BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Negara
sebagai suatu entitas adalah abstrak, yang tampak adalah unsur-unsur negara
yang berupa rakyat, wilayah, dan pemerintah. Salah satu unsur negara adalah
rakyat. Rakyat yang tinggal diwilayah negara menjadi penduduk negara yang
bersangkutan. Warga negara adalah bagian dari penduduk suatu negara. Warga
negara memiliki hubungan ndengan negaranya. Kedudukannya sebagai warga negara
menciptakan hubungan berupa peranan, hak dan kewajiban yang bersifat timbal
balik.
Kewarganegaraan
memiliki keanggotaan yang menunjukkan hubungan atau ikatan anatara negara
dengan warga negara. Kewarganegaraan adalah segala hal ihlawal yang berhubungan
dengan negara.
Negara
memiliki wewenang untuk menentukan warga negara sesuai dengan asas yang dianut
negara tersebut. Dengan adanya kedaulatan ini, pada dasarnya suatu negara tidak
terikat oleh negara lain dalam
menentukan kewarganegaraan. negara lain juga tidak boleh menentukan siapa saja
yang menjadi warga negara dari suatu negara
Dalam
UU No 12 tahun 2006 kewarganegaraan diartikan sebagai hal mengenai warga negara
yang mencakup persoalan-persoalan tata cara menjadi warga negara, kehilangan
kewarganegaraan, ketiadaan kewarganegaraan, hak dan kewajiban warga negara,
hubungan warga negara dengan negara (pemerintah) kewajiban negara terhadap
warga negara dan lain-lain hal baik mengenai atau yang berhubungan dengan warga
negara[1].
Mendiskusikan
soal perempuan dan hak-haknya sebagai warga negara, paling tidak ada beberapa
ranah yang terbahas; hak dan kewajiban perempuan sebagai warganegara. persoalan
demokrasi dan hak-hak berpolitik, masalah nasionalisme, perang dan migrasi.
Semua itu akan menjawab pertanyaan "dalam konteks besar hak-hak sipil
dimanakah posisi perempuan
B.
Rumusan masalah.
Untuk
memberikan arah, penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah sesuai
dengan arah yang menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam paper ini.
Perumusan masalah menurut istilahnya terdiri atas dua kata yaitu rumusan yang
berarti ringkasan atau kependekan, dan masalah yang berarti pernyataan yang
menunjukkan jarak antara rencana dengan pelaksanaan, antara harapan dengan
kenyataan. Perumusan masalah dalam paper ini berisikan antara lain :
1. Sejarah
Konsep Kewarganegaraan
2. Diskriminasi
status kewarganegaraan perempuan dalam perkawinan campuran.
C.
Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk
mengetahui sejarah konsep kewarganegaraan, Perempuan dan kewarganegaran, Diskriminasi
tatus kewarganegaraan perempuan dalam perkawinan campur.
D.
Metode makalah
Metode makalah yang digunakan
dalam penulisan paper ini yaitu :
1. Studi Kepustakaan
Yaitu pengumpulan data dengan
jalan membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen laporan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan penelitian.
2. Bahan – bahan yang
didapatkan melalui Intenet.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Konsep Kewarganegaraan
Dasar
konsep negara (state) dan kewarganegaraan lahir pada masyarakat Yunani kuno
dengan filsuf Plato sebagai pencetus gagasannya Di dalam negara 'polis' (kota),
kepentingan negara mengatasi kepentingan individu, dan tidak ada satu pun yang
boleb dirahasiakan. Pengorganisasian polis juga menyebabkan setiap warga negara
sederajat, tiap warga negara bisa mengambil bagian dalam urusan negara, namun
ada perkecualiannya. Hak kewarganegaraan itu terbatas atas kelompok minoritas:
yakni kaum pendatang, para budak dan perempuan. Mereka dianggap tidak berhak
mengambil bagian dalam urusan Negara[2].
Dalam
konsep yunani klasik, status kewarganegaraan ditetapkan menurut wilayah
territorial, jenis kelamin dan status.dari segi jurisdiksi teritorial, hanya
warga yang lahir dan hidup polis tersebut berhak menjadi warga negara.dari
jenis kelamin hanya laki-laki yang berhak menjadi warga negara karena perempuan
tidak berpartisipasi dalam pembicaraan publik yang merumuskan nasib bangsa.
Sedangkan dalam status budak tidak merupakan dalam kategori warga negara.
Dengan kata lain konsep awal kewarganegaraan adalah laki-laki yang lahir
diwilayah tertentu dan dari kelas tertentu ( bukan budak) yang mampu
berpartisispasi dalam pembicaraan publik[3]
Plato
dalam karyanya Republik memaparkan bahwa dalam negara polis, rasa kebersamaan
(kolektivitas) harus ditumbuhkan. Karenanya, komunisme a la Plato, dimaktubkan
bahwa perempuan dan anak-anak adalah perempuan dan anak-anak negara Polis harus
mengatur seluruh kehidupan seksual masyarakatnya tanpa kehidupan berkeluarga.
agar kepentingan negara dan kepentingan keluarga tidak bercampur baur. Sementara
perempuan hanya berfungsi sebagai pelahir anak-anak yang berkualitas bagi
negara[4].
Dalam
perkembangannya hingga saat ini, alasan mengapa perempuan kemudian
terpinggirkan dalam aktivitas politik kebanyakan dikarenakan peran domestik
yang dilekatkan pada dirinya. Seperti yang ditekankan oleh Louise Ackers bahwa
perempuan terperangkap dalam pekerjaan domestik yang butuh waktu full-time.
Tanggung jawab domestik yang amat banyak ini membuat mereka sulit untuk
berpartisipasi sebagai warga negara yang 'sesungguhnya' di ranah publik[5].
Pada
satu sisi, subyek dari negara selanjutnya mengarah pada individu laki-laki,
sementara di sisi lain perempuan terikat kontrak kewarganegaraan (contract of
citizenship) yang berpola fraternity dan brotherhood. Misalnya pendapat bahwa
yang memiliki hak seksual hanya laki-laki atau bahwa perempuan yang bekerja
tidak perlu digaji, serta bentuk-bentuk diskriminasi lainnya yang mencirikan
kekuasaan publik yang maskulin. Beberapa definisi tentang kewarganegaraan
menekankan proses timbal balik, yakni antara hak dan kewajiban. Namun pada
prakteknya, antara hak dan kewajiban acap membingungkan.
Bagi
kaum feminis ada dua alasan mengapa status kewarganegaraan tidak diikutkan
dalam wacana kewarganegaraan yaitu karena tradisi patriaki masyarakat modern
dan nasionalisme yang sempit[6].
B.
Status
kewarganegaraan perempuan terhadap perkawinan campuran menurut UU no 12 tahun
2006
Perkawinan antara dua
orang manusia yang berbeda bangsa telah terjadi berabad-abad yang lampau karena
perdagangan antar bangsa. Perkawinan antar bangsa tidak terjadi pada masa
perdaganagan saja tetapi juga terjadi pada masa kolonial belanda dan
jepang.sejak akhir masa penjajahan belanda dan jepang, Indonesia mulai berbenah
diri sebagai bangsa yang berdaulat.
Globalisasi dan perkembangan
teknologi informasi dan transportasi telah berkembang pesat. Tenaga kerja asing
direkrut uuntuk berbagi kepandaiannya kepada masyarakat lokal sehingga telah
membuka sekat antar negara, memungkinkan para penduduknya untuk saling
beriteraksi dengan satu sama lain yang pada akhirnya berpengaruh pada
meningkatnya perkawinan antar bangsa atau antar warga negara.
Meningkatnya perkawinan
campuran di berbagai negara telah melahirkan persoalan hukum, yaitu masalah
kewarganegaraan pelaku perkawinan campuran dan masalah hak berkeluarga yang
berbeda kewarganegaraan. Dengan berlakunya UU no 12 tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, perbedaan itu telah teratasi terutama dalam
hal mremberikan kewarganegaraan Indonesia bagi anak hasil perkawinan campuran.
Selain itu Undang-undang no 12 tahun 2006 telah merubah asas patrilineal
menjadi parental dalam hal kewarganegaraan dan secara bertahap nergara
melakukan terobosan kekakuan kewarganegaraan tunggakl menjadi lebih terbuka.
Penjelasan pasal 2
Undang-undang no 12 tahun 2006 menyatakan “Yang menjadi warga negara Indonesia
adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang
disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara”. Dengan ketetntuan tersebut
Undang-undang no 12 tahun 2006 memberikan asas persamarataan antara laki-laki
dan perempuan dalam pengertian sebagai warga negara.
Pemerintah dalam
pendapat akhirnya dalam pengesahan Undang-undang Kewarganegaraan Republik
Indonesia definisi itu telah menihilkan pemojokan etnis tertentu di negeri ini.
Berkaitan dengan itu semua etnis dan komunitas secara yuridis mempunyai hak
yang sama[7].
Berkaitan dengan status
kewarganegaraan istri yang kawin dengan suami dari negara lain yang
berkewarganegaraan selain Indonesia, berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2006 yaitu perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan
laki-laki warga negara asing kehilang kewarganegaraannya sebagi warga negara
republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan
istri mengikuti kewarga-negaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.
Namun, apabila menurut
negara yang bersangkutan (negara suami) menentukan bahwa kewarganegaraan istri
tidak mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat dari perkawinan, maka
seorang istri tetap sebagai warga negara Indonesia sepanjang:
1. tidak
memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri.
2. Tidak
dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri.
3. Tidak
pernah tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia selama 5 (lima) tahun
terus menerus bukan dalam rangka dinas negara.
Status kewarganegaraan
istri dalam perkawinan campuran yang tinggal di tempat asal suami menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yaitu kewarganegaraan istri sebagai warga
negara Indonesia hilang. Hal ini karena istri tinggal di luar negeri
sebagaimana diatu dalam Pasal 23 huruf c UU 12 Tahun 2006. Di samping itu,
istri tidak menolak dan tidak melepaskan kewarganegaraan negara lain dan istri
mendapatkan kesempatan untuk menerimanya.
Sedangkan tatus
kewarganegaraan istri yang tinggal di tempat lain, yaitu selain Negara
Indonesia dan negara asal suami, maka istri tersebut kehilangan
kewarganegaraannya. Pertama, istri kehilangan kewarganegaraanya sebagai warga
negara Indonesia. Kedua, istri kehilangan kewarganegaraannya sebagai warga
negara di tempat asal suami.
Atas beberapa fenomena
di atas, apabila istri ingin kembali sebagai warga negara Indonesia dan/atau
suami menginginkan berkewarganegaraan Indonesia, maka dapat dilakukan melalui
beberapa prosedur, antara lain:
1. Mengajukan
surat pernyataan mengenai keinginannya sebagai warga negar Indonesia kepada
Pejabt atau perwakilan Republik Indonesia yang wilayhnya meliputi tempat
tinggal perempuan, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan
ganda.
2. Surat
pernyataan tersebut dapat diajukan oleh perempuan setelah tiga tahun sejak
tnggal perkawinannya berlangsung
3. Terhadap
suami, suami dapat mengajukan permohonan pewarganegaraan sebagaimana ketentuan
yang telah dijelaskan pada uraian sebelumnya.
C. Diskriminasi status kewarganegaraan
perempuan terhadap dalam perkawinan campuran
Perkawinan antar warga
negara atau perkawinan campuran yang telah menunjukan peerekembangan yang
sangat pesat memberikan tantangan tersendiri pada konsep kewarganegaraan
Indonesia. Peraturan kewarganegaraan yang ada pada saat ini mengadopsi satu
individu satu warga negara yang telah menempatkan perempuan yang menikah dengan
laki-laki warga negara asing dalam situasi konfliktual.
Pengakuan hak
warganegara lebih ditentukan berdasarkan garis ayah (Pasal 2, Pasal 20 dan 21).
Sementara penentuan garuis ibu hanya pengecualian, jika ayahnya tidak
berkewarganegaran atau tidak diketahui identitas kewarganegaraannya atau sudah
meninggal, suami istri bercerai dan pengasuhan anak diserahkan kepada
ibunya, dan anak yang lahir di luar
perkawinan sah.
Dalam UU
Kewarganegaraan, proses naturalisasi dibangun atas dasar kesatuan hukum dan
pertimbangan praktis. Karena itu, proses naturalisasi untuk memperoeh
kewarganegaraan cukup dilakukan pihak laki-laki, ayah atau suami. Jika ayah atau suami memperoleh kewarganegaraan RI, otomatis istri dan
anak-anaknya menjadi warga negara RI. Buntutnya, jika terjadi perceraian, istri
dan anak-anak tidak memiliki kewarganegaraan.
Dalam undamg-undang no
12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan yang diaanggap merugikan perempuan
terlihat dalam pasal 26 ayat (1)[8]
Ketentuan
ini dipandang menempatkan posisi perempuan berada di bawah laki – laki karena
perempuan yang terikat dengan perkawinan dengan laki – laki warga negara asing
dianggap mengikuti kewarganegaraan suaminya jika hukum di negara suaminya
menyatakan kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami akibat
perkawinan tersebut. Di satu sisi karena prinsip UU ini hanya mengakui kewarganegaraan
tunggal namun di sisi sebaliknya justru tidak menghormati pilihan bebas dari
perempuan warga negara Indonesia untuk mengganti dan/atau tetap menjadi warga
negara Indonesia.
D.
Analisa
Kasus Diskriminasi Terhadap Perempuan Menurut Undang-undang no 12 tahun 2006
1. pendahuluan
Karena takut akan
kehilangan anak-anak yang dikandungnya, hampir sebagian besar perempuan yang
menikah campuran merelakan dirinya untuk mendapat kekerasan dari suami dalam
rumah tanggnya. Para perempuan ini rela memendam diri bila terjadi kekerasan
dalam rumah tangga. Kerelaan ini tidak lain karena ia takut jika terjadi
perceraian dan kalau terjadi perceraian maka anaknya akan dibawa suaminya untuk
pulang ke negara asal. Inilah yang menekan perempuan yang menikah campuran
selama ini. Kasus inilah yang dialami oleh Imaniar, seorang penyayi yang baru
saja bercerai dengan suaminya yang berkewarganegaraan Singapura. Imaniar harus
berat hati merelakan anaknya untuk sementara di bawah suaminya. Namun Imaniar
tetap berjuang agar ia bisa mendapatkan anaknya.
Dalam pengakuan
Imaniar, selama dia menikah secara campuran Ia merasa lebih banyak masalah yang
berkaitan dengan kewarganegaraan. “Selama saya berumah tangga, mantan suami
tidak punya tanggungjawab terhadap keluarga. Mantan suami saya selalu beralasan
tidak bisa kerja karena status kewarganegaraanya dan yang paling menyakitkan
dia merasa bukan warga negara Indonesia jadi tidak perlu punya kesadaran untuk
bekerja”, ungkap Imaniar. Imaniar juga mengaku dirinya takut kehilangan
anaknya. “Selama berumah tangga, yang saya takutkan adalah imigrasi, takut
terjadi deportasi pada mantan suami saya, karena kalau di deportasi maka anak
saya akan ikut dia. Karena alasan itulah saya selama ini tidak bersuara, saya
takut deportasi dan akhirnya kehilangan anak, meskipun saya merasakan sakit
ketika berumahtangga, saya selalu memendam setiap terjadi keributan” ujar
Imaniar[9].
2. Rumusan
masalah
Berdasarkan kasus di atas, maka
yang menjadi rumusan masalah adalah “Bagaimana status kewarganegaraan anak yang
lahir dari perkawinan campuran antara Ilmaniar dengan warga Negara Singapura”.
3. PEMBAHASAN
Kasus yang dialami oleh
Imaniar adalah bagian kecil dari banyak kasus yang disebabkan oleh masalah
kewarganegaraan yang akhirnya merugikan perempuan.. Banyak kasus yang menjadikan
perempuan secara tidak segaja melakukan tindak pidana karena ketidaktahuannya
bahwa anak kandungnya ternyata adalah WNA. Misalnya di tempat dimana sering
terjadi kawin kontrak (yang tercatat) banyak laki-laki WNA yang menjadi bapak
selama di Indonesia dan mengakui anak-anak hasil perkawinan sebagai anaknya.
Tetapi ketika masa kerja/kontraknya habis dengan enaknya ia meninggalkan istri
dan anak-anaknya (yang WNA).
Kebanyakan Istri
kebingungan ketika petugas menanyakan surat-surat untuk anak-anaknya yang
selama ini diurus oleh suaminya atau kantor suaminya. Akhirnya perempuan ini
sudah menjadi korban dari suami yang tidak bertanggungjawab, perempuan inipun
di dakwa menyembunyikan WNA yang tidak lain adalah anak kandungnya. Lebih parah
lagi, ada kemungkinan si anak di deportasi ke negara asal bapaknya yang belum
tentu mau mengakui atau menerima anak tersebut.
Kasus lain yang juga
terkenal adalah kasus ancaman pendeportasioan Samantha Deborah oleh kantor
Imigrasi Bandung. Samantha adalah hasil perkawinan dari Erna Wouthuysen dengan
Arnold Johan Octman seorang WN Belanda. Erna Wouthuysen mendapatkan hak
perwalian bagi anaknya ketika terjadi perceraian dan akhirnya membawa Samantha
ke Bandung. Karena Erna lalai mengurus perpanjangan ijin tinggal bagi Samantha
(yang tentu saja masih berkewarganegaraan sama dengan ayahnya), mertuanya
sempat membawa lari Samantha yang saat itu dalam proses pendeportasian dan
menginap di kantor Imigrasi. Melihat kasus itu, sang suami kemudian
memanfaatkan kelalaian ini sebagai ketidakmampuan Erna mengurus anaknya dan
mengajukan permohonan agar pengadilan Belanda mencabut hak perwalian Erna atas
Samantha. Untungnya pengadilan tetap memutuskan Erna wali bagi Samantha.
Kasus terbaru adalah
kasus dugaan KDRT terhadap manohara Odelia Pinot. Manohara mempunyai dua
kewarganegaraan yaitu Indonesia (berdasarkan ius sanguinis) dan Ameriak Serikat
(berdasarkan ius soli) hal ini menjadi semakin rumit karena perkawinannya
dengan putera raja Kelantan, Malaysia. Seharusnya, setelah menikah menohara
menggunakan hak opsinya.
4. Penyelesaian
Kasus Menurut Undang-undang no 12 tahun 2006
Kasus seperti diatas
sangat banyak bermunculan sebelum lahirnya UU No. 12 Tahum 2006 dan PP No.2
Tahun 2007 karena sebelumnya Undang-undang yang ada memang sama sekali tidak
menguntungkan bagi perempuan dan anak dari perkawinan campuran. Namun demikian,
kasus seperti ini bias saja muncul karena kurangnya pengetahuan masyarakat
tentanng tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Negara Indonesia adalah
Negara yang menganut asas ius sanguinis, (Pasal 4 huruf (b) s/d huruf (h))
maupun ius soli yang dibatasi (Pasal 4 huruf (i) s/d (m)) dengan tidak semua
orang yang lahir di Indonesia menjadi warga negara Indonesia, misalnya jika
kedua orang tuanya adalah warga negara asing. Jadi, anak yang lahir dari
perkawinan campuran adalah Warga Negara Indonesia.
Dalam kasus Ilmaniar,
status kewarganegaraan anaknya adalah Warga Negara Indonesia berdasarkan:
1. Pasal 4 huruf (d)
“Anak yang lahir dari
perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara
Indonesia”.
2. Pasal 21
“Anak yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun ataubelum kawin, berada dan bertempat tinggal
di wilayahnegara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yangmemperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesiadengan sendirinya berkewarganegaraan Republik
Indonesia”.
Singapura sebagai
negara yang juga menganut asas ius sanguinis membuat anak yang lahir dari
perkawinan tersebut memiliki kewaarganegaraan ganda (bipatride). Indonesia
menganut asas kewarganegaraan ganda terbatas hinga usia 18 tahun. Setelah
berusia 18 tahun atau sudah kawin, barulah kemudian anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya (hak opsi). Hal ini diatur
dalam Pasal ayat (1) UU No. 12/2006.
Dengan demikian, setelah
perceraian, anak tersebut seharusnya bisa terus berada di Indonesia tanpa harus
dideportasi. Karena ia juga merupakan warga Negara Indonesia.
Kasus Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT) dalam perkawinan campur juga dialami Manohara Odelia Pinot.
Manohara mempunyai dua kewarganegaraan yaitu Indonesia (berdasarkan ius
sanguinis) dan Ameriak Serikat (berdasarkan ius soli) hal ini menjadi semakin
rumit karena perkawinannya dengan putera raja Kelantan, Malaysia. Seharusnya,
setelah menikah Manohara menggunakan hak opsinya. Kewarganegaraan ini kabarnya
menjadi satu alasan lambatnya penyelesaian kasus Manohara.
Pemerintah seharusnya
lebih mensosialisasikan setiap produk undang-undang dengan mempermudah akses
terhadap undang-undang agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang kembali.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Undang-undang
no 12 tahun 2006 masih mencerminkan persatuan dalam keluarga. Hal ini terlihat
jelas dalam pasal 26 ayat (1) dimana pihak perempuan warga negara Indonesia harus
kehilangan kewarganegaraan untuk ikut suaminya jika negara suami menghendaki
demikian pula sebaliknya yang tercantum pada ayat 2. Perempuan harus membuat
pernyataan apabila hendak mempertahankan kewarganegaraannya sementara ia adala
warga negara Indonesia. Pasal ini seolah-olah telah seimbang antara perempuan
dalam mentukan kewarganegaraan ditambah dengan ketidakpedulian perempuan yang
menggangap pasal itu bukan merupakan masalah
karena maslahanya hanya focus pada anak. Hal ini berdampak mengurangi
sensifitas dari pasal tersebut sehingga pendapat tentang keberatan tentang
pasal 26 kurang terdengar.
DAFTAR
PUSTAKA
-
Prof Bagir Manan SH. Hukum kewarganegraan Indonesia dalam UU no
12 tahun 2006, FH UII PRES, Yogyakarta 2009.
-
M. Indradi kusuma dan Wahyu Efend Kewarganegaraan Indonesia, 2002
-
Undang-undang no 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan
-
Jurnalperempuan.com, diakses pada
tanggal 9 januari 2011
[1]
Prof Bagir Manan SH. Hukum kewarganegraan
Indonesia dalam UU no 12 tahun 2006, FH UII PRES, Yogyakarta 2009.
[2] Kees
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm., 21-22
[3] M.
Indradi kusuma dan Wahyu Efendi, 2002,
op cit hal 9.
[5] Louise
Ackers, Shifting Spaces: Women,
Citizenship and Migration within the European Union (Bristol: The Policy
Press, 1998), hlm., 41.
[6]
Anupama Roy, gendered citizenship :
historical and conceptual explorations, New Delhi : orientlongmant, 2005
[7]
Shutta Dharmsutra, “sebuah Babak baru
dimulai”, Kompas (rabu 12 juli 2006) hal 5.
[8]
Pasal 26 ayat (1) perempuan warga negara Indonesia yang menikahi laki-laki
warga negara asing, kehilangan kewarganegaraan republik idonesia, apabila
menurut hukum negara asal suami, kewarganegaraan istri mengikuti
kewarganegaraan suami akibat pernikahan tersebut.
[9] Jurnalperempuan.com,
diakses pada tanggal 9 januari 2011
Saya tidak dapat cukup berterima kasih kepada Dr EKPEN TEMPLE kerana telah membantu saya mengembalikan kegembiraan dan ketenangan dalam perkahwinan saya setelah banyak masalah yang hampir menyebabkan perceraian, alhamdulillah saya bermaksud Dr EKPEN TEMPLE pada waktu yang tepat. Hari ini saya dapat mengatakan kepada anda bahawa Dr EKPEN TEMPLE adalah jalan keluar untuk masalah itu dalam perkahwinan dan hubungan anda. Hubungi dia di (ekpentemple@gmail.com)
BalasHapus