Dalam permohonannya, Yusril meminta penafsiran Mahkamah Konstitusi atas Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. Yusril mendalilkan bahwa tindakan atau kebijakan Jaksa Agung Hendarman Supandji harus dinyatakan tidak sah atau ilegal karena jabatan yang disandangnya cacat hukum atau tidak sah.
Yusril pun kemudian mengajukan permohonan adanya putusan provisi agar MK memerintahkan Kejaksaan Agung untuk menghentikan atau menunda penyidikan kasus dugaan korupsi sistem administrasi badan hukum yang diduga menjeratnya.
Terhadap permohonan putusan provisi, Mahkamah menyatakan tidak dapat dikabulkan. Mahkamah menilai permohonan itu tidak tepat menurut hukum karena tidak terkait langsung dengan permohonan utama.
Mahkamah beralasan, bahwa putusan MK hanya menguji norma abstrak, tidak mengadili kasus konkret seperti penyidikan atau pencegahan dalam kasus pidana terhadap Yusril. "Karena permohonan Pemohon sudah masuk ke kasus konkret maka Mahkamah tidak dapat mengabulkannya," jelas Majelis Konstitusi.
Mengenai permohonan Yusril, MK menilai bahwa fungsi kejaksaan sebagai institusi tidak selalu bergantung pada fungsi Jaksa Agung sebagai pejabat. Sehingga seumpama pun jabatan Jaksa Agung tidak sah, maka tidak dengan sendirinya penyidikan dan pencegahan oleh institusi Kejaksaan menjadi tidak sah. Sebab tugas penyidikan adalah tugas fungsional kejaksaan yang bersifat permanen.
Lebih dari itu, seumpama pun di luar masalah keabsahan jabatan Jaksa Agung, dalam kasus-kasus tertentu, ada indikasi ketidakabsahan atau ilegalitas dalam penyidikan maka forum hukumnya berada di luar kompetensi Mahkamah.
Pertimbangan selanjutnya, MK menilai bahwa dalam praktik ketatanegaraan yang berlangsung selama ini, penetapan masa jabatan telah digunakan dalam beberapa jabatan publik. Contohnya adalah Presiden dan Wakil Presiden, anggota Komisi Yudisial, dan Hakim Konstitusi, yang memiliki masa jabatan lima tahun.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah tidak setuju dengan keterangan dari ahli yang diajukan oleh pemerintah seperti Denny Indrayana dan Achmad Roestandi. Dua ahli itu menyatakan bahwa jabatan Jaksa Agung dapat saja berlangsung seumur hidup.
Menurut Mahkamah, pandangan tersebut tidak tepat, karena menurut prinsip demokrasi dan konstitusi untuk setiap jabatan publik harus ada batasan tentang lingkup kewenangan dan batas waktunya yang jelas dan pasti, apalagi jabatan dalam lingkungan kekuasaan pemerintahan seperti jabatan Jaksa Agung.
Mahkamah justru lebih setuju dengan ahli-ahli yang diajukan oleh Yusril seperti mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, mantan Hakim Konstitusi Laica Marzuki dan HAS Natabaya.
"Mahkamah sependapat dengan para ahli tersebut, jika Jaksa Agung yang diangkat dalam jabatan politik setingkat Menteri maka masa jabatannya harus sudah berakhir bersamaan dengan masa jabatan Presiden yang mengangkatnya, sedangkan apabila Jaksa Agung diangkat berdasarkan karirnya sebagai jaksa maka masa tugasnya harus berakhir pada saat mencapai usia pensiun," urai majelis.
MK pun akhirnya mengabulkan permohonan Yusril mengenai masa jabatan Hendarman. MK menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan adalah sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”.
MK juga menyatakan Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan”.
******
Putusan MK itu ternyata tidak diamini oleh sembilan Hakim Konstitusi. Dua Hakim Konstitusi, Achmad Sodiki dan Harjono, mengajukan dissenting opinion (mengajukan pendapat berbeda).
Hakim Konstitusi, Achmad Sodiki, menjelaskan masa jabatan Jaksa Agung sebenarnya sudah tercantum dalam Pasal 19 UU Kejaksaan yang menyebut 'Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden'. "Jarak antara diangkat dan diberhentikan itulah masa jabatan Jaksa Agung," kata Achmad Sodiki.
Menurutnya, meski Jaksa Agung juga adalah pembantu Presiden, namun jabatan itu tidak dapat disamakan dengan menteri. "Seorang jaksa agung tidak mengenal demisioner. Ia tetap menjalankan jabatannya tidak kurang dan tidak lebih sewaktu para menteri didemisionerkan," jelasnya.
"Yang menjadi masalah adalah apakah setelah masa jabatan Presiden berakhir, ia juga berakhir jabatannya? Jika ia tidak berakhir apakah menimbulkan ketidakpastian hukum?" ujarnya.
Mengenai pengangkatan Jaksa Agung yang harus melalui Keputusan Presiden, Sodiki menjelaskan, bahwa hal itu berlaku dari terbitnya Keppres Pengangkatan Jaksa Agung hingga terbitnya keppres baru tentang pemberhentiannya.
Selain itu, Sodiki menilai, Jaksa Agung tidak akan mungkin menolak jika diberhentikan dari jabatannya. "Tidak pernah ada praktek ketetanegaraan di Indonesia selama ini bahwa Jaksa Agung tidak mau diberhentikan oleh Presiden. Sebab memang Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden."
"Selama aturannya belum berubah ke depan saya percaya tidak akan ada Jaksa Agung yang menolak diberhentikan oleh Presiden, walaupun masa jabatannya tidak diatur secara ketat dalam undang-undang. The life of law has not always been logic, it has been experience," tambahnya.
Perbedaan pendapat serupa juga disampaikan Hakim Konstitusi, Harjono. Menurutnya, jabatan Jaksa Agung termasuk dalam apa yang disebut sebagai "political appointees" oleh Presiden atau disebut sebagai hak prerogatif Presiden.
"Berdasarkan atas ajaran pembagian kekuasaan, fungsi dan tugas Jaksa Agung masuk dalam rumpun eksekutif. Oleh karenanya, sangatlah tepat kalau jabatan Jaksa Agung termasuk jabatan political appointees dari Presiden. Sebagai perbandingan tentang kedudukan dan masa jabatan, Jaksa Agung di Amerika Serikat," kata Harjono.
Meski demikian, Harjono mengakui bahwa seorang pejabat itu harus ada akhir masa jabatannya. Namun, jabatan Jaksa Agung memiliki kekhususan yakni di bidang hukum.
Karena kekhususan tugas dan kewenangannya, dia melanjutkan, maka tidak secara serta merta jabatan Jaksa Agung harus berakhir bersama-sama dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkatnya. Namun, akan berakhir pada saat telah ditunjuk dan diserahterimakan jabatan kepada pengganti Jaksa Agung yang baru.
Harjono menjelaskan, hal tersebut dilakukan untuk menghindari kekosongan jabatan Jaksa Agung. Karena, Jaksa Agung diberi kewenangan atributif oleh undang-undang yang tidak dapat digantikan oleh orang lain dan kewenangan tersebut sangat penting dalam rangka penegakan hukum.
• VIVAnews