BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Daerah
otonom sebagi satuan yang pemerintahan yang mandiri yang memiliki wewenag
atributif, lebih-lbih sebagai subjek hukum (publick
rechtpersoon publick legal entity) berwenang membuat peraturan-peraturan
untuk menyelenggarakan rumah tangganya. Wewenang ini mengatur ini ada
pemerintah daerah (pejabat administrasi daerah) dan DPRD sebagai pemegang
fungsi legislasi di daerah.[1]
Peraturan
daerah sebagai hukum merupakan bentuk hukum yang tertulis yang berisi aturan
tingkah laku yang bersifat mengikat secara umum. Didalam masyarkat daerah, bentuk peraturan daerah
dibentuk dengan tujuan mengatur masyarakat daerah secara umum agar dapat
berperilaku sesuai dengan apa yang diharpkan agar dapat mendukung
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Peraturan
daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama Kepala Daerah[2].
Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, perda mendapatkan landasan
konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan[3].
Selanjutnya Pasal 12 UU No. 10/2004 menggariskan materimuatan perda adalah
seluruh materimuatan dalam rangka: a] penyelenggaraan otonomi dan tugas
pembantuan; b] menampung kondisi khusus daerah; serta c] penjabaran lebih
lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
Dari
segi materimuatan, peraturan daerah adalah peraturan yang paling banyak
menanggung beban. Sebagai peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan[4],
perda secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak
boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan nasional yang ratusan jumlahnya.
Salah
satu dampak positif berkembangnya ide otonomi daerah adalah menguatnya
eksistensi Peraturan Daerah (Perda), sebagai produk legislatif daerah yang
memungkinkan pengembangan segala potensi kekhasan daerah mendapat payung yuridis
yang jelas. Sebagian kalangan memandang Perda merupakan Local Wet, yang
mempunyai prototipe yang sebangun dengan Undang-Undang (Wet) di tingkat pusat.
Dilihat dari ruanglingkup materi muatan, cara perumusan, pembentukan dan
pengundangannya, kedudukannya dalam tata urutan (hirarkis) peraturan
perundang-undangan (algemene verbindende voorschriften) serta daya berlakunya
sebagai norma hukum, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 10 tahun
2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memang pandangan yang
melihat hal ini sebagai produk hukum yang mandiri tidak berlebihan. Namun
demikian, pandangan ideal tentang Perda tersebut seolah-olah “diciderai” oleh
ketentuan Pasal 185 ayat (5) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) untuk membatalkan Perda tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. Pertanyaan yuridis yang mengemuka dari persoalan ini adalah berkenaan
dengan validitas kewenangan Mendagri tersebut dan pengaruhnya terhadap
kedudukan Perda sebagai suatu produk hukum apabila ditinjau dari politik hukum
dan ilmu hukum pada umumnya. Makalah ini terutama menyoroti masalah Politik
Hukum Pembatalan Perda oleh Mendagri.
Data
yang diperoleh dari Departemen Keuangan, sampai Desember 2006 terdapat 9.617
Perda yang terkait dengan perizinan, pajak dan retribusi di daerah. Dari
sejumlah itu Departemen Keuangan sudah merekomendasikan kepada Departemen Dalam
Negeri untuk membatalkan 895 Perda yang terkait dengan pajak dan retribusi di
daerah. Sedangkan data yang diperoleh dari Departemen Dalam Negeri menunjukkan
bahwa sejak tahun 2002 sampai tahun 2007 perda yang dibatalkan
baru berjumlah 761 Perda. Perda-perda yang dianggap bermasalah itu menimbulkan
ekonomi biaya tinggi di daerah serta juga membebani masyarakat dan lingkungan[5].
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, dalam makalah ini penulis ingin membicarakan mengenai
: “ Pembatalan Peraturan Daerah
Berdasarkan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”.
B. Identifikasi Masalah
Untuk
memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah sesuai
dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam paper ini.
Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang
berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang
menunjukkan jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara harapan dengan
kenyataan. Perumusan masalah dalam paper ini berisikan antara lain :
1.
Bagaimana mekanisme pengujian suatu
peraturan daerah (perda) oleh pemerintah pusat
2.
Apakah pembatalan peraturan daerah
dengan keputusan menteri dalam negeri sah secara hukum?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. pengujian
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat
Pengujian
Peraturan Daerah oleh pemerintah atau yang dalam kajian pengujian peraturan
(toetzingrecht) dikenal dengan istilah executive review, lahir dari kewenangan
pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan otonomi pemerintahan daerah[6].
Pengertian
executive review adalah segala bentuk produk hukum pihak executive diuji oleh
baik kelembagaan dan kewenangan yang bersifat hierarkis. Dalam konteks ini yang
diperkenalkan istilah “control internal” yang dilakukan oleh pihak sendiri terhadap
produk hokum yang dikeluarkan baik yang berbentuk pengaturan atau regeling,
maupun beshikking, jika control normatifnya dilakukan oleh badan lain dalam hal
ini”Peradilan Tata Usaha Negara”, maka hal tersebut bukan executive review.
Melainkan control segi hokum (legal control)[7].
Dalam
hal hubungan ini, maka obejek “executive review” lebih terhadap putusan yang bersifat abstrak
dan mengatur, serta mengikat secara umum atau dikenal dengan regeling. Dan
diluar yakni yang bersifat “beschikking”menjadi objek legal peradilan
tata usaha Negara[8].
Control hokum baik bersifat internal maupun eksternal dianggap penting, sebab
tugas pemerintahan berkaitan erat dengan tindakan/perbuatan administrasi Negara
yang dijalankan oleh organ pemerintahan dan salah satunya adalah oleh
pemerintah. Sebagimana kita ketahui tugas pemerintahan (dalam arti luas) yakni
disamping menjalankan undang-undang, tetapi juga menyangkut pelayanan
masyarakat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat[9].
Dalam
hubungannya dengan “executive review”, maka objeknya adalah peraturan
dalam kategori regeling yang dilakukan oleh melalui pendekatan
pencabutan atau pembataln peraturan tertentu yang tidak sesuai dengan norma
hokum. Pengujian internal dalam arti “executive review” ini dilakukan untuk
menjaga peraturan yang diciptakan oleh pemerintah (eksekutif) tetap sinkron,
dan juga konsisten segi normatifnya secara vertical dan terjaga pula tertib
hokum dan kepastian hokum, agar dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat atas
perubahan social ekonomi[10]
Dalam
rangka pengawasan terhadap daerah, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang
Pemerintahan Daerah juncto Undang-undang Nomo 32 Tahun 2005, tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, memberikan
ketentuan bahwa Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah
mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar disampaikan
kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan[11].
Terkait dengan pembatalan Peraturan Daerah, Pasal 136 ayat (4) Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, menentukan bahwa “Peraturan Daerah dilarang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi”. Kemudian Pasal 145 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
menyebutkan “Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh
Pemerintah”. Dalam Pasal 145 ayat (3) ditentukan “Keputusan pembatalan
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Selanjutnya dalam Pasal 145 ayat (4)
ditentukan “Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan
yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung”.
Berbeda
dengan judicial review Peraturan Daerah yang dilakukan lembaga kehakiman
Mahkamah Agung, executive review Peraturan Daerah dalam bentuk pengawasan oleh
pemerintah dilakukan Departemen Dalam Negeri. Pengujian Peraturan Daerah
sebagai kewenangan pemerintah dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap
penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah. Dalam proses evaluasi
Peraturan Daerah oleh pemerintah pusat dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri.
Tindak
lanjut pembatalan Peraturan Daerah menurut Pasal 145 ayat (3) Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004, harus dibuat Peraturan Presiden yang menyatakan pembatalan
Peraturan Daerah paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Peraturan
Daerah oleh pemerintah pusat dari pemerintah daerah. Kemudian, menurut
ketentuan Pasal 145 ayat (4) paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan
tersebut, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan
selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Kepala Daerah mencabut
Peraturan Daerah dimaksud.
Bentuk
hukum pembatalan Peraturan Daerah yang ditentukan dalam Pasal 145 ayat (7)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, adalah Peraturan Presiden. Dalam Pasal 145
ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan bahwa “Apabila Pemerintah
tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan
berlaku”. Namun dalam praktek, pembatalan Peraturan Daerah dilakukan dengan
Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pembatalan Peraturan Daerah melalui Keputusan
Menteri Dalam Negeri dapat dikatakan sebagai kekeliruan hukum. Kekeliruan hukum
ini terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan Peraturan Daerah harus
dalam bentuk Peraturan Presiden bukan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Terlebih
keliru, Peraturan Daerah yang masuk dalam bidang regeling dibatalkan oleh
keputusan yang masuk dalam bidang beschikking. Dengan kata lain, secara yuridis
Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut belum
final sebagai keputusan pembatalan Peraturan Daerah oleh pemerintah, karena
keputusan pembatalan Peraturan Daerah harus dalam bentuk Peraturan Presiden[12].
B. Kewenangan
Pengujian Rancangan Peraturan Daerah (Executive Preview) oleh Menteri Dalam
Negeri
Dalam
rangka executive review, ada dua bentuk pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan
preventif dilakukan terhadap rancangan perda yang bermuatan APBD, pajak daerah
dan retribusi daerah serta perda tata ruang. Pengawasan preventif terhadap
rancangan perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang
kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur, sedangkan Pengawasan preventif terhadap
rancangan perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang
provinsi dilakukan oleh pemerintah (pusat). Selanjutnya pengawasan represif
dilakukan terhadap seluruh perda yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah,
termasuk perda yang pada dasarnya sudah dilakukan pengawasan preventif
.
Berbeda
dengan judicial review perda yang dilakukan oleh satu lembaga kehakiman,
Mahkamah Agung, executive review perda dalam bentuk pengawasan oleh pemerintah
dilakukan melalui beberapa lembaga negara departemen, yaitu Departemen Dalam
Negeri, Departemen Keuangan terhadap perda bermuatan keuangan, Kementerian
Pekerjaan Umum terhadap perda tata ruang, serta departemen sektoral sumberdaya
alam terhadap perda yang bermuatan sumberdaya alam. Tidak jarang proses
evaluasi/pengujian perda oleh pemerintah dilakukan lintas departemen yang
dikoordinasikan oleh Departemen Dalam Negeri selaku “pembina” pemerintah
daerah. Pengujian perda merupakan kewenangan pemerintah dalam rangka pengawasan
dan pembinaan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah.
meskipun Undang-Undang Pemerintahan Daerah
menyatakan bahwa pembatalan perda ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling
lama 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya perda oleh pemerintah pusat[13], evaluasi
perda oleh pemerintah pusat tetap memakan waktu yang lama. Lamanya proses
evaluasi perda oleh pemerintah berimplikasi pada terabainya kepastian hukum
penerapan perda di daerah.
Tidak
tertibnya evaluasi perda oleh pemerintah pusat bermula dari tidak lengkapnya
dan segeranya perda disampaikan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat
setelah perda disahkan di daerah. Tidak tertibnya pendokumentasian perda ini
terjadi karena 3 (tiga),13 yaitu:
1. Ketidaktahuan
pemerintah daerah bahwa ada kewajiban mereka untuk menyerahkan perda kepada
pemerintah pusat
2. Keengganan
pemerintah daerah menyerahkan perda kepada pemerintah pusat karena tidak adanya
sanksi bagi daerah yang tidak menyerahkannya
3. Untuk
menghindari sanksi berupa pembatalan perda oleh pemerintah pusat karena bila
perda tersebut dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi oleh pemerintah pusat maka perda tersebut akan dibatalkan.
hal yang paling janggal dalam pengujian perda
oleh pemerintah adalah soal bentuk hukum pembatalan perda. Bentuk hukum
pembatalan perda sebagaimana disebutkan dalam Pasal 145 ayat (4) UU No 32/2004
tentang Pemda adalah Peraturan Presiden (selanjutnya disingkat Perpres). Namun
dalam praktiknya, Pembatalan perda sepanjang ini dilakukan dengan menggunakan
Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri). Dengan demikian, pembatalan Perda
melalui (Kepmendagri) merupakan sebuah kekeliruan hukum. Kekeliruan itu terjadi
karena instrumen hukum untuk membatalkan perda harus dalam bentuk Perpres bukan
Kepmendagri. Lagi pula sangat janggal karena perda yang masuk dalam rumpun
regeling dibatalkan oleh keputusan yang masuk dalam rumpun beschikking.
Setidaknya, Kepmendagri yang membatalkan Perda tersebut belum final sebagai
keputusan pembatalan Perda oleh pemerintah, karena keputusan tersebut harus
dikukuhkan atau dikemas ulang dalam bentuk Perpres.
Mengapa pembatalan
perda tidak cukup dengan menggunakan Kepmendagri? Bukankah Mendagri bagian dari
pemerintah, sehingga lebih efektif jika pembatalan itu dilakukan oleh Mendagri?
Pendapat seperti ini pada dasarnya masih dipengaruhi oleh Undang-Undang
Pemerintah Daerah yang lama (UU No. 22/1999), sebab dalam undang-undang
tersebut memang tidak menyebutkan secara tegas tentang instrumen hukum
pembatalan perda. Di sana hanya disebutkan bahwa pemerintah dapat membatalkan
peraturan daerah dan keputusan kepala daerah yang bertentangan dengan
kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau
peraturan perundang-undangan lainnya. Akan tetapi, syarat dan mekanisme
pembatalan perda dewasa ini harus mengacu pada UU No. 32 Tahun 2004, di mana
ditegaskan bahwa pembatalan perda harus menggunakan instrumen hukum Perpres.
Oleh karena itu, keberadaan Kepmendagri yang membatalkan Perda merupakan
penggunaan kewenangan yang tidak pada tempatnya (ultra vires). Seharusnya
keputusan pembatalan perda dilakukan oleh Presiden melalui Perpres. Apabila
pemerintah tidak mengeluarkan Perpres untuk membatalkan Perda, maka Perda
tersebut dinyatakan tetap berlaku.
Keputusan Menteri Dalam
Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah, dapat dinilai sebagai cacat hukum.
Implikasi hukumnya, daerah atau Kabupaten/Kota dan Provinsi dapat mengabaikan
Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah tersebut.
Dalam keadaan demikian perlu dilakukan evaluasi terhadap kewenangan Departemen Dalam
Negeri dalam menguji Peraturan Daerah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
rangka executive review, ada dua bentuk pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan
preventif dilakukan terhadap rancangan perda yang bermuatan APBD, pajak daerah
dan retribusi daerah serta perda tata ruang. Pengawasan preventif terhadap
rancangan perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang
kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur, sedangkan Pengawasan preventif terhadap
rancangan perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang
provinsi dilakukan oleh pemerintah (pusat). Selanjutnya pengawasan represif
dilakukan terhadap seluruh perda yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah,
termasuk perda yang pada dasarnya sudah dilakukan pengawasan preventif.
Peraturan
Daerah merupakan aturan hukum yang banyak dilakukan pengujian terutama oleh
pemerintah, karena setiap Peraturan Daerah yang diterbitkan pada tingkat
Kabupaten/Kota dan Provinsi harus melalui pengujian oleh pemerintah. Adanya
kewenangan pemerintah untuk menguji Peraturan Daerah hendaknya tidak akan
menjadi jalan untuk mewujudkan superioritas kekuasaan pemerintah pusat atas
pemerintah daerah dan hukum-hukum lokal yang diagregasi ke dalam Peraturan
Daerah. Tidak sedikit Peraturan Daerah dan isi materinya yang beragam, serta
mekanisme terpusat pengujian Peraturan Daerah oleh pemerintah dan Mahkamah
Agung yang dipandang tidak efektif, efisien dan transparan, maka perlu
pengkajian untuk membentuk mekanisme yang dapat menstimulasi pembangunan daerah
dan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat di daerah.
Keputusan
Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah, dapat dinilai sebagai
cacat hukum. Implikasi hukumnya, daerah atau Kabupaten/Kota dan Provinsi dapat
mengabaikan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah
tersebut. Dalam keadaan demikian perlu dilakukan evaluasi terhadap kewenangan
Departemen Dalam Negeri dalam menguji Peraturan Daerah.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Buku
Dan Jurnal
Bagir
Manan, Menyongsong Fajar Otonomi daerah, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum Fakultas
Hukum Universitas indoonesia, hlm 70.
Jimly
Asshidiqie, Model-model pengujian Konstitusional di Berabgai Negara, Jakarta,
Konstitusi Press, 2000
Kusnu
Goesniadhie S., Harmonisasi Sistem Hukum Dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan
Yang Baik, Malang: Penerbit A3, 2008
Paulus
effendi Lotulung, Laporan Akhir Dan Evaluasi Hukum tentang Wewenang Mahkamah
Agung dalam Melaksanakan Hak uji Materil (judicial review), jakarta Badan
Pembinaan Hukum- Departemen hokum Perundang-undangan Ri tahun 199/2000
Rikardo
Simarmata dan Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter Perda
dan Tekanan Baru Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, Seri Pengembangan Wacana
HuMa, No 1. September 2002, hal 16. Tulisan itu pernah dipresentasikan pada
acara International Association of Study on Common Property di Victoria all,
Zimbabwe, 17-21 Juni 2002
Safri
Nugraha, hokum Administrasi Negara, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Hukum UI, 2005
Suko
Wiyono dan Kusnu Goesniadhie S., Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945,
(Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang, UM Press, 2007
Zainal
Arifin hoesein SH, Judicial Review Di Mahkamah Agung Tiga Dekade Pengujian
Peraturan perundang-undang, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009
B.
Peraturan Perundang-undangan
Undang
Undang dasar Negara Republik Indonesia 1945 perubahan keempat
Undang-undang
No. 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang
No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[1] Bagir Manan, Menyongsong Fajar
Otonomi daerah, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas indoonesia,
hlm 70.
[2] Lihat Pasal 1 angka 7 UU No. 10
tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
daerah
[3] Pasal 18 ayat (6) UUD 1945
amandemen ke 4.
[4] Dalam Pasal 7 UU No. 10/2004
diurutkan tingkatan peraturan perundangan-undangan mulai dari, UUD, UU/Perpu,
PP, Perpres, Perda. Selanjutnya Perda terdiri dari: Perda Provinsi, Perda
Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa atau nama lainnya.
[5]
Rikardo Simarmata dan
Stephanus Masiun, Otonomi Daerah, Kecenderungan Karakter Perda dan Tekanan Baru
Bagi Lingkungan dan Masyarakat Adat, Seri Pengembangan Wacana HuMa, No 1.
September 2002, hal 16. Tulisan itu pernah dipresentasikan pada acara
International Association of Study on Common Property di Victoria all,
Zimbabwe, 17-21 Juni 2002
[6] Suko Wiyono dan Kusnu
Goesniadhie S., Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD 1945, (Malang: Penerbit
Universitas
Negeri Malang (UM Press), 2007), hlm.76-77.
[7] Paulus effendi
Lotulung, Laporan Akhir Dan Evaluasi Hukum tentang Wewenang Mahkamah Agung
dalam Melaksanakan Hak uji Materil (judicial review), jakarta Badan
Pembinaan Hukum- Departemen hokum Perundang-undangan Ri tahun 199/2000, Hlm xix
[8] Jimly
Asshidiqie, Model-model pengujian Konstitusional di Berabgai Negara, Jakarta,
Konstitusi Press, 2000, hlm 4
[9] Safri Nugraha,
hokum Administrasi Negara, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Hukum UI, 2005,Hlm 56-57
[10] Zainal Arifin
hoesein SH, Judicial Review Di Mahkamah Agung Tiga Dekade Pengujian
Peraturan perundang-undang, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009, Hlm 63
[11] Lihat Pasal
145 ayat (1) Undang-undang No.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah
[12] Kusnu Goesniadhie S., Harmonisasi Sistem Hukum
Dalam Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, Malang: Penerbit A3, 2008, hlm. 186-186.
[13]
Lihat Pasal 145 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 32/2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar