Manusia adalah
subjek hukum yang memiliki martabat yang paling tinggi. Setiap manusia memiliki
hak dasar yang paling hakiki yaitu hak untuk hidup. Pengakuan terhadap martabat
yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak terpisahkan dari semua manusia,
merupakan landasan dari kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia. Beberapa hak manusia
yang hakiki adalah dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya (ekososbud). Dalam
negara indonesia hak tersebut diatur dalam UUD 1945. Sedangkan dalam peraturan
internasional pengaturan terhadap perlindungan dalam bidang ekonomi, sosial,
dan budaya (Ekososbud) ini lahir dari sebuah Deklarasi yang dikeluarkan PBB
melalui Majelis Umum yang disebut dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Right atau UDHR) pada tanggal 10 Desember 1948.
Dalam pelaksanaannya, Deklarasi ini melahirkan dua instrumen penting yang
mengatur ketentuan HAM, yaitu the International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) yang dimaksukkan sebagai kategori generasi HAM pertama oleh
Karel Vasak; dan the International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights (ICESCR) yang dikategorikan sebagai generasi HAM ke dua.
Ernst-Ulrich
Petersmann menyatakan bahwa abad ke-20 mengalami “revolusi HAM” yang mengubah
potret antara lain hukum ekonomi internasional. Hal ini bukan saja merupakan
suatu perkembangan penting tetapi juga membutuhkan kajian-kajian mendalam
tentang implikasi dari perkembangan atau revolusi HAM ini.
Hukum ekonomi
internasional pembahasan tentang aspek hak asasi manusianya masih sangat
minimal. Perlindungan hak ekonomi ini sangat penting, mengingat individu
merupakan tujuan terakhir dari fungsi hukum internasional. Pendekatan dalam
hukum ekonomi internasional yang cenderung berbicara pada kebijakan (policy)
negara di bidang ekonomi semakin mengurangi perhatian masyarakat internasional
kepada hak-hak individu.
Kecendrungan
revolusi HAM yang diajukan oleh Petersmann mungkin dapat dibuktikan dengan
diaturnya tentang hak ekonomi dalam Piagam PBB khususnya pasal 55. Bukan hanya
itu saja, dalam deklarasi hak asasi manusia 1948 (UDHR) telah dicantumkan juga
tentang hak-hak ekonomi. Selanjutnya, sebagai implementasi dari UDHR,
masyarakat internasional telah menyepakati sebuah konvenan yang khusus mengatur
hak-hak individu dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya (ICESCR) pada tahun
1966.
Dengan adanya
instrumen hukum HAM internasional yang mengatur hak individu atas hak ekonomi
membuktikan bagaimana pentingnya hukum ekonomi internasional untuk memasukkan
HAM didalamnya. Pendekatan yang selama ini digunakan dalam hukum ekonomi
internasional harus mulai berubah. Fokus yang diberikan tidak saja mengurusi
masalah hak dan kewajiban negara, perusahaan-perusahaan internasional (MNC),
namun juga harus berpihak pada kesejahteraan dan kemakmuran individu.
Keengganan
masyarakat internasional untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia (hak
individu) dalam hukum ekonomi internasional dikarenakan faktor bahwa individu
merupakan subjek terbatas dalam hukum internasional. Meskipun demikian harus
dilihat bahwa hukum internasional pada akhirnya akan bermuara pada individu
sebagai entitas yang berada dibalik negara yang dianggap sebagai subjek hukum
internasional yang par-excellent.
Oleh karena itu
dalam makalah ini akan dibahas mengenai efektivitas ICESCR dalam menghadapi
kasus-kasus di bidang ekonomi internasional.
A.
IDENTIFIKASI
MASALAH
Berdasarkan
uraian tersebut diatas, maka persoalan pokok yang menjadi kajian makalah ini
terfokus pada 2 (dua) masalah yaitu :
1. Apakah
ICESCR efektif dalam menghadapi kasus-kasus bidang ekonomi internasional?
2. Bagaiman
kasus tenaga kerja indonesia dikaitkan dengan substansi yang terdapat dalam
kovenant ICESCR?
Pada awal
tulisan ini dinyatakan bahwa Deklarasi Universal HAM (UDHR) tahun 1948
merupakan tonggak sejarah penting bagi pengakuan HAM. Deklarasi mengakui HAM
atas hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak atas ekonomi, sosial dan budaya. Dalam
pelaksanaannya, Deklarasi ini diwujudkan ke dalam dua instrumen penting yang
mengatur ketentuan HAM, yaitu :
1. International
Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR)
2. International
Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR).
Keduanya
bertujuan untuk melaksanakan prinsip-prinsip dalam Deklarasi Universal HAM
menjadi mengikat. UDHR, ICCPR, dan ICESCR disebut pula sebagai International
Bill of Human Rights.
Dalam pasal-pasalnya
kedua konvenan ini mengikuti UDHR 1948. Keduanya mengatur sistem monitoring yang
menurut banyak sarjana agak lemah. Hal ini menunjukkan peran penting UDHR
terhadap HAM pada umumnya, dan HAM atas ekonomi pada khususnya.Sehubungan
dengan hukum ekonomi internasional, uraian berikut ditekankan pada konvenan
mengenai hak – hak ekonomi, sosial, dan budaya (ICESCR).
1. Hak
atas Ekonomi
Hak
atas ekonomi ini termuat dalam Konvenan mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya. Hak ini menurut Henkin, dikenal sebagai hak general kedua (second
generation) dari HAM. Dari pasal – pasal ICESCR tersurat HAM atas ekonomi,
yakni :
a. hak
atas pekerjaan;
b. hak
atas gaji yang layak dengan pekerjaannya;
c. hak
untuk bergabung dengan serikat kerja/dagang;
d. hak
untuk istirahat (leisure);
e. hak
untuk mendapatkan standar hidup yang layak (adequate
standar of living) yang mencakup makanan, pakaian, perumahan, kesehatan,
dan pelayanan sosial (social services);
f. hak
atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar gratis, dan
g. hak
untuk ikut serta dalam kehidupan budaya pada masyarakat.
2. Hak
atas Pekerjaan
Hak atas pekerjaan termuat dalam Pasa 6
ICESCR, hak ini merupakan an essential part of the human condition. Penegasan
hak ini menurut Jacquart, agak sulit untuk tercapai. Ada dua alasan yang mendukung
pendapat beliau. Pertama, meskipun ICESCR menegaskan eksisten hak atas
pekerjaan, namun ICESCR juga mengakui adanya hak lain yaitu hak atas jaminan
sosial (social security).
Kedua, pelaksanaan hak ini sangat
bergantung kepada kemampuan pemerintah untuk memberikan pekerjaan kepada warga negaranya.
Karena itu, Jacquart berpendapat hak atas pekerjaan ini lebih tepat disebut
sebagai hak atas akses terhadap pekerjaan (the
rights of access to work).
3. Hak
atas Gaji dan Kondisi yang Layak
Hak ini termuat dalam pasal 7 ICESCR.
Hak ini terkait erat dengan hak atas pekerjaan. Hak ini juga adalah hak yang
sifatnya absolut. International Labour Organization (ILO) telah mengeluarkan
berbagai instrumen-instrumen hukum untuk memperkuat hak-hak ini.
Instrumen-instrumen tersebut antara lain adalah Convention No 131 dan
Recommendation No 135 tahun 1970 yang mengatur penetapan upah minimum.
4. Hak
untuk Membentuk dan Bergabung dengan Serikat Kerja/Dagang
Pasal 8 ICESCR memuat hak untuk
membentuk dan bergabung dengan serikat kerja. Ketentuan pasal ini merupakan hak
yang sifatnya wajib. Dalam arti, negara harus memberi jaminan kepada warga
negaranya atau pekerjaanya untuk ikut bergabung dalam serikat-serikat kerja
yang ia suka. Termasuk di dalam hak ini adalah hak untuk mogok.
Hak ini telah diperkuat oleh berbagai
resolusi dan perjanjian internasional yang dirumuskan dalam ILO. Sebagai contoh
adalah dikeluarkannya instrumen berjudul Freedom
of Association and Protection of the Right to Organize, Convention No. 87
tanggal 9 Juli 1948.
5. Hak
untuk Istirahat
Hak ini termuat dalam pasal 7 (d). Pasal
ini menegaskan, adalah hak setiap orang untuk menikmati istirahat dari
pekerjaannya, termasuk menikmati liburan – liburan (dengan tetap mendapat
pembayaran gaji)
6. Hak
untuk Mendapatkan Standar Hidup yang Layak (Adequate
Standard of Living) yang Mencakup Makanan, Pakaian, Perumahan, Kesehatan
dan Pelayanan Sosial (Social Services)
Hak ini tercantum dalam Pasal 10, 11,
dan 12 ICESCR. Hak ini khususnya Pasal 11 merupakan the most wideranging and general of the articles in the Covenant.
Hak-hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak tercakup pula didalamnya hak
perlindungan terhadap keluarga (pasal 10). Pasal 10 ayat (3) bahkan mewajibkan
negara untuk menghukum siapa saja yang mengeksploitasi anak kecil khususnya
yang menjadikan anak – anak sebagai pekerja. Dalam kaitan dengan hak ini,
terdapat pula hak yang juga penting yaitu hak atas makanan, pakaian ,
perumahan, kesehatan, dan pelayanan sosial. Ketentuan hak atas pangan
ditegaskan dalam pasal 11 ayat 2 yang menyatakan bahwa the fundamental right of the everyone to be free from hunger.
Menurut Jacquart, ketentuan pasal ini
mengisyaratkan negara baik secara individu atau bersama-sama dengan negara lain
untuk mengambil langkah atau cara-cara yang diperlukan untuk meningkatkan
produksi, konservasi dan distribusi makanan. Termasuk pula dalam hal ini,
adalah distribusi makanan yang adil bagi dunia sesuai dengan kebutuhannya.
Perlu dikemukakakan disini hak atas
standar hidup yang layak ini merupakan prasyarat untuk dapat terealisasinya
hak-hak atas kehidupan yang lain. Menurut Jacquart, tidak adanya hak ini maka
hak-hak ekonomi (dan sosial) lainnya tidak akan tercapai (terpenuhi). Pendapat
ini tepat, karena bagaimana mungkin hak-hak ekonomi lainnya dapat dilaksanakan
apabila hak-hak yang mendasarnya, yaitu hak atas standar hidup yang layak saja
tidak terpenuhi. ILO telah mengeluarkan berbagai instrumen yang mewajibkan
negara (anggota) untuk menghormati hak ini. Instrumen-instrumen tersebut antara
lain adalah :
a. The
Universal Declaration on the Eradication of Hunger and Malnutrition;
b. Resolution
41 / 190 tanggal 8 Desember 1986 yang menegaskan hak atas makanan sebagai
fundamental human rights yang harus dijamin bagi semua orang. Resolusi ini juga
menyatakan bahwa pemberian makanan ini tidak boleh digunakan sebagai alat atau
instrumen penekan baik pada tingkat nasional atau internasional.
Mengenai signifikasi atau arti penting
hak ini, Matthew Craven menyatakan dengan tepat :
“There is not doubt that the right to an
adequate standard of living,including the rights to food, housing and clothing
is of paramount importance not least because at minimum levels it represents a
question of survival”
7. Hak
atas Pendidikan, Termasuk Pendidikan Dasar Gratis
Hak ini diatur dalam Pasal 13 dan 14
ICESCR. Hak ini sebenarnya adalah pelaksanaan dari Pasal 26 Deklarasi Universal
HAM. Ayat 2 Pasal 26 ini menegaskan tujuan dari hak – hak atas pendidikan ini
yaitu :
a. mengembangkan
personalitas manusia secara penuh;
b. meningkatkan
penghormatan atas HAM dan kebebasan-kebebasan manusia (human rights and fundamental
freedoms);
c. meningkatkan
toleransi;
d. meningkatkan
pengertian dan persaudaraan diantara semua negara, ras, kelompok agama;
e. memajukan
kegiatan – kegiatan PBB dan memelihara perdamaian.
Hak atas pendidikan ini ditegaskan dalam
Pasal 13 dan 14 ICESCR. Khususnya Pasal 14, berdasarkan pasal ini negara
peserta diwajibkan untuk membuat rencana aksi untuk melaksanakan secara penuh
prinsip pendidikan dasar gratis dan wajib.
8. Hak
untuk Ikut serta dalam Kehidupan Budaya pada Masyarakat
Hak ini termuat dalam Pasal 15 ICESCR.
Menurut Jacquart, hak ini baru dapat akan dinikmati apabila hak-hak standar
yang layak sebelumnya dapat atau telah terpenuhi.
Hak ini mencakup hak untuk ikut serta
dalam kehidupan budaya, hak untuk memperoleh keuntungan dari kemajuan ilmu
pengetahuan, hak perlindungan dari benda-benda artistik, tulisan atau
bahan-bahan lainnya (yang merugikan) yang berasal dari ilmu pengetahuan, hak
atas kebebasan untuk melakukan penelitian, komunikasi dan informasi
C.
PEMBAHASAN
Hak asasi
manusia (HAM) dalam hukum ekonomi internasional menjadi perhatian masyarakat
internasional setelah pendekatan HAM mulai menyebar secara luas. Pendekatan HAM
ini pada akhirnya menyadarkan masyarakat internasional untuk membuat sebuah
konvensi internasional tentang hak ekonomi. Konvensi internasional tentang hak
asasi manusia dalam bidang ekonomi terlaksana pada tahun 1966 dengan
menghasilkan International Convention on Economic, Social and Cultural Rights
(ICESCR). Konvensi tersebut merupakan derivasi dari deklarasi universal HAM
1948.
Perdebatan
ideologis atas kelahiran konvensi hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) ini
cukup menarik. Negara-negara yang memiliki latar belakang ideologi
liberalis-kapitalis tidak mendukung dilahirkannya konvensi Ekosob dengan alasan
bahwa negara tidak boleh intervensi atas kegiatan ekonomi. Sedangkan
negara-negara sosialis mendukung kelahiran konvensi Ekosob ini dengan alasan
bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk mensejahterahkan rakyatnya.
Jalan tengah
perdebatan tersebut adalah dengan dikeluarkanya dua konvesi atas derivasi
deklarasi universal HAM 1948, yaitu Konvensi Hak Sipil dan Politik serta
Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Latar belakang perdebatan ideologis
ini diakui oleh Verloren Van Themaat. Menurut beliau bahwa dalam tertib ekonomi
internasional terdapat dua sistem ekonomi yang berbeda. Pertama adalah
negara-negara yang menganut pada prinsip liberalisasi pasar yang dikenal dengan
negara kapitalis. Kedua adalah negara-negara sosialis yang menganut pentingnya
intervensi negara dalam bidang ekonomi.
Jika melihat
bagian pembukan konvensi Ekosob, terlihat jelas bahwa pembentukan konvensi
didasarkan pada Piagam PBB (Pasal 1 ayat 2 dan 3 serta 55) serta Deklarasi
Universal HAM 1948 (Pasal 22-27). Konvensi juga menyadari bahwa individu memiliki
kewajiban atas individu dan komunitasnya serta memiliki kewajiban untuk
memperjuangkan hak-hak yang dijamin dalam konvensi. Menurut Huala Adolf, materi
konvensi yang penting adalah :
1. Hak
atas Ekonomi
2. Hak
atas Pekerjaan
3. Hak
atas Gaji dan Kondisi yang Layak
4. Hak
untuk Membentuk dan Bergabung dengan Serikat Kerja/Dagang
5. Hak
untuk Istirahat
6. Hak
untuk Mendapatkan Standar Hidup yang Layak yang Mencakup Makanan, Pakaian,
Perumahan, Kesehatan dan Pelayanan Sosial
7. Hak
atas Pendidikan, Termasuk Pendidikan Gratis
8. Hak
untuk Ikut Serta dalam Kehidupan Budaya pada Masyarakat.
Jika dilihat
dari substansi yang terdapat dalam ICESCR dapat kita tarik bahwa ICESCR kurang
begitu efektif dalam menghadapi kasus-kasus ekonomi internasional. Hal ini
dikarenakan isi substansi itu tidak mengatur lembaga yang berwenang dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi internasional. Dimana isi dalam kovenan ICESCR
hanya mengatur hak-hak yang harus diberikan oleh negara terhadap warga
negaranya.
Republik indonesia telah meratifikasi kovenan
ICESCR melalui undang-undang no 11 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Economic Social
and Cultural Right (konvenan inteternasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya).
Jauh sebelum
Indonesia meratifikasi Konvensi hak Ekosob dengan UU No. 11 Tahun 2005,
Indonesia telah mencantumkan dalam UUD 1945 dan banyak undang-undang lain
tentang hak-hak yang diatur dalam Kovenan Ekosob.
Hak memperoleh
pendidikan diatur dalam Pasal 28D ayat (3), Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31 ayat
(1) UUD 1945; hak atas pekerjaan dan kondisi kerja yang layak dan adil (27 ayat
2; 28A, 28C (1), 28D (2), dan 28I (1); hak membentuk dan bergabung dengan
serikat buruh (Pasal 28); hak jaminan sosial ( Pasal 33 Amand, Pasal 28 H (1
dan 3), Pasal 33 (1), 34 (2); hak standar hidup yang layak 33 (3), Amand, Pasal
28 H (1), Pasal 28C (1), dan Pasal 28I (1); hak atas kesehatan dan perawatan
medis (Pasal 28 H (1) dan 34 (3). Selain itu diatur pula dalam UU HAM No.
39/1999 dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2), 42, 53 ayat (1), 54, 57, 62, 64, Serta
UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU
Ketenagakerjaan, UU Kesehatan, UU Pendidikan, dan sebagainya.
Kasus yang
berkaitan antara indonesia dengan penegakan kovenan ICESCR adalah ketika
terjadi krisis ekonomi yang terjadi di asia tenggara termasuk di indonesia pada
tahun 1997. Bank dunia mewajibkan indonesia untuk mengadakan reformasi dibidang
keuangan. Termasuk diantara adalah perdagangan surat berharga dan pemaillitan
bank untuk meningkatkan efiseinsi dan kecukupan permodalan, penguatan penilaian
pemeberian kredit dan resiko usaha, peningkatan pengawasan dan pemberlakuan
ketentuan hukum yang lebih baik yang mengatur mengenai kepailitan, persaingan
usaha, keterbukaan terhadap informasi publik dan permasalahan kepemilikan hak
atas benda.
Pada tahun 2007 lebih
dari 1 juta orang warga negara indonesia mengrimkan uang ke keluargany yang di
indonesia sebagai upahnya selama tenga kerja itu bekerja, Tujuh lima persenya adalah wanita. Tenaga kerja
indonesia yang dikirim ke negara-negara timur tengah atau negara-negara benua
asia. Para tenaga kerja tersebut, sering menghadapi permasalahan pembayaran
yang tidak diatur oleh negara indonesia juga pembayaran kepada agensi pengiriman
tenaga kerja yang cukup besar.permasalah lainnya adalah dalam pembianaan dan
pengiriman tenaga kerja ke luar negeri, para calon tenaga keraja indonesia
sering dikurung untuk melakukan pelatihan dan tidak memperoleh informasi
mengenai pekerjaan diluar negeri di negara yang dituju.
Pada tanggal 8
februari 2005 indonesia menandatangani Agreed Minutes of Meeting between the
minister of manpower and transmigation of the republic indonesia and ministers
of home affairs of malaysia on indonesian worker. Namun kesepakatan tersebut
tidak melindungi hak-hak tenaga kerja indonesia dalam hal kepemilikan pasport
mereka, jaminan perlindungan tenaga kerja atau kebijakan bilateral untuk
mencegah dan menanggapi kasus-kasus penyiksaan yang dialami oleh tenaga kerja
dimalaysia. Pada tahun 2011 indonesia melakukann moratorium tenaga kerja ke
malaysia selama satu tahun akibat banyak kasus penyiksaan.
Dalam pasal 2
ayat 1 konvenan ICESCR yang berbunyi sebagai berikut:
“1/Each state party to the present covenant
undertakes to steps, individually and throught international assitance and
co-operation, especially economic and technical, to the maximum of its
available resources, with a view to achieving progrissevly th efull realization
of the right recognized in the present covenant by appropiate means, including
particalary the adoption of legislative measures/.
Isi dari pasal 2
ayat 1 tersebut hanya mengatur kewajiban fundamental yang harus dilakukan oleh
negara dalam memenuhi hak asasi manusia setiap individu warga negaranya saja.
Menurut booysen negara hanya memiliki kewajiban (obligation) terhadap negara lainnya, bukan kewajiban terhadap
individu negara lainnya. Argumentasinya adalah individu bukanlah subjek hukum
inetrnasional yang penuh, ia adalah subjek hukum internasional yang terbatas.
Oleh karena itu individu sebenarnya tidak memiliki upaya efektif terhadap
negara lain dalam lingkup ekonomi internasional. Upaya tersebut baru ada
apabila secara tegas dinyatakan dan diberikan pad individu tersebut.
Dalam hal ini
sesuai dengan ketentuan kovenant ICESCR ini hanya mengatur saja hak-haknya
asasi dalam ekonomi saja tanpa ada kewajiban dari negara yang sudah
meratifikasi apabila terjadi suatu sengketa dengan negara lain. Efektifitas
dari kovenant ICESCR ini tidak dapat dipakai untuk menyelesaikan sengekta, karena
tidak terdapatnya lembaga untuk menyelesaikan sengketa dalam kovenant ICESCR
tersebut. Yang ada hanya perjanjian bilateral antara negara-negar yang
bersengket tersebut, seperti kasus yang terjadi pada tenaga kerja indonesia
yang ada dimalaysia tersebut
Walaupun ICESCR
ini kurang efektif dalam hal menyelesaikan sengketa internasional, substansi
ICESCR ini dijadikan kajian dalam bidang ini karena memang kovenan ini terkait
dengan hukum ekonomi international. Robertson dan merrils menegaskan bahwa satu
hakdan hak lainnya dibidang ham saling bersifat kait mengait. Satu hak tidak
penting atau lebih rendah derajatnya dengan hak lainnya.
D.
KESIMPULAN
Berdasarkan
isi substansi dari ICESCR dalam menyelesaikan sengketa ekonomi internasional
tidak efektif karena tidak ada badan yang berwenang dalam menyelsaikan sengketa
tersebut bila aterjadi sengketa.
Dalam
hal kasus tenaga kerja indonesia yang bekerja di negara malaysia terjadi banyak
pelanggaran hak-hak pekerja yang terdapat dalam ICESCR misalnya dalam hal Hak
atas Gaji dan Kondisi yang Layak, dan malah mendapatkan siksaan dari banyak
majikannya. Dalam penyelsaian sengekta tenaga kerja itu dilakukan dengan
melakukan hubungan diplomasi antara kedua belah negara tersebut, dimana
indonesia melakukan moraturium terhadap tenaga kerjanya ke malaysia.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
BUKU
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional,
Bandung, Keni Media, 2010.
Human Right Watch, World Report 2007,
New york. 2007.
The International Bank for
Reconstruction and Development/ The World Bank, Development and Human Rights:
The Role of World Bank, Washington DC, IBRD/The Wolrd Bank, 1998.
B.
MAKALAH
Suparman
Marzuki, S.H., M.Si, makalah tentang “Upaya Litigasi & Non Litigasi Atas
Pelanggaran Hak Ekosob Di Indonesia”. Jogjakarta Pusham UII 2007
C.
INTERNET
http://www.fao.org/docrep/MEETING/007/J1632E.HTM,