Doktrin
tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, legal framework and as a
guideline dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan
dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham
negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang
mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut rechtsstaat. Bahkan, dalam
perkembangan selanjutnya, jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga diharuskan
tercantum dengan tegas dalam undangundang dasar atau konstitusi tertulis negara
demokrasi konstitusional (constitutional democracy). Jaminan ketentuan tersebut
dianggap sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping
materi ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian
kekuasaan negara serta mekanisme hubungan antar lembaga negara[1]
Menurut
pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights,
United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa Hak asasi
manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia
mustahil dapat hidup sebagai manusia. John Locke menyatakan bahwa Hak Asasi
Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta
sebagai hak yang kodrati.
Dalam
konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi manusia
merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya hommo homini lupus, bellum omnium contra omnes.
Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam
legenda kuno yang disebut Leviathan yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai
judul bukunya[2].
Sebaliknya,
John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan
hak-hak individunya kepada penguasa. Hak-hak yang diserahkan, menurutnya,
hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan
hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu. John Locke juga
membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang disebutnya
sebagai Second Treaties of Civil
Government yang juga menjadi judul bukunya. Dalam instansi pertama (the first
treaty) adalah perjanjian antara individu dengan individu warga yang ditujukan
untuk terbentuknya masyarakat politik dan negara. Instansi pertama ini disebut
oleh John Locke sebagai Pactum Unionis. Berdasarkan sebuah anggapan bahwa:
"Men
by nature are all free, equal, and independent, no one can be put out of this
estate, and subjected to the political power another, without his own content,
which other men to join and unite into a community for their comfortable, stafe
and peaceable, living one amongst another…[3]
Konsep Hak Asasi Manusia dalam Undang-undang. No. 39 tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pelanggaran Hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok
orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau
mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku
(Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Dalam mahkamah konstitusi menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah
perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam
konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan,
Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya
kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam
hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi
oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.
UUD
1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap
pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup,
meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila
yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
2.
Pasal
32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak
dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan
undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang
diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak
dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta
kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil
untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan
yang demokrasi”;
3.
Pasal
33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia)
sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan
dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada
terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam
suatu masyarakat yang demokratis”;
UUD 1945 pasca
Perubahan, melalui Pasal 28 J nampaknya melanjutkan paham konstitusi
(konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni
melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di
atas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar