A. Sejarah dan Arti Penting Undang-Undang
Pokok Agararia
Salah satu hasil karya anak
bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus revolusioner, yakni Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya
disebut Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agararia) merupakan
Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara3.
Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat[1]”. Inilah dasar
konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang
Pokok Agararia). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima
bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi,
dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang
satu tidak mengabaikan yang lain.
Setelah proses pembahasan Rancangan
Undang-Undang Pokok Agararia yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo
sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan
dengan jelas bahwa[2]:
“...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan
sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman,
pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk
membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan
kaum modal asing...”.
Semangat untuk mengisi
stelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi oleh dinamika dari
pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam
pergerakan anti kolonialisme[3]. Soetandyo Wignjosoebroto
menyatakan[4]
“...yang sangat dipentingkan pada saat itu memang bukan resultat-resultat
hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana Demokrasi Terpimpin yang
hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu adalah kerevolusineran
tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari negeri-negeri liberal
kapitalis yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa...”.
Semangat menentang strategi
kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan
manusia atas manusia” (exploitation de
l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi
sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi
lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan Undang-Undang Pokok
Agararia.
Dalam Penjelasan Umumnya,
dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya Undang-Undang Pokok
Agararia adalah[5]:
1. Meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat
untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani,
dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2. Meletakkan
dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3. Meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat seluruhnya.
Hal penting lainnya adalah
bahwa Undang-Undang Pokok Agararia sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok
pembentukan struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang-undangan landreform ini telah dimulai dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan
untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil[6]. Ini bertujuan menegakkan
keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya
sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap
yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah
produksi[7]. Demikian juga
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian.
Salah satu konsepsi terpenting dalam Undang-Undang
Pokok Agararia yang kemudian mendasari berbagai peraturan lainnya adalah Hak
Menguasai Negara dan fungsi sosial hak atas tanah. Berikut ini diuraikan secara
umum tentang kedua asas terpenting ini.
1.
Hak
Menguasai Negara
Ini dirumuskan untuk pertama
kalinya secara formal dalam Undang-Undang Pokok Agararia 1960 dengan memberi
wewenang kepada Negara untuk[8]:
a. mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa;
b. menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa;
c. menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Kewenangan HMN tersebut
dipahami dalam kerangka hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan
alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti
di negara Barat maupun di negara –negara komunis. Negara dalam hal ini sebagai
Badan Penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan
tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan
perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka negara
harus mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa[9]. Dengan ini AP. Parlindungan
menyebutnya sebagai hak rakyat pada tingkat Negara[10].
Prof. Maria SW Sumardjono
mengatakan bahwa kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal: pertama, oleh
UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat
pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan yang bias
terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah
satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat
perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut. Kedua,
pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh
negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak
swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan.
Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan
menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan[11].
2.
Fungsi
Sosial Hak atas Tanah
Dianutnya prinsip fungsi
sosial dalam Undang-Undang Pokok Agararia tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok
saat itu. Agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir
orang, dimasukkan unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaannya.
Sehingga dalam hak individu ada hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi
individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena
itu lahirlah peraturan landreform.
Pengaturan batas pemilikan atas tanah oleh perseorangan dilakukan sehingga
pemilikan itu hanya dihubungkan dengan usaha mencari nafkah dan penghidupan
yang layak, atau hanya digunakan untuk pemukiman, pertanian dan perindustrian
rumah.
A. Tinjauan Historis Landreform
1.
ORDE
LAMA
a.
PANITIA
AGRARIA YOGYAKARTA
Pada tahun 1948 sudah
dimulai usaha kongkret untuk menyusun dasar – dasar hukum agraria yang baru, yang
akan menggantikan hukum agraria warisan pemerintah jajahan, dengan pembentukan
Panitia Agraria yang berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.
Panitia dibentuk dengan penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei
1948 Nomor 16, diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria
Kementerian Dalam Negeri) dan beranggotakn pejabat-pejabat dari berbagai
kementerian dan jawatan, anggota-anggota badan pekerja KNIP yang mewakili
organisasi-organisasi tani dan daerah, ahli-ahli hukum adat dan wakil dari
serikat buruh perkebunan. Panitia ini dikenal dengan panitia Agraria
Yogyakarta.
Panitia Jogja bertugas untuk :
I.
memberikan pertimbangan kepada pemerintah
tentang soal-soal hukum
II.
pemerintahan
III.
merancangkan dasar-dasar hukum tanah yang memuat
politik agraria.
IV. Serta
merancang perubahan, pergantian, pencatutan peraturan lama baik dari sudut
legislatif baik dari sudut praktek yang menyelidiki soal-soal hukum tanah.
Panitia mengusulkan
asas-asas yang akan merupakan dasar dari hukum agraria baru:
i.
Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak
ulayat.
ii.
Diadakannya peraturan yang memungkinkan
adanya hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebabi hak
tanggungan.
iii.
Suapaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan
negara-negara lain, terutama negara-negara tetangga, sebelum menetukan apakah
apakah orang-orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.
iv.
Perlunya diadakan penepan luas minimum tanah
untuk menghindarkan pauparisme diantara petani kecil dan memberi tanah yang
cukup untuk hidup yang patut sekalipun sederhana.
v.
Perlunya ada penetapan luas maksimum.
vi.
Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak
tanah.
vii.
Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan
hak-hak menumpang yang penting (annex kadaster).
b.
PANITIA
JAKARTA
Kemudian setelah negara RI
sebagai negara Kesatuan Republik Indonesia maka berdasarkan Kepres tertanggal
19 Maret 1951 No. 36 tahun 1951 Panitia Yogya dibubarkan kemudian dibentuk
“PANITIA JAKARTA” yang diketuai oleh “Sarimin Reksodiharjo” pada tahun 1953
yang pada saat itu berjabat sebagai pejabat politik. Panitia ini beranggotakan
pejabat-pejabat dari berbagai kementrian, dan jawatan serta wakil-wakil dari
organisasi tani. Pada tahun 1953 Sarimin Reksodiharjo digantikan oleh Singgih Praptodiharjo,
karena Sarimin diangkat sebagai Gubernur di Nusa Tenggara.
Adapun usulan yang dapat diberikan dalam
pembentukan agraria :
i.
mengadakan batasan minimal luas tanah yaitu 2
hektar.
ii.
ditentukan luas batas adalah 25 hektar.
iii.
yang dapat memiliki tanah untuk pertanian
kecil adalah warga negara asli dan warga negara bukan asli.
iv.
Badan hukum tidak diberikan kesempatan untuk
mengerjakan tanah pertanian, untuk pertanian kecil diterima bangunan hak milik,
hak pakai, hak usaha.
v.
Hak ulayat disetujui untuk diatur atas kuasa
UUD Dasar Pokok Agraria. Pada tanggal 29 Maret 1951 dikeluarkan Keppres No.
5/1955 yaitu dengan dibentuknya Kementrian agraria, dengan tugas : untuk
mempersiapkan perundang-undangan agraria nasional dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku dalam Ketentuan UUD 1950.
c.
PANITIA
SOEWAHJO
Dengan dibentuknya
Kementrian agraria nasional yang diketuai oleh Goenawan. Nampak hasil pemerintah yang sungguh-sungguh
untuk membentuk pembaharuan hukum agraria. Namun susunan dan cara kerjanya
panitia ini tidak dapat diharapkan sebagaimana mestinya. Maka Kementrian
Nasional dibubarkan sesuai dengan Keppres No. 1 tahun 1956 pada tanggal 14
Januari 1956 dan dibentuk Panitia Urusan Negara Agraria yang berkedudukan di
Jakarta yang diketuai oleh Soewatijo Soemodilogo yang menjabat pada saat itu
sebagai Sekjend Kementrian Agraria.- Panitia ini beranggotakan :
i.
Pejabat-pejabat dari berbagai kementrian dan
jawatan
ii.
ahli-ahli hukum adat
iii.
Wakil-wakil dari beberapa organisasi tani
Panitia ini bertugas : untuk
mempersiapkan Rancangan Undang-undang Pokok Agraria dalam jangka waktu 1 tahun
harus selesai pada tahun 1951. Ada beberapa hal pokok yang penting dalam RUUPA
:
i.
dihapusnya azas domein dan diakuinya hak
ulayat yang harus tunduk kepada kepentingan umum atau negara.
ii.
Asas domein diganti dengan hak kekuasaan
negara .
iii.
Dualisme hukum agraria dihapuskan.
iv.
hak-hak atas tanah, hak milik sebagai hak
yang terkuat mempunyai fungsi
v.
sosial, hak usaha, hak bangunan dan hak
pakai.
vi.
hak milik hanya boleh dipunyai oleh
orang-orang WNI tidak dibedakan warga negara asli atau warga negara tidak asli,
serta badan hukum pada dasarnya tidak dibolehkan memiliki hak atas tanah.
vii.
perlu diadakan penetapan batas minimum dan
maksimum tanah yang boleh dipakai oleh Badan Hukum.
viii.
tanah pertanian pada dasarnya harus
dikerjakan dan diusakan sendirian dan diusahakan oleh pemiliknya.
ix.
perlu diadakan pendaftaran tanah dan rencana
penggunaan tanah.
d.
RANCANGAN
SOENARJO
Dengan adanya perubahan
sistematik dan perumusan beberapa pasalnya, maka rancangan “Panitia Soewahjo”
tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada
tanggal 14 Maret 1958. Rancangan undang-undang ini dikenal kemudiab sebagai
“Rancangan Soenarjo”, disetujui oleh Dewan Menteri dalam sidangnya ke 94 pada
tanggal 1 April 1958 dan kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
dengan amanat Presiden tanggal 24 April 1958 Nomor 1307/HK.
Rancangan Soenarjo
menggunakan lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang baik untuk hukum agraria yang
baru, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum Barat, yang disesuaikan
dengan kesadaran hukum rakyat dan kebutuhan dalam hubungan perekonomian. Sifat
ketentuan dari hak-hak tertentu, dalam rancangan Soenarjo, dianggap telah
merupakan suatu pengertian yang erat hubungannya dengan soal kepastian hukum,
karenanya sangat diperhatikan.
Disebutkan dalam penjelasan
umum bahwa rumusan mengenai hak miliknya mempersatukan ketentuan hak eigendom
atas tanah (menurut hukum Barat) dan hak milik menurut hukum adat.
e.
RANCANGAN
SADJARWO
Setelah disesuaikan dengan UUD
1945 dan Pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959, dalam bentuk
lebih sempurna dan lengkap diajukanlah Rancangan undang-Undang Pokok Agraria
yang baru oleh Menteri Agraria Sadjarwo sehingga dikenal sebagai “Rancangan
Sadjarwo”.
Rancangan Soejarwo berbeda
prinsipiil dari rancangan Soenarjo. Ia hanya menggunakan hukum adat sebagai
dasar hukum agraria baru dan ia tidak mengoper pengertian-pengertian “hak
kebendaan” dan “hak perorangan” yang tidak dikenal daam hukum adat,
Rumusan bahwa hak milik, hak
usaha dan hak bangunan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga “dari
rancangan Soenarjo, diubah dengan sengaja dalam rancangan Sadjarwo menjadi hak
milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain, karena tidak berkehendak untuk memasukkannya pengertian-pengertian
“hak kebendaan” dan “hak perorangan” ke dalam hukum agraria yang baru
Sebagaimana disebut
sebelumnya, peraturan mengenai redistribusi tanah telah diawali dengan
Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian.
Secara historis, Orde Lama telah menempatkan landreform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan
semestanya. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah
antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari
pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan
melaksanakan landreform menurut
ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi
industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus
diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto
Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti
penghisapan atas manusia oleh manusia (Iâ exploitation de Iâ homme per Iâ
homme); kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme
dan kapitalisme dengan landreform
sebagai agenda pokoknya.
Demikian juga dari jumlah
Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan Periode 1960-1966,
sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan
pada masa ini adalah tentang landreform
dan pengurusan hak atas tanah[12]. Tampak jelas bahwa era
pemerintahan ini meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang harus segera
diprioritaskan. Landreform sebagai
bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang
berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan
sebagai alat penghisapan.
Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik
agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama
kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah[13]. Kepentingan dari dua
golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga
golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah berdasar
prinsip “tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya”. Sedangkan mereka
yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia
lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua
adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian
PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan
atas luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan.
Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap kedua
golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal tetapi dengan
penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri
Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan Undang-Undang Pokok Agararia
menjadi anggotanya[14].
Pelaksanaan program ini
ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan
dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas
maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin
petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Tetapi ketiga program
tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo bahwa kelemahan
administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan redistribusi tanah; dan
kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani, organisasi politik,
tokoh-tokoh dan panitia landreform
sendiri. Hal ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh
petani yang lapar tanah maupun tuan tanah[15]. Akibat banyaknya aksi
sepihak ini, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang
Pengadilan Landreform.
Sehingga dapat dikatakan
bahwa program landreform sebagai
awalan pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan[16]. Hal itu karena20[17]:
·
Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam
pelaksanaan Hak Menguasai Negara;
·
Tuntutan organisasi dan massa petani yang
ingin meredistribusikan tanah secara segera sehingga kemudian timbul aksi
sepihak;
·
Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding dan
siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform;
·
Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua
pihak yaitu yang pro dan kontra landreform.
Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang lebih besar di dalam
konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30 September 1965
dan jatuhnya rezim Orde Lama.
Akan halnya hasil dari
program landreform masa ini—menurut
Utrecht—adalah diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar[18], yaitu sejak program ini
dicanangkan pertama kalinya hingga akhir tahun 1964. Perinciannya adalah tahap
I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah 152.502 hektar karena tahap II
ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru dilaksanakan di Pulau Jawa,
Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah kelebihan yang telah ditentukan
adalah 337.445 hektar.
2.
ORDE BARU
Berbeda dengan Orde Lama,
pemerintahan Soeharto ini memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan
memulai kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing
dalam pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi)
perusahaan asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh
pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan alasan kondisi
perekonomian yang kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan
sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri
sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru[19].
Stigma “PKI” atau subversif sering dicapkan kepada
orang-orang atau organisasi-organisasi yang tidak se-ide dengan rezim ini
sehingga terjadi pembekuan gerakan-gerakan revolusioner. Sebagaimana landreform yang merupakan salah satu
kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga
dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang semula
dientukan sebagai tanah kelebihan—dan karenanya menjadi objek redistribusi
tanah—dilakukan oleh sejumlah tuan tanah.
Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai
masalah tehnis, atau sebagai program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini
menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1970 yang menghapus Undang-Undang tentang Pengadilan Landreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara
sosiologis tidak diberlakukan pada era ini.
Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang
cenderung populis sebagaimana dalam Undang-Undang Pokok Agararia, diganti
dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok
Orde Lama dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi
terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan
penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi
pertanian sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan
bahkan ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.
Dari data yang diperoleh
pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993, didapatkan data penguasaan
tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani
hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2)
48,61% memguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang
menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan pemilikan tanah
pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan rumah
tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720
atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai 1.457.477,46 hektar
atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari data tersebut,
berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian rata-rata seluas 0,24
hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174
hektar[20]. Data tersebut
menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang didominasi oleh
para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan hutan dan sumber
daya agraria lainnya.
Selain itu, dalam hal
pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan
lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde
Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru
tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum dari
pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat.
Perbedaan lainnya adalah jika Undang-Undang
Pokok Agararia dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 lebih mendasarkan
pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif. Bahwa apa-apa yang terdaftar
tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan pemilikan tanah.
Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang terdaftar merefleksikan keadaan
yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang yang sebenarnya berhak atas tanah
dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas tanah miliknya meskipun tanah
tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang lain. Dalam peraturan yang baru
disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif sesuai dengan UNDANG-UNDANG
POKOK AGRARIA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi dengan
upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu.
Ketika ini dikaitkan dengan
LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang mengatakan: ...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang
pluralistik yang dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini
bertujuan untuk menciptakan homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan
kepentingan bisnis untuk memperoleh tanah yang selama ini dimiliki masyarakat
adat secara komunal. Dan inilah yang kemudian dinilai banyak pihak semakin
mengeliminir keberadaan tanah ulayat.
Hasil redistribusi tanah yang didapat pada
Juni 1998 adalah dari 1.397.167 hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931 hektar (56,4%)
yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani[21].
3.
ORDE
REFORMASI
Seiring dengan perubahan
konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan dilaksanakannya
sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan
kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan
dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap Undang-Undang Pokok Agararia.
Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam
(agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998.
Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru
dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.
Landreform
kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu disebutkan dalam
pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan
agraria adalah:
·
melaksanakan penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah
oleh rakyat;
·
menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui
inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
Selanjutnya pada masa
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah pun kembali
diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini
akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar
lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan
kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah
yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan
produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya
habis, maupun tanah bekas swapraja[22].
DAFTAR
PUSTAKA
A. Buku
Fauzi, Noer, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan
Politik Agraria di Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1999.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi,
Djambatan, Jakarta 1999.
Ismail, Nurhasan, Perkembangan Hukum Pertanahan
Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006.
Parlindungan, AP., Komentar atas Undang-Undang Pokok
Agraria, Mandar Maju, Bandung, 1991.
Simarmata, Ricardo, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat
Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006.
-------, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan
Implementasi, edisi revisi, Kompas, Jakarta, 2001.
Suseno, Frans Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis,
Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Tjondronegoro, Sediono MP. &Gunawan Wiradi, Dua Abad
Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa,
Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta,1984.
Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Nasional: Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali
Press, Jakarta 1994.
B. Pearturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar
Tahun 1945
Undang Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
C. Sumber Lainnya
Sumardjono, Maria SW, Kewenangan Negara untuk Mengatur
dalam Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta, 1998,
Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau
Digadaikan, Kompas 30 Januari 2007
Biro Pusat Statistik 1993.
[1]
Republik Indonesia,
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) naskah asli, dan tidak
mengalami perubahan hingga Amandemen IV.
[2]
Pidato Pengantar Menteri Agraria dalam Sidang DPR-GR, 12 September 1960 oleh
Mr. Sadjarwo. Dalam Risalah Pembentukan UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA dan Boedi
Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 585
[3]
Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, keterbatasan kesadaran elite terdidik
(sekolahan maupun otodidak) dan manajemen kekuasaan negara merupakan faktor
terpenting dalam pasang-surut dari mobilisasi dan peran rakyat dalam perumusan
kebijakan Negara baru tersebut. Ketiadaan ahli hukum dari luar Jawa-Sumatera
(Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, apalagi Irian dan sebagainya), membuat ide-ide
yang tercetus oleh ahli-ahli hukum tersebut banyak dipengaruhi oleh gagasan
“Barat” sebagaimana didapatkan di sekolah-sekolah, dan pengalaman
Jawa-Sumatera. Lihat Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Nasional: Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta,
Rajawali Press, 1994, hlm. 159.
[4]
Ibid., hlm. 213.
[5]
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA), Penjelasan Umum Angka
I.
[6]
Praktek bagi hasil sudah lama dikenal di Jawa. Ini didukung oleh sifat
melindungi secara komunal serta sifat menyerap tenaga kerja dari sistem
sosio-ekonomi pedesaan. Tetapi dalam perkembangannya, semakin yang
mengkhawatirkan. Lihat, Justus M. van der Kroef, “Penguasaan Tanah dan Struktur
Sosial di Pedesaan Jawa,” diterjemahkan dari “Land Tenure and Social
Structure in Rural Java,” Approaches to Community Development,
volume 25, Bab IX, 1960, dalam Sediono MP Tjondronegoro&Gunawan Wiradi, Op.
Cit., hlm. 156-157. Terdapat juga pendapat yang mengatakan bahwa sistem
bagi hasil ini merupakan praktek adat yang dipengaruhi oleh feodalisme dan
karenanya termasuk hukum adat yang disaneer. Inilah satu alasan yang
menyebabkan UU Bagi Hasil kemudian tidak diterapkan pada masa Orde Baru. Padahlm
menurut penelitian yang dilakukan oleh Bernard L. Tanya, terdapat juga praktek
bagi hasil dalam masyarakat hukum adat di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur
dimana besaran bagi hasil justru ditentukan oleh penggarap dengan alasan telah
mengeluarkan tenaga dan biaya untuk benih, sehingga pemilik disini hanya
mendapat 10% dari hasil panen. Ini dipengaruhi juga oleh nilai adat “saling
memangku adat,” bahwa hubungan bapak (pemilik) dan anak (penggarap) ladang dan
sawah tadah hujan tidak boleh saling merugikan. Rikardo Simarmata, Pengakuan
Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in
Bangkok, 2006,hlm. 62
[7]
Sediono MP Tjondronegoro&Gunawan Wiradi, Loc. Cit.
[8]
Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Pasal 2 UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA. Menurut beberapa
tokoh, paham ini dipengaruhi paham Negara integralistik yang berkembang saat
itu dan didukung terutama oleh Soekarno dan Supomo. Kesatuan antara masyarakat
dan Negara dimana kepentingan individu dan kelompok larut dalam kepentingan
Negara (mirip dengan konsep Rousseau tentang masyarakat organis) sehingga tidak
terjadi pertentangan hak dan kepentingan warga masyarakat dan Negara. Individu
ditempatkan di bawah nilai masyarakat sebagai keseluruhan. Lihat Frans Magnis
Suseno,, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm.
94-96.
[9]
Maria SW Sumardjono, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam Konsep
Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di Yogyakarta
[10]
AP. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar
Maju, Bandung, 1991, hlm. 40
[11]
Ibid. Dua pembatasan tersebut menjadi penting mengingat HMN merupakan
suatu konsepsi pokok dalam UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA yang kemudian dijadikan
sumber dari Undang-Undang atau pun regulasi lainnya yang dirumuskan kemudian
berdasar perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh, pembatasan
Konstitusi. Dengan semakin kuatnya pengakuan Konstitusi pasca Amandemen
terhadap hak asasi manusia, maka pengaturan tentang pengambilalihan hak milik
atas tanah harus benar-benar memperhatikan asas ini.
[12]
Perinciannya adalah sebagai berikut: Land Reform terdiri dari 4
Undang-Undang, 2 Peraturan Pemerintah, 3 Keputusan Presiden, 10 Peraturan
Menteri, 12 Keputusan Menteri, 9 Surat Edaran Menteri (40 peraturan); dan
tentang Pengurusan Hak Tanah terdiri dari 1 Undang-Undang, 3 Peraturan
Pemerintah, 2 Keputusan Presiden, 1 Instruksi Presiden, 4 Peraturan Menteri, 10
Keputusan Menteri, 7 Surat Edaran Menteri (28 peraturan), dari keseluruhan yang
berjumlah 92 peraturan. Lihat dalam Nurhasan Ismail, Perkembangan Hukum
Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi pada
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hlm. 2006, 185
[13]
Noer Fauzi, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di
Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999,
hlm. 141
[14]
Ibid
[15]
Noer Fauzi, Op. Cit., hlm. 143-144.
[16]
Terjadinya aksi sepihak, baik itu dalam arti aksi sepihak yang dilakukan oleh
petani (di bawah naungan BTI) maupun oleh tuan tanah karena keduanya sama-sama tidak
memperhatikan prosedur normal landreform.
[17]
Noer Fauzi, Op. Cit., hlm. 124.
[18]
Ibid., hlm. 147.
[19]
Rikardo Simarmata, Op. Cit., hlm. 64-65.
[20]
Biro Pusat Statistik 1993.
[21]
Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi,
edisi revisi, Kompas, Jakarta, 2001, hlm. 51 .
[22]
Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas
30 Januari 2007