Home

3.12.2011

Hukum Pajak

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Pengertian pajak, hukum pajak, tugas, dan fungsinya.
1. Pengertian pajak, menurut Rochmat Soemitro
Pajak adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang untuk membayar sejumlah uang yang dapat dipaksakan tanpa mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluran negara dan berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu diluar keuangan negara.
Hukum pajak adalah keseluruhan peraturan yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang atau badan dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara.
2. Tugas hukum pajak
a)    Menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak.
b)    Merumuskan kondisi tersebut dalam aturan-aturan hukum dan menafsirkan aturan-aturan tersebut.
c)    Memperhatikan latar belakang ekonomis dari keadaan atau kondisi tersebut diatas.
3. Fungsi pajak
a)    Fungsi butgeter
b)    Pajak dijadikan alat untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya kedalam kas negara yang pada gilirannya digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
c)    Fungsi mengatur
d)    Pajak dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan.
e)    Fungsi pemerataan
f)     Hasil yang diperoleh dari pajak digunakan untuk kepentingan bersama, termasuk juga untuk kepentingan rakyat yang tidak membayar pajak
g)    Fungsi distribusi pendapatan
h)   Yang dipungut oleh pemda yang masuk ke kas daerah untuk keperluan daerah.
B. Hukum pajak termasuk hukum publik
Hukum pajak adalah sebagian dari hukum publik, dan ini adalah bagian dari tata tertib hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dan warga negaranya. Yang termasuk dalam hukum publik adalah : hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum pidana. Sedangkan hukum pajak merupakan anak bagian dari hukum administrasi, namun ada yang mengendaki (antara lain Prof Adriani) agar supaya kepada hukum pajak diberikan tempat tersendiri disamping hukum administratif (otonomi hukum pajak) karena hukum pajak juga mempunyai tugas yang bersifat lain adripada hukum administrasi pada umumnya, yaitu hukum pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian. Lagipula hukum pajak pada umunya mempunyai tata tertib dan istilah-istilah tersendiri untuk lapangan pekerjaannya.
Nama otonomi hukum pajak umumnya dirasakan kurang tepat karena seolah-olah menyatakan bahwa hukum pajak berdiri terlepas dari bagian-bagian hukum selebihnya. Padahal tidak demikian adanya; seribu satu hubungan dapat kita lihat antara hukum pajak dengan hukum administratif selebihnya, dengan hukum perdata dan hukum pidana. Uraiannya sebagai berikut;
1.        Hubungan hukum pajak dengan hukum pidana
a.    Hubungan hukum pajak dengan hukum pidana termasuk dalam lapangan hukum publik.
b.    Sanksi-sanksi dalam pidana diterapkan jug dalam hukum pajak.
c.    Ancaman-ancaman hukum pidana dalam hukum pajak selalu mengacu kepada ketentuan hukum pidana. Contohnya pasal 231 KUHP.
2.        Hubungan hukum pajak dengan hukum perdata
a)    Hukum pajak banyak menggunakan istilah-istilah yang lazim dipakai dalam hukum perdata
b)    Peristiwa-peristiwa, keadaan, perbuatan dalam hukum perdata menjadi objek pajak dalam hukum pajak
c)    Hukum pajak sebagai “lex specialis” sedangkan hukum perdata sebagai “lex generalis”
BAB II
Analisis Kasus
Keterkaitan menteri keuangan terhadap kasus penggelapan pajak yang dilakukan Paulus Tumewu, Menteri Keuangan memberikan disposisi melalui penasehat Menkeu bidang reformasi pajak, saudara Marsillam Simanjuntak. Lalu, dilanjutkan ke Kejaksaan Agung saat dipimpin Abdur Rahman Saleh saat itu agar diselesaikan secara damai," ujar Sekjen APPI, Sasmito di hadapan Komisi III DPR, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (20/4).
Menurut Sasmito, kasus tersebut adalah kasus macetnya pajak yang bermula dari kekurangan bayar untuk PPH 2004 atas nama Paulus Tumewu, adik ipar Edi Tanzil, pemilik Ramayana Group.
Ia melanjutkan, penyidikan kasus tersebut sudah P21. Ketentuan menyatakan yang bersangkutan harus didenda 4 kali dari Rp7,994 miliar. Namun ternyata Paulus Tumewu tidak membayar 4 kali, melainkan hanya Rp7,994 miliar. Dan semua selesai.
Penasehat APPI Ichsanudin Noorsy menjelaskan bahwa Paulus Tumewu mempunyai omset penjualan diduga yang kena pajak sebesar Rp1,5 triliun. Sehingga beban pajaknya sekitar Rp399 miliar. Namun entah kenapa hanya Rp7,994 miliar yang menjadi beban pajaknya.
Yang menarik, Kejaksaan menyatakan sudah dibayar Rp7,999 miliar dan dibayar 4 kali. Artinya tidak cocok dengan omset pajak. Mana Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang menyatakan dia cukup membayar Rp7,999 miliar.
Ichsanudin melanjutkan, setelah terjadi pembayaran dari Paulus Tumewu, terjadilah surat menyurat permintaan penghentian kasus tersebut oleh Paulus sendiri.
Menurut Ichsan, pada 19 Oktober 2006 terdapat surat dari Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh kepada Menteri Keuangan. Isinya menanggapi surat Menkeu SR-173/MK./03/06 tertanggal 1/ Oktober 2006 terkait penghentian penyidikan wajib pajak atas nama Paulus Tumewu.
Surat tersebut menyatakan Jaksa Agung setuju menghentikan penyidikan kasus pajak Paulus Tumewu atas perintah Menteri Keuangan. Jaksa Agung, saat itu memberikan beberapa syarat, apabila penyelesaian sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar telah dilunasi oleh wajib pajak bersangkutan, hendaknya dilaporkan ke kejaksaan untuk proses berikutnya.
Artinya, Ichsanudin, menambahkan, sampai 19 Oktober 2006, Jaksa Agung tidak mau menghentikan penyidikan. Keluarlah kemudian pada 31 Oktober 2006 surat yang disampaikan ke JB Kristiadi atas nama Menteri Keuangan yang menyatakan Paulus telah melunasi seluruh kewajibannya.
"Dasar Kejaksaan menghentikan kasus Paulus adalah atas permintaan Menkeu setelah berbagai pembahasan oleh biro hukum di Perpajakan," imbuh dia.
Dia berharap DPR mau melakukan investigasi kasus Paulus Tumewu. Dan harus mengejar betul berapa pajak yang bisa dikenakan ke adik ipar Edi Tansil ini.
Sementara menurut Anggota Komisi III Ahmad Yani, dewan ingin melihat SKP-nya, agar menjadi jelas. Untuk itu, Komisi mengaku akan memanggil pihak-pihak terkait kasus pajak Paulus Tumewu. Antara lain Kejaksaan, Penyidik Benato Priyatno, Mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo dan Darmin Nasution, Menkeu Sri Mulyani dan Marsilam Simanjuntak.
Sebelumnya, kasus pajak Paulus Tumewu senilai Rp399,4 miliar dengan denda empat kali lipat menjadi Rp1,950 triliun merupakan modus baru pengemplangan pajak. Modus baru itu dilaporkan Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI).
Menurut APPI, modus pengemplangan pajak ini dilakukan pemilik Ramayana Group, Paulus Tumewu itu terjadi pada 2005. Paulus diduga mengemplang pajak dalam skala besar sekelas ikan kakap (big fish). Namun atas intervensi Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui Kejaksaan Agung, Tumewu hanya membayar pajak Rp 7,9 miliar yang dikalikan empat kali lipat denda pajak menjadi Rp39,5 miliar.
Menurut APPI, intervensi Menkeu Sri Mulyani itu membuat Tumewu membayar angka kecil sekali dibandingkan denda pajak sesungguhnya senilai Rp1,950 triliun. Namun menurut Kementrian keuangan, kasus pajak Tumewu itu merupakan pajak pribadi, bukan pajak Ramayana, dan jumlahnya hanya sekitar Rp7 milyar.
Nomor:SR-173/MK.03/2006
Hal: Penghentian Penyidikan Wajib Pajak a.n. Paulus Tumewu
1. Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak, Paulus Tumewu dikenakan Surat Ketetapan Pajak (SKP) kekurangan pembiayaan PPh tahun 2004 sebesar Rp 7.994.617.750,00 (tujuh miliar sembilan ratus sembilan puluh empat juta enam ratus tujuh belas ribu tujuh ratus lima puluh rupiah). Terhadap kekurangan utang pajak tersebut telah dilunasi padatanggal tanggal 28 november 2005.
2. Penyidikan sebagaimanan dimaksud dalam butir 1 di atas, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 KUHAP ayat (2) dengan ayat (3) dan pasal 110 KUHAP ayat (1) dan ayat (4), telah dinyatakan lengkap (P-21) dengam demikian proses penyidikan telah selesai.
3. Berdasarkan Pasal 44B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 diatur hal-hal sebagai berikut:
a. Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindakan pidana di bidang perpajakan (ayat (1)).

b. Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan (ayat (2)).
4. Proses penyidikan oleh Departemen Keuangan saat ini telah selesai, dan yang bersangkutan menyampaikan pernyataan kesediaan untuk membayar denda sebesar 4 (empat) kali pajak yang tidak atau kurang dibayar. Agar memberikan dampak positif bagi penerimaan negara, maka menurut ayat (2) Pasal 44B Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 di atas, penghentian penyidikan yang sepenuhnya berada pada Kejaksaan Agung, hanya dapat dilakukan setelah yang bersangkutan melunasi pembayaran denda sebesar 4 (empat) kali pajak yang tidak atau kurang dibayar.
Ulasan Kasus Paulus Tumewu
Siapakah Paulus Tumewu?...
Paulus Tumewu adalah Komisaris Utama PT Ramayana Lestari Sentosa, yang membawahi antara lain Ramayana dan Robinson Department Store. Ia juga menempati urutan ke-15 dari daftar 40 orang terkaya di Indonesia pada tahun 2006.
Ada Apa Dengan Paulus Tumewu?
Paulus Tumewu ditangkap oleh POLRI bersama Ditjen Pajak pada tanggal 31 Agustus 2005. Paulus Tumewu telah melanggar pasal 39 ayat 1b huruf c Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, (yang isinya, barang siapa dengan sengaja menyampaikan SPT tidak benar dapat dipidanakan dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara, serta denda 4 kali pajak terutang) dengan sengaja mengecilkan omset yang diterima oleh Ramayana dan tidak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) dengan benar, sehingga merugikan negara sebesar Rp. 399 milyar.
Pelangaran pelanggaran yang dilakukan oleh Paulus Tumewu:
1. Tidak melaporkan SPT secara benar
Penjelasan yang tertuang dalam pasal 13 A UU No.28 tahun 2008 yang menyatakan bahwa: Wajib pajak yang kerana kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, tidak dikenai sanksi pidan apabila kealpaannya tersebut pertam kali dilakukan oleh wajib pajak dan wajib pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
1. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan oleh Dierjen Pajak
Pasal 39 ayat 1(e) yang berisi: Setiap orang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29.
1. Memperlihatkan pembukuan secara palsu
Pasal 39 ayat 1(f) yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya.
Sanksi yang dapat menjerat Paulus Tumewu:
1. Sanksi Pasal 39
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6(enam) bulan dan paling lama 6(enam) tahun dan denda paling sedikit 2(dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
1. Sanksi pasal 41c
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 35A ayat 1 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1(satu) tahun atau denda paling banyak 1 milyar rupiah.
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 35A ayat 1 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 bulan atau denda paling banyak 800 juta rupiah.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jendral Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 35A ayat 2 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 bulan atau denda paling banyak 800 juta rupiah.
Kejanggalan-kejanggalan dalam kasus Paulus Tumewu:
1. Nilai tunggakan pajak Paulus yang semula Rp. 399 milyar menciut menjadi Rp. 7,99 milyar, padahal belum ada SKP yang seharusnya dikeluarkan oleh Kantor Pajak Cabang Jakarta.
Pada saat Wajib Pajak terbukti melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak secara salah atau tidak benar maka harus ada penyidikan yang dilakukan oleh Kantor Dirjen Pajak untuk membuktikan adanya kesalahan pada penerbitan SPT. Setelah adanya penyelidikan baru diputuskan berapa pajak yang kurang dibayar beserta jumlah pajak yang harus dibayar dengan ditambah sanksi administrasi berupa denda dengan diterbitkannya Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Pada poin nomor satu jelas tertera bahwa pajak yang terutang oleh Paulus menciut tanpa adanya penyidikan terlebih dahulu. Ini berarti berupakan pelanggaran terhadap pasal Pasal 13 ayat 1(a) yang berisi: dalam jangka waktu lima tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak, Direktur Jendral Pajak dapat menerbitkan SKPKB apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
2. Kasus yang sudah P-21 (sudah selesai disidik) dan tinggal dilanjutkan ke tingkat penuntutan, tiba – tiba dihentikan, dan dinyatakan selesai.
3. Paulus dibebaskan berkaitan dengan adanya surat Menteri Keuangan No.SR-173/MK.03/2006 tertanggal 16 Oktober 2006 yang menyatakan bahwa:
1.Paulus Tumewu dikenakan Surat Ketetapan Pajak (SKP) kekurangan pembayaran PPh tahun 2004 sebesar Rp 7.994.617.750,00. Terhadap kekurangan utang pajak tersebut telah dilunasi tanggal 28 Nopember 2005.
2. Kedua, penyidikan kasus diatas telah lengkap (P-21), dengan demikian proses penyidikan telah selesai konsekwensi Paulus membayar tunggakan pajak besertadendanya.
Kalau menilik lebih lanjut terhadap proses penghentian penyidiakan, berarti Paulus Tumewu menggunakan pasal 44 B ayat 1 UU Pajak yang menyatakan bahwa untuk kepentingan negara, atas permintaan menteri keuangan, Jaksa Agung dapat menghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.Padahal menurut Ketentuan UU KUP Pasal 44 ayat (2) penghentian penyidikan sepenuhnya berada di tangan Kejaksaan Agung, dan hanya dapat dilakukan setelah yang bersangkutan melunasi denda sebesar empat kali pajak yang tidak atau kurang dibayar. Jadi, mestinya tidak ada penghentian penyidikan dan harus beralih menjadi penuntutan dan karena itu Pasal 44B UU KUP tidak lagi bisa berlaku. Dan ini juga diakui Sekjen Depkeu dalam nota dinas No. ND-594/SJ/2006
Jakarta – Komisi III DPR RI membongkar lagi penghentian kasus perpajakan Paulus Tumewu, bos Ramayana Group, yang juga melibatkan campur tangan Menkeu Sri Mulyani. Paulus yang disebut-sebut sebagai adik ipar Edi Tansil itu hanya bayar Pajak Penghasilan (PPh) 2004 sebesar Rp7,999 miliar dari dugaan tanggungan Rp 399 miliar.
Langkah ini dilakukan menyusul pengaduan Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI) kepada Komisi III DPR di Gedung Parlemen Jakarta, Selasa (20/4).
Anggota Komisi Hukum DPR, Ahmad Yani, menyatakan segara memanggil pihak-pihak terkait kasus ini. Antara lain kejaksaan, penyidik Benato Priyatno, Mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo dan Darmin Nasution, Menkeu Sri Mulyani, serta Marsilam Simanjuntak. ’’Semua kita panggil. Kita akan rumuskan dalam waktu dekat ini,’’ ujar Yani di Gedung Parlemen Jakarta.
APPI dalam pengaduannya mengatakan, Menkeu Sri Mulyani pernah memberikan disposisi kepada Kejaksaan Agung (Kejakgung) untuk menghentikan kasus pajak Paulus Tumewu, komisaris utama PT Ramayana Lestari Sentosa yang membawahi Ramayana dan Robinson Dep. Store.
Pada 31 Agustus 2005, Paulus ditangkap Polri bersama Ditjen Pajak karena diduga sengaja mengecilkan omzet Ramayana dan tidak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) dengan benar. Kerugian negara dari tidak dibayarnya Pajak Penghasilan (PPh) 2004 dengan benar itu sebesar Rp 399 miliar.
Sekjen APPI Sasmito Hadinagoro di hadapan Komisi III DPR mengatakan, penyidikan kasus itu sudah P21 (lengkap). Ketentuan menyatakan, Paulus harus didenda 4 kali dari Rp7,994 miliar. Namun Paulus Tumewu tidak membayar 4 kali, melainkan hanya Rp7,994 miliar saja.
Penasihat APPI Ichsanudin Noorsy menjelaskan, Paulus mempunyai omset penjualan kena pajak yang diduga sebesar Rp1,5 triliun. Sehingga beban pajaknya sekitar Rp399 miliar. Namun entah kenapa hanya Rp7,994 miliar yang menjadi beban pajaknya.
’’Kejaksaan menyatakan sudah dibayar Rp7,999 miliar dan dibayar 4 kali. Artinya tidak cocok dengan omset pajak. Mana Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang menyatakan dia cukup bayar Rp7,999 miliar. Itu kata kuncinya,’’ kata pengamat politik ini.
Dia melanjutkan, setelah terjadi pembayaran dari Paulus Tumewu, terjadilah surat menyurat permintaan penghentian kasus itu oleh Paulus sendiri. Pada 19 Oktober 2006 terdapat surat dari Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh kepada Menkeu. Isinya menanggapi surat Menkeu SR-173/MK./03/06 tertanggal 1 Oktober 2006 terkait penghentian penyidikan wajib pajak atas nama Paulus Tumewu.
Surat itu menyatakan Jaksa Agung setuju menghentikan penyidikan kasus pajak Paulus Tumewu atas perintah Menkeu. Jaksa Agung saat itu memberikan beberapa syarat, apabila penyelesaian sanksi administrasi berupa denda sebesar empat kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar telah dilunasi oleh wajib pajak bersangkutan, hendaknya dilaporkan ke kejaksaan untuk proses berikutnya.
Artinya, tambah Ichsanudin, sampai 19 Oktober 2006, Jaksa Agung tak mau menghentikan penyidikan. Pada 31 Oktober 2006 keluarlah surat dari JB Kristiadi atas nama Menkeu yang menyatakan Paulus telah melunasi seluruh kewajibannya. Paulus hanya membayar pada 28 November 2005, pokok pajaknya saja senilai Rp7,994 miliar.
’’Dasar kejaksaan menghentikan kasus Paulus adalah atas permintaan Menkeu setelah berbagai pembahasan oleh biro hukum di Perpajakan,’’ imbuh Ichsanudin.
Sasmito berharap DPR betul-betul mengusut big fish (ikan besar) di balik mafia pajak. ’’Sehubungan perintah Bapak SBY juga kepada satgas mafia hukum, agar satgas bisa mengungkap atau menangkap big fish, kami pun mengungkapnya. Juga terkait kongkalikong di bidang perpajakan ini,’’ tandasnya.
Menurut Sasmito, tindakannya membongkar kasus tersebut karena penerimaan pajak menopang lebih dari 60% APBN Indonesia. ’’Di APBN 2010 lebih dari Rp600 triliun diharapkan masuk dari pajak,’’ ujarnya.
Apalagi Paulus termasuk orang kaya di Indonesia. Pada 2009 menempati urutan ke-15 dari daftar 40 orang terkaya di Indonesia. Tahun ini, pengusaha retail itu berada di urutan ke-28 dengan total kekayaan 190 juta dollar AS (lebih dari Rp 171,38 miliar).
Kasus Pajak Paulus Tumewu
31 Agustus 2005:
Paulus Tumewu ditangkap Polri dan Ditjen Pajak. Dia diduga sengaja mengecilkan omzet Ramayana dan tak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) dengan benar.
Paulus diduga punya omzet kena pajak sebesar Rp1,5 triliun sehingga beban PPh pada 2004 sebesar Rp399 miliar. Kasus telah diproses hingga P21 (lengkap) dan Paulus didenda 4 kali Rp7,994 miliar
1 Oktober 2006:
Menkeu mengeluarkan SR-173/MK./03/06 kepada Jaksa Agung, mengajukan penghentian kasus pajak Paulus.
19 Oktober 2006:
Jaksa Agung menanggapi surat Menkeu, menyetujui penghentian kasus. Namun, Paulus harus tetap penuhi kewajiban bayar 4 kali Rp7,994 miliar.
31 Oktober 2006:
Keluar surat dari JB Kristiadi atas nama Menkeu yang menyatakan Paulus telah melunasi seluruh kewajibannya. Paulus hanya bayar pokok pajaknya Rp7,994 miliar pada 28 November 2005.
Sumber: Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia (APPI)
Paulus Orang Terkaya:
2009: Urutan ke-15 dari daftar 40 orang terkaya di Indonesia.
2010: Urutan ke-28 dengan total kekayaan 190 juta dollar AS (sekitar 1,748 triliun).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar