A.
Fungsi
Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban
Undang-Undang perlindungan
saksi dan korban menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban adalah
lembaga yang mandiri. Apa yang dimaksud mandiri dalam Undang-undang ini, lebih
tepatnya adalah sebuah lembaga yang independen (biasanya disebut sebagai komisi
independen), yakni organ negara (state organs) yang di idealkan independen dan
karenanya berada di luar cabang kekuasaan baik Eksekutif, Legislatif maupun
Judikatif, namun memiliki fungsi campuran antar ketiga cabang kekuasaan
tersebut[1]. Apa yang dimaksud dengan independen? Dalam
berbagai kepustakaan, yang dimaksud dengan independen adalah:
1.
berkaitan erat dengan pemberhentian
anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur
dalam undang-undang pembentukan komisi yang bersangkutan, tidak sebagaimana
lazimnya komisi negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh
presiden karena merupakan bagian dari eksekutif
2.
bila dinyatakan secara tegas oleh
kongres dalam undang-undang komisi yang bersangkutan atau bila Presiden
dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan (discretionary decesion)
pemberhentian pimpinan komisi.
3.
Sifat independen juga tercermin dari
kepemimpinan yang kolektif, bukan hanya seorang pimpinan
4.
kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas
berasal dari partai politik tertentu dan
5.
masa jabatan pemimpin komisi tidak habis
secara berrsamaan, tetapi bergantian (starggerd terms). Karena merupakan
lembaga yang mandiri maka kemudian Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
tidak meletakkan struktur Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban berada di bawah
instansi manapun baik instansi pemerintah (eksekutif) maupun lembaga negara
lainnya.
Walaupun
dari segi finansial lembaga ini didukung sepenuhnya dari keuangan negara.
Pilihan Undang-undang terhadap model lembaga seperti ini tentunya menyerupai
berbagai lembaga negara yang telah ada seperti: Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain
sebagainya. Apa yang menjadi pertimbangan dari para perumus Undang-undang untuk
menetapkan model lembaga seperti ini? Dari berbagai dokumen yang ada, keputusan
untuk memilih model lembaga ini terkait dengan beberapa argumentasi. Pertama,
keinginan untuk membuat lembaga yang secara khusus mengurusi masalah
perlindungan saksi dan korban yang tidak berada di bawah institusi yang sudah
ada, yakni kepolisian atau kejaksaan, Komnas HAM atau Departemen Hukum dan HAM[2]. Kedua,
karena institusi yang lainnya sudah memiliki beban tanggungjawab yang besar,
oleh karena itu jangan sampai program perlindungan membebani lagi
lembaga-lembaga tersebut
B.
Kedudukan
Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban
Undang-Undang No 13 Tahun 2006 memprioritaskan kedudukan Lembaga
Perlindungan Saksi Dan Korban ini berada di ibukota negara Republik Indonesia[3].
Hal ini merupakan kebiasaan yang dapat dimaklumi bagi kedudukan sebuah Lembaga
Negara. Namun di samping berkedudukan di ibukota negara, Undang-undang juga
memberikan keleluasaan bagi Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban untuk membentuk
perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari Lembaga
Perlindungan Saksi Dan Korban [4].
Pilihan Undang-undang untuk memberikan akses bagi Lembaga Perlindungan Saksi
Dan Korban untuk mendirikan lembaga perwakilan adalah pilihan yang tepat karena
dari segi geografis wilayah republik Indonesia yang lumayan luas dan akses
informasi maupun komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar
ibukota dengan wilayah lainnya. Lagi pula, kasus-kasus intimidasi terhadap
saksi yang terjadi selama ini justru paling banyak di luar wilayah ibu kota
Negara RI[5].
Perwakilan
di daerah lainnya ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa berada di
tingkat region tertentu (antar propinsi) misalnya memilih di beberapa wilayah
tertentu, Indonesia Timur, Indonesia barat dan lain sebagainya. Perwakilan Lembaga
Perlindungan Saksi Dan Korban bisa juga didirikan di tiap propinsi atau bahkan
di tingkatkabupaten- kebupaten tertentu. Atau dalam kondisi khusus (penting dan
mendesak) Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban perwakilan bisa juga Lembaga
Perlindungan Saksi Dan Korban ini juga tidak mengatur mengenai dukungan staf
yang akan membantu kerja-kerja lembaga ini, misalnya staf yang mempunyai
kwalifikasi untuk membuat rekomendasi berkaitan dengan tindakan-tindakan
perlindungan korban dan saksi dan staf yang mempunyai kemampuan untuk mengatasi
trauma tertentu yang dialami korban dan saksi didirikan di wilayah terpilih,
misalnya karena tingginya kasus intimidasi dan ancaman saksi di daerah tertentu
maka Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban mendirikan kantor perwakilannya. Di
samping itu perwakilan untuk Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban ini bisa
juga didirikan secara permanen atau secara ad hoc tergantung situasi yang
mendukungnya.
C.
Tugas
dan Kewenangan Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban
Undang-Undang
No 13 Tahun 2006 dalam ketentuan umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk
memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Namun Undang-undang Perlindungan Saksi
dan Korban tidak merinci tugas dan kewenangan dari Lembaga Perlindungan Saksi
Dan Korban tersebut lebih lanjut[6].
perumus Undang-undang kelihatannya tidak menjabarkan tugas dan kewenangan Lembaga
Perlindungan Saksi Dan Korban dalam suatu bagian atau babtersendiri dalam Undang-undang
No 13 tahun 2006 seperti peraturan lainnya, melainkan menyebarkan di seluruh Undang-undang.
Tugas
dan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban yang tersebar dalam Undang-undang
No 13 Tahun 2006, yaitu:
1.
Menerima permohonan Saksi dan/atau
Korban untuk perlindungan (Pasal 29).
2.
Memberikan keputusan pemberian
perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 29).
3.
Memberikan perlindungan kepada Saksi
dan/atau Korban (Pasal 1).
4.
Menghentikan program perlindungan Saksi
dan/atau Korban (Pasal 32).
5.
Mengajukan ke pengadilan (berdasarkan
keinginan korban) berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang
menjaditanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7).
6.
Menerima permintaan tertulis dari korban
ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33dan 34).
7.
Menentukan kelayakan, jangka waktu dan
besaran biaya yang diperlukan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban
(Pasal 34).
8.
Bekerja sama dengan instansi terkait
yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan danbantuan.(Pasal 39)
[1] Lihat Denny Indrayana, Komisi
Negara Independen, Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, makalah
DiskusiTerbatas “Mencermati Problematika Lembaga negara, rekomendasi bagi
pembentukan LPSK”, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi,
Jakarta, 7 Maret 2007 yang dikutip dari Jimly Ashidik Struktur Kenegaraan
Indonesia setelah perubahanKeempat UUD Tahun 1945. makalah dalam Seminar
Pembangunan Hukum nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli 2003.
[2]
Adanya ketidakpercayaan terhadap kinerja beberapa institusi tersebut
yang menyebabkan mengapa pilihan mandiri ini dikemukakan oleh para perumus UU.
Hal ini juga terkait dengan trend yang ada, pada umumnya setelah reformasi,
terjadi ketidakpercayaan terhadap institusi yang terkait pemerintah atau berada
dalam pemerintah sehingga para perumus awal RUU PSK mendorong agar program
perlindungan saksi disupervisi oleh lembaga baru di luar lembaga yang telah
ada. Lihat: Supriyadi Widodo Eddyono, UU Perlindungan Saksi belum progresif,
ELSAM & Koalisi Perlindungan Saksi, 2006.
[3] Lihat
Pasal 11 ayat (2) UU No 13 tahun 2006
[4] Lihat Pasal 11 ayat (3) UU No 13
tahun 2006
[5] Lihat Supriyadi Widodo dkk,
Sanksi dalam Ancaman; dokumentasi Kasus, ELSAM, 2004 lihat juga beberapa kasus yang
terdokumentasi oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi
[6] Lihat Pasal 12 UU No 13 Tahun
2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar