Home

5.19.2011

Definisi Hak Asasi Manusia



Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut rechtsstaat. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga diharuskan tercantum dengan tegas dalam undangundang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy). Jaminan ketentuan tersebut dianggap sebagai materi terpenting yang harus ada dalam konstitusi, di samping materi ketentuan lainnya, seperti mengenai format kelembagaan dan pembagian kekuasaan negara serta mekanisme hubungan antar lembaga negara[1]
Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa Hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. John Locke menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
Dalam konteks hak asasi manusia, Thomas Hobbes melihat bahwa hak asasi manusia merupakan jalan keluar untuk mengatasi keadaan yang disebutnya hommo homini lupus, bellum omnium contra omnes. Dalam keadaan demikian, manusia tak ubahnya bagaikan binatang buas dalam legenda kuno yang disebut Leviathan yang dijadikan oleh Thomas Hobbes sebagai judul bukunya[2].
Sebaliknya, John Locke berpendapat bahwa manusia tidaklah secara absolut menyerahkan hak-hak individunya kepada penguasa. Hak-hak yang diserahkan, menurutnya, hanyalah hak-hak yang berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan hak-hak lainnya tetap berada pada masing-masing individu. John Locke juga membagi proses perjanjian masyarakat tersebut dalam dua macam, yang disebutnya sebagai  Second Treaties of Civil Government yang juga menjadi judul bukunya. Dalam instansi pertama (the first treaty) adalah perjanjian antara individu dengan individu warga yang ditujukan untuk terbentuknya masyarakat politik dan negara. Instansi pertama ini disebut oleh John Locke sebagai Pactum Unionis. Berdasarkan sebuah anggapan bahwa:
"Men by nature are all free, equal, and independent, no one can be put out of this estate, and subjected to the political power another, without his own content, which other men to join and unite into a community for their comfortable, stafe and peaceable, living one amongst another…[3]
Konsep Hak Asasi Manusia dalam Undang-undang. No. 39 tahun 1999 adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Pelanggaran Hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Dalam mahkamah konstitusi menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.    UUD 1945 sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah satunya adalah sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
2.    Pasal 32 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia” sebagai berikut, “Peraturan-peraturan undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan yang demokrasi”;
3.    Pasal 33 UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia) sebagai berikut, “Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang demokratis”;
UUD 1945 pasca Perubahan, melalui Pasal 28 J nampaknya melanjutkan paham konstitusi (konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di atas


[1] Prof. Dr. Jimly Asshiddiqqie, S.H, Pengntar Hukum Tata Negara jilid II, Jakarta, Mahkamah Konstitusi, 2006
[2]  A. Appadorai, The Substance of Politics, (India: Oxford University Press, 2005), hal. 24-26.
[3]  John Locke, "An Essay Concerning the true original, Extent and of Civil Government", chapter VIII, dalam saxe coming, Robert N. Linscott (eds),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar