Home

1.29.2011

Perbandingan Pembuktian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Dengan Hukum Acara Perdata

A.    Pembuktian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
            Dalam suatu proses peradilan, pembuktian merupakan hal yang penting dalam menentukan keberhasilan pihah-pihak yang berperkara. Menang atau kalahnya para pihak yang berperkara ditentukan dalam tahap pembuktian karena pembuktian merupakan landasan bagi para hakim dalam menentukan memutuskan suatu perkara. Dengan demikian tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Atau dengan kata lain tujuan dari pembuktian adalah mencari atau menemukan kebenaran suatu peristiwa yang digunakan sebagai dasar putusan hakim yang mrmpunyai akibat hukum.[1]
Alat-alat bukti
            Ketentuan pembuktian yang berlaku dalam lingkungan Mahkamah lingkungan terdapat dalam pasal 36 sampai dengan 39 UU MK.
            Dalam pasal 36 ayat 1 disebutkan ada enam macam alat bukti yang digunakan yaitu :
·         Surat atau tulisan
Alat bukti tulisan adalah segala sesuatu yang memuata tanda-tanda bacaan yang bisa dimengeti atu ayng mengandung pikiran tertentu. Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis [2]yaitu
ü  Akta otentik.
ü  Akta dibawah tangan
ü  Surat-surat lain yang bukan akta
·         Keterangan saksi
Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterngan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, ata didengar oleh saksi sendiri. ketentuannya diatur dalam pasal 38 UU MK.
·         Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan dibawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang diketahui menurut pengalamnnay dan pengetahuannya.
·         Keterangan para pihak
Para pihak disini adala pemohon dan termohon dan dapat diwakilkan kepada kuasa hukumnnya.
·         Petunjuk
Yang dimaksud petunjuk dalam ketetntuan ini hanya dapat diperoleh dari ketrangan saksi, surat dan barang bukti. Diluar itu bukan dikategorikan sebagai alat bukti petunjuk. Diatur dalam pasal 37 UU MK.
·         Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang seupa dengan itu contohnya teleconference dengan saksi yang jauh, rekaman suara, data elektronik  dan lain-lain.
B.     Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Alat-alat Bukti
Menurut KUHperdata pasal 1865 dab RIB pasal 163, bahwa barang siapa menyatakan mempunyai hak atau menyebutkan sesuatu peristiwa, maka ia harus membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut.
Berhubungan dengan itu dalam Hukum Acara Perdata dikenal dengan tujuh macam alat pembuktian (cara pembuktian) yaitu:
1.   Alat bukti tertulis atau surat-surat
Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampikan kbuah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian
Surat akte dibagi dua yaitu:
·         Suatu akte resmi (otentik)  yaitu surat yang diberi tanda tangan.
·         Suatu akte di bawah tangan (onderhands)  yaitu akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat.[3]


2. Kesaksian
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salahsatu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan. Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
Dalam proses peradilan perkara perdata dikenal adanya Testimonium de auditu yaitu keterangan saksi yang diperolehnya dari pihak lain yang melihat dan mengetahui adanya suatu peristiwa namun pihak yang mengetahui tersebut tidak bersaksi di pengadilan melainkan menceritakan pengetahuannya kepada saksi. Misalnya, pihak ketiga mengetahui secara langsung bahwa kedua belah pihak yang berperkara pernah mengadakan perjanjian hutang piutang. Kemudian pihak ketiga ini menceritakan pengetahuannya kepada saksi.
3. Persangkaan
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi
Persangkaan ada 2, yaitu:
·         Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), :Pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut.
·         Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden) : Terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. Misalnya, dalam suatu perkara dimana seorang suami mendakwa istrinya berbuat zina dengan lelaki lain.
4. Pengakuan
Pengakuan dapat diberikan dimuka hakim di persidangan atau diluar persidangan. Pengakuan dimuka hakim di persidangan merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan oleh salahsatu pihak dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu lagi.
5. Sumpah
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum olehNya.
Ada 2 macam sumpah:
·         Sumpah pelengkap (suppletoir) Ialah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu.
·         Sumpah pemutus yang bersifat menentukan (decicoir) ialah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim.
6. pemeriksaan setempat ( descente)
            Yang dimaksud dengan pemriksaan ditempat adalah pemeriksaan perkara oleh hakim karena jabatannya yang diluar gedung atau tempat kedudukan pengadilan, agar hakim dapat melihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan-keterangan yang member kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa. Ini diatur dalam pasal i53 HIR.
            Dalam praktek pemeriksaan setempat biasanya dilakukan berkenaan dengan letak gedung atau batas tanah. Meskipun pemeriksaan kktidak dimuat dalam pasal 164 HIR sebagai alat bukti, maka pada hakekatnya fungsi pemeriksaan setempat adalah sebagai alat bukti.[4]
7. Keterangan Ahli
            Ketrangan ahli adalah keterangan para pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan membantu hakim guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Ketrangan ahli diatur dalam pasal 154 HIR.[5]
Dengan demikian terdapat perbedaan alat bukti dalam hukum acara mahkamah konstitusi dengan hukum acara perdata dimana dalam hukum acara mahkamah konstitusi lebih mengikuti perkembangan jaman seperti adanya alat bukti rekaman video kaset, cd data elektronik dan lain-lain sedangkan dalam hukum acara perdata hanya terikat pada kebiasaan atau formalitas karena tidak mengenal atau tidak lazim atau tidak diarur dalam undang-undang.
C.      Sistem Pembuktian hukum acara mahkamah konstitusi
Sistem pembuktian dalam hukum acara mahkamah konstitusi dalam rangka memperoleh kebenaran materil[6]. yang tidak semata-mata berdasarkan alat-alat bukti semata. Hal ini diatur Dalam psal 45 UU MK.
Hukum acara konstitusi menganut ajaran pembuktian bebas yaitu hakim mahkamah konstitusi memiliki kebebasan atau kewenagan dalam memberikan penilaian terhadap kekuatan masing-masing alat bukti. Dalam pasal 37 UU MK.
Namun demikian terdapat batas-batas tertentu terhadap kebebasan dalam hukum cara konstitusi itu misalnya syarat-syarat sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk sahnya pembuktian serta penyebutan alat-alat bukti secara limitatif.pada ajaran pembuktian murni tidak terdapat ketentuan tertulis yang mengikat bagi hakim/ pengadilan untuk menentukan berapa banyaknya kpembuktian yang dibutuhkan, pembebanan, pembuktian, pemilihan alat bukti maupun penilainnya[7].
D.    Sistem Pembuktian Hukum Acara Perdata
            Sistem pembuktian yang dianut Hukum Acara Perdata, tidak bersifat stelsel negatif menurut undang-undang, seperti dalam proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Di dalam hukum acara perdata, kebenaran yang dicari dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil.. Yang terpenting adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
 Para pihak yang berperkara dapat mengajukan pembuktian berdasarkan kebohongan dan kepalsuan, namun fakta yang demikian secara teoritis harus diterima hakim untuk melindungi atau mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak yang bersangkutan.
 Dalam kerangka sistem pembuktian yang demikian, sekiranya tergugat mengakui dalil pegugat, meskipun hal itu bohong dan palsu, hakim harus menerima kebenaran itu dengan kesimpulan bahwa berdasarkan pengakuan itu, tergugat dianggap dan dinyatakan melepaskan hak perdatanya atas hal yang diperkarakan. Meskipun hakim berpendapat kebenaran dalil gugat yang diakui tergugat itu setengah benar dan setengah palsu, secara teoritis dan yuridis, hakim tidak boleh melampaui batas-batas kebenaran yang diajukan para pihak di persidangan. Sikap demikian ditegaskan dalam putusan MA no. 3136K/Pdt/1983 yang menyatakan, tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan kebenaran materil. Namun apabila kebenaran materil tidak ditemukan dalam peradilan perdata, hakim di benarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.
  Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan yang harus dibuktikan kebenarannya. Seperti dalil-dalil yang tidak disangkal,(diakui sepenuhnya oleh pihak lawan) dan hal-hal atau keadaan–keadaan yang telah diketahui oleh kalayak ramai (fakta notoir) tidak perlu dibuktikan lagi.


[1]  Sudikno mertokusumo, hukum acara perdata Indonesia, liberty, Yogyakarta, 1998, hal 165.
[2] Lihat Zairin harahap, Hukum acara pengadilan Tata Usaha Negara< Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 130.
[3] Sudikno mertokusumo, hukum acara perdata Indonesia, liberty, Yogyakarta, 1998, hal 149.

[4] HR 24 Jan 1873, W 3554, Asser-Verdam,op.cit., hal 484 sebaliknya pitlo berpendapat lain Op. cit., hal 24.
[5] Sudikno mertokusumo, hukum acara perdata Indonesia, liberty, Yogyakarta, 1998, hal 195
[6] Kebenaran materil semacam ini berlaku juga dalam perkara pidana dan PTUN. Dalam pidan diatur dalam pasal 203 KUHAP sedangkan dalam dalam perkara PTUN diatur dalam pasal 107 Undang-undang NO 5 tahun 1986.
[7] Zairin Harahap, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara< Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 130.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar