Home

5.19.2011

LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN


A.    Fungsi Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban
Undang-Undang perlindungan saksi dan korban menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban adalah lembaga yang mandiri. Apa yang dimaksud mandiri dalam Undang-undang ini, lebih tepatnya adalah sebuah lembaga yang independen (biasanya disebut sebagai komisi independen), yakni organ negara (state organs) yang di idealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan baik Eksekutif, Legislatif maupun Judikatif, namun memiliki fungsi campuran antar ketiga cabang kekuasaan tersebut[1].  Apa yang dimaksud dengan independen? Dalam berbagai kepustakaan, yang dimaksud dengan independen adalah:
1.      berkaitan erat dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang pembentukan komisi yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya komisi negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden karena merupakan bagian dari eksekutif
2.      bila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam undang-undang komisi yang bersangkutan atau bila Presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan (discretionary decesion) pemberhentian pimpinan komisi.
3.      Sifat independen juga tercermin dari kepemimpinan yang kolektif, bukan hanya seorang pimpinan
4.      kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu dan
5.      masa jabatan pemimpin komisi tidak habis secara berrsamaan, tetapi bergantian (starggerd terms). Karena merupakan lembaga yang mandiri maka kemudian Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tidak meletakkan struktur Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban berada di bawah instansi manapun baik instansi pemerintah (eksekutif) maupun lembaga negara lainnya.
Walaupun dari segi finansial lembaga ini didukung sepenuhnya dari keuangan negara. Pilihan Undang-undang terhadap model lembaga seperti ini tentunya menyerupai berbagai lembaga negara yang telah ada seperti: Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya. Apa yang menjadi pertimbangan dari para perumus Undang-undang untuk menetapkan model lembaga seperti ini? Dari berbagai dokumen yang ada, keputusan untuk memilih model lembaga ini terkait dengan beberapa argumentasi. Pertama, keinginan untuk membuat lembaga yang secara khusus mengurusi masalah perlindungan saksi dan korban yang tidak berada di bawah institusi yang sudah ada, yakni kepolisian atau kejaksaan, Komnas HAM atau Departemen Hukum dan HAM[2]. Kedua, karena institusi yang lainnya sudah memiliki beban tanggungjawab yang besar, oleh karena itu jangan sampai program perlindungan membebani lagi lembaga-lembaga tersebut

B.     Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban
Undang-Undang  No 13 Tahun 2006 memprioritaskan kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban ini berada di ibukota negara Republik Indonesia[3]. Hal ini merupakan kebiasaan yang dapat dimaklumi bagi kedudukan sebuah Lembaga Negara. Namun di samping berkedudukan di ibukota negara, Undang-undang juga memberikan keleluasaan bagi Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban [4]. Pilihan Undang-undang untuk memberikan akses bagi Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban untuk mendirikan lembaga perwakilan adalah pilihan yang tepat karena dari segi geografis wilayah republik Indonesia yang lumayan luas dan akses informasi maupun komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota dengan wilayah lainnya. Lagi pula, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi yang terjadi selama ini justru paling banyak di luar wilayah ibu kota Negara RI[5].
Perwakilan di daerah lainnya ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa berada di tingkat region tertentu (antar propinsi) misalnya memilih di beberapa wilayah tertentu, Indonesia Timur, Indonesia barat dan lain sebagainya. Perwakilan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban bisa juga didirikan di tiap propinsi atau bahkan di tingkatkabupaten- kebupaten tertentu. Atau dalam kondisi khusus (penting dan mendesak) Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban perwakilan bisa juga Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban ini juga tidak mengatur mengenai dukungan staf yang akan membantu kerja-kerja lembaga ini, misalnya staf yang mempunyai kwalifikasi untuk membuat rekomendasi berkaitan dengan tindakan-tindakan perlindungan korban dan saksi dan staf yang mempunyai kemampuan untuk mengatasi trauma tertentu yang dialami korban dan saksi didirikan di wilayah terpilih, misalnya karena tingginya kasus intimidasi dan ancaman saksi di daerah tertentu maka Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban mendirikan kantor perwakilannya. Di samping itu perwakilan untuk Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban ini bisa juga didirikan secara permanen atau secara ad hoc tergantung situasi yang mendukungnya.

C.    Tugas dan Kewenangan Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban
Undang-Undang No 13 Tahun 2006 dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Namun Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban tidak merinci tugas dan kewenangan dari Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban tersebut lebih lanjut[6]. perumus Undang-undang kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban dalam suatu bagian atau babtersendiri dalam Undang-undang No 13 tahun 2006 seperti peraturan lainnya, melainkan menyebarkan di seluruh Undang-undang.
Tugas dan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban yang tersebar dalam Undang-undang No 13 Tahun 2006, yaitu:
1.      Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan (Pasal 29).
2.      Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 29).
3.      Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 1).
4.      Menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 32).
5.      Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan keinginan korban) berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjaditanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7).
6.      Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33dan 34).
7.      Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 34).
8.      Bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan danbantuan.(Pasal 39)



[1] Lihat Denny Indrayana, Komisi Negara Independen, Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, makalah DiskusiTerbatas “Mencermati Problematika Lembaga negara, rekomendasi bagi pembentukan LPSK”, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 7 Maret 2007 yang dikutip dari Jimly Ashidik Struktur Kenegaraan Indonesia setelah perubahanKeempat UUD Tahun 1945. makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli 2003.
[2]  Adanya ketidakpercayaan terhadap kinerja beberapa institusi tersebut yang menyebabkan mengapa pilihan mandiri ini dikemukakan oleh para perumus UU. Hal ini juga terkait dengan trend yang ada, pada umumnya setelah reformasi, terjadi ketidakpercayaan terhadap institusi yang terkait pemerintah atau berada dalam pemerintah sehingga para perumus awal RUU PSK mendorong agar program perlindungan saksi disupervisi oleh lembaga baru di luar lembaga yang telah ada. Lihat: Supriyadi Widodo Eddyono, UU Perlindungan Saksi belum progresif, ELSAM & Koalisi Perlindungan Saksi, 2006.
[3] Lihat Pasal 11 ayat (2) UU No 13 tahun 2006
[4] Lihat Pasal 11 ayat (3) UU No 13 tahun 2006
[5] Lihat Supriyadi Widodo dkk, Sanksi dalam Ancaman; dokumentasi Kasus, ELSAM, 2004 lihat juga beberapa kasus yang terdokumentasi oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi
[6] Lihat Pasal 12 UU No 13 Tahun 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar