan itu
tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
4) Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undangundang.
5) Dalam
hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi
undang- undang dan wajib diundangkan.
Selanjutnya, ketentuan Pasal
20A berbunyi:
1) DPR
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.
2) Dalam
melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat.
3) Selain
hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap angota
DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta
hak imunitas.
4) Ketentuan
lebih lanjut tentang DPR dan hak anggota DPR diatur dalam undang-undang.
Selain ketentuan tersebut,
dalam Pasal 21 UUD 1945 juga dinyatakan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan
undang-undang.” Anggota DPR itu sendiri, menurut ketentuan Pasal 19 ayat
(1) dipilih melalui pemilihan umum. Dalam ayat (2)nya ditentukan bahwa susunan
DPR itu diatur dengan undang-undang. Selanjutnya dalam Pasal 22B diatur pula
bahwa “Anggota DPR dapat diberhentikan
dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
undang-undang.”
B.
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
Pembentukan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) semula dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen
Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD. Dengan
struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan
berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan representasi kepentingan
seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih
luas. DPR merupakan cermin representasi politik (political representation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip
representasi Territorial atau regional (regional
representation).
Akan tetapi, ide
bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar itu mendapat tentangan yang
keras dari kelompok konservatif di Panitia Ad Hoc Perubahan UUD 1945 di MPR
1999-2002, sehingga yang disepakati adalah rumusan yang sekarang yang tidak
dapat disebut menganut sistem bikameral sama sekali. Dalam ketentuan UUD 1945 dewasa
ini, jelas terlihat bahwa DPD tidaklah mempunyai kewenangan membentuk
undang-undang. Namun, di bidang pengawasan, meskipun terbatas hanya berkenaan dengan
kepentingan daerah dan hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang
tertentu, DPD dapat dikatakan mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan fungsi
pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Oleh karena itu, kedudukannya hanya
bersifat penunjang atau auxiliary terhadap fungsi DPR di bidang legislasi,
sehingga DPD paling jauh hanya dapat disebut sebagai co-legislator, dari pada
legislator yang sepenuhnya. Oleh karena itu, DPD dapat lebih berkonsentrasi di
bidang pengawasan, sehingga keberadaannya dapat dirasakan efektifitasnya oleh
masyarakat di daerah-daerah. Menurut ketentuan Pasal 22D UUD 1945, Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) mempunyai beberapa kewenangan sebagai berikut:
1) DPD
dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan:
·
otonomi daerah;
·
hubungan pusat dan daerah;
·
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan
daerah;
·
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya
ekonomi lainnya; serta
·
yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
Pusat dan daerah.
2) Dewan
Perwakilan Daerah (DPD):
a. ikut
membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
·
otonomi daerah;
·
hubungan pusat dan daerah;
·
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah;
·
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya; serta
·
perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
b. memberikan
pertimbangan kepada DPR atas:
·
rancangan undang-undang anggaran pendapatan
dan belanja negara;
·
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak;
·
rancangan undang-undang yang berkait dengan
pendidikan; dan
·
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
agama.
3) Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) dapat melakukan pengawasan (control) atas:
a. Pelaksanaan
UU mengenai:
·
otonomi daerah;
·
pembentukan, pemekaran dan penggabungan
daerah;
·
hubungan pusat dan daerah;
·
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya;
·
pelaksanaan anggaran dan belanja negara;
·
pajak;
·
pendidikan; dan
·
agama; serta
b. menyampaikan
hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti.
Dengan demikian, harus
dibedakan antara fungsi DPD dalam bidang legislasi dan bidang pengawasan.
Meskipun dalam bidang pengawasan, keberadaan DPD itu bersifat utama (main constitutional organ) yang
sederajat dan sama penting dengan DPR, tetapi dalam bidang legislasi, fungsi Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) itu hanyalah sebagai colegislator di samping Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Sifat tugasnya di bidang legislasi hanya menunjang (auxiliary agency) tugas konstitusional
DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau legislasi, DPD tidak mempunyai
kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan keputusan
sama sekali. Padahal, persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD jauh lebih
berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPR. Artinya, kualitas
legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh
kualitas kewenangannya sebagai wakil rakyat daerah (regional representatives).
Dalam Pasal 22C diatur
bahwa:
(1) Anggota DPD dipilih dari
setiap provinsi melalui pemilihan umum.
(2) Anggota DPD dari setiap
provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga
jumlah anggota DPR.
(3) DPD bersidang sedikitnya
sekali dalam setahun.
(4) Susunan dan kedudukan
DPD diatur dengan undangundang.
Seperti halnya, anggota DPR,
maka menurut ketentuan Pasal 22D ayat (4), “Anggota DPD dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.”
C.
Bikameral
Sistem
Sistem ini pada umunya
dianut dan dilaksanakan di dalam negara-negara yang berbentuk federal atau yang
pemerintahannya berbentuk kerajaan. Di dalam kerajaan sebagaimana kita lihat di
Inggris, proses berlakunya sistem 2 kamar adalah sebagai perwujudan dari asas-asas
demokrasi. Kita mengetahui bahwa yang semula mempunyai kesempatan untuk ikut
serta membicarakan dan menentukan masalah-masalah kenegaraan adalah wakil-wakil
dari golongan bangsawan dan gereja. Akan tetapi dengan timbulnya keinginan
daripada rakyat banyak, demikian pula dengan adanya perjanjian mengenai HAM,
timbulah lembaga-lembaga baru dimana didalamnya duduk wakil-wakil rakyat yang
dipilih secara langsung. Sistem dua kamar ini kemudian dianut dan dilaksanakan
pada umumnya di negara-negara federal, seperti yang dapat kita lihat di Amerika
Serikat, Uni Soviet, dan RIS.
Di Amerika Serikat, pada
waktu konstitusinya direncanakan oleh wakil-wakil dari 13 negara di
Philadelphia, terjadilah pertentangan antara golongan federasi dan golongan
confederasi. Setelah disetujui bersama adanya House of Representative, dimana didalamnya duduk wakil-wakil rakyat
yang dipih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat, timbul persoalan
tentang bagaimana negara-negara bagian itu dapat mempertahankan eksistensinya.
Salah seorang peserta,
kemudian mengemukakan suatu konsepsi yang briliant, yaitu dengan dicetuskannya
suatu gagasan yang kemudian dikenal dengan nama Senate. Sebagai lembaga
perwakilan, anggota-anggota senate diambil dari negara-negara bagian dengan jumlah
penduduk yang sama, yaitu 2 orang tanpa melihat jumlah penduduk warga negara
daripada Negara-negara bagian itu,. Kalau pada mulanya anggota-anggota
senatini, menurut article I, section 3,
harus dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat masing-masing negara bagian, maka
didalam amandemen XVII, para anggota senat tersebut harus dipilih oleh rakyat
masing-masing negara bagian.
Ciri-ciri yang terlihat
dalam sistem ini yaitu:
·
Di antara lembaga perwakilan rakyat tersebut
kedudukannya sederajat
·
Kedua lembaga perwakilan rakyat memiliki
tugas dan wewenang sama/tidak berbeda
·
Di antar lembaga perwakilan rakyat ada tidak
terdapat rangkap jabatan
Terdapat 2 variasi dari
sistem bikameral yaitu: “strong bikameralism,
medium bicameralism atau weak bicameralism”. Bikameral kuat terjadi jika
masing-masing kekuasaan seimbang dan komposisi kedua kamar terdiri dari
perwakilan yang berbeda dengan cara pengisian yang berbeda pula. Jika kekuasaan
kedua kamar tidak seimbang, namun komposisi dan cara pengisiannya berbeda atau
sebaliknya disebut sebagai bikameral sedang. Sementara itu, bikameral lemah
jika kedua kamar memiliki kekuasaan yang tidak seimbang dan komposisi serta
cara pengisian kedua kamarnya sama[3].
Semula, reformasi struktur
parlemen Indonesia disarankan oleh banyak kalangan ahli hukum dan politik
supaya dikembangkan menurut sistem bikameral yang kuat (strong bicameralism) dalam arti kedua kamar dilengkapi dengan
kewenangan yang sama-sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain. Untuk
itu, masing-masing kamar diusulkan, dilengkapi dengan hak veto. Usulan semacam
ini berkaitan erat dengan sifat kebijakan otonomi daerah yang cenderung sangat
luas dan hampir mendekati pengertian sistem federal. Kebijakan otonomi daerah
di Indonesia di masa depan dinilai oleh sebagian besar ilmuwan politik dan
hukum cenderung bersifat federalistis dan karena itu lebih tepat mengembangkan
struktur parlemen yang bersifat strong
bicameralism[4].
Namun demikian, perubahan ketiga UUD 1945
justru mengadopsi gagasan parlemen bikameral yang bersifat soft. Kedua kamar
dewan perwakilan tersebut tidak dilengkapi dengan kewenangan yang sama kuat.
Yang lebih kuat tetap DPR, sedangkan kewenangan DPD hanya bersifat tambahan dan
terbatas pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Dalam
kaitannya dengan fungsi legislatif, misalnya, DPD hanya memberikan pertimbangan
kepada DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang sesungguhnya. Pasal 22D
ayat (1), (2) dan (3), dinyatakan:
(1) Dewan
Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada DPR rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
(2) Dewan
Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan
kepada DPR atas rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja negara,
dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
(3) Dewan
Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan
dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
Dengan ketentuan demikian,
jelas bahwa kewenangan Dewan Perwakilan Daerah bersifat terbatas. Dalam
kaitannya dengan fungsi legislatif, misalnya, Dewan Perwakilan Daerah hanya
memberikan pertimbangan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemegang
kekuasaan legislatif yang sesungguhnya. Seperti yang ditentukan dalam Pasal 22C
ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945, jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah itu
hanya sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu, banyak
orang berpendapat bahwa struktur parlemen Indonesia berdasarkan hasil Perubahan
Ketiga UUD 1945 tersebut bersifat soft
bicameralism atau bikameralisme yang sederhana. Akan tetapi, jika
diperhatikan dengan sungguh-sungguh, seperti telah diuraikan sebelumnya,
struktur partai Indonesia pasca Perubahan Keempat UUD 1945 sama sekali tidak
dapat disebut sebagai sistem bikameral. Pertama, ternyata bahwa DPD sama sekali
tidak diberi kewenangan legislatif, meskipun hanya sederhana sekalipun. Karena
itu, banyak orang berpendapat bahwa struktur parlemen indonesia bersifat soft bicameralism atau bikameral yang
sederhana. Akan tetapi, jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh struktur
partai Indonesia pasca amandemen keempat UUD 1945 sama sekali tidak dapat
disebut sebagai sistem bikameral. Pertama, ternyata bahwa DPD sama sekali tidak
diberi kewenangan legislatif, meskipun hanya sederhana sekalipun. DPD hanya memberikan
saran atau pertimbangan kepada DPR dan sama sekali tidak berwenang mengambil
keputusan apa-apa di bidang legislatif. Kedua, Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa
“MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan
diatur lebih lanjut dengan Undang-undang”, tidak seperti di Amerika Serikat
yang dikatakan terdiri atas DPR dan Senat, atau Staten General Belanda yang
terdiri atas “Eerste Kamer dan Tweede
Kamer”. Ketiga, ternyata lembaga MPR juga mempunyai kewenangan dan Pimpinan
tersendiri. Dari kedua hal itu, maka MPR dapat dikatakan sebagai institusi
tersendiri, sehingga struktur parlemen Indonesia dapat disebut sebagai parlemen
tiga kamar (tricameralism).
Apabila dilihat dari kasat
mata, sistem perwakilan di Indonesia seolah-olah menjadi tiga kamar jika
dilihat dari eksistensi keberadaan lembaga, dimana MPR memiliki wewenang dan
pimpinan tersendiri. Akan tetapi, apabila kita hubungkan dengan proses
legislasi maka memang MPR tidak memiliki fungsi legislasi layaknya fungsi
legislasi yang terdapat dalam tubuh DPR.
[1]
Yang dimaksudkan dengan
perkataan “sendiri-sendiri” di sini adalah Bahwa ketika menjadi pemerakarsa,
setiap anggota DPR itu tidak tergantung kepada fraksinya, melainkan tampil
sebagai pribadi anggota DPR secara sendiri-sendiri. Tetapi jumlah mereka
diharuskan mencukupi jumlah minimal menurut undangundang tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPRD, dan DPD. dikutip dari Jimly, asshidiqie, LEMBAGA NEGARA PASCA REFORMASI, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, jakarta 2006 hlm, 132
[2]
Margarito Khamis, disertasi doktor dalam ilmu hukum tatanegara, Pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2004.
[3]
Jimly Asshidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme,
Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, jakarta 2006 hlm, 148.
[4]
Ibid, hal 149