Peran saksi dan
korban sangat penting dalam pengungkapan suatu kejahatan. Dalam hal ini,
keterangan yang diberikan oleh saksi dan korban merupakan alat bukti yang
sangat diperlukan untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan menemukan kebenaran
materiel. Tidak dapat dipungkiri, selama ini penegak hukum seringkali menemukan
kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi dan korban. Banyak saksi dan
korban yang ketakutan karena mendapat ancaman serta intimidasi. Untuk itu,
perlu adanya perlindungan bagi saksi dan korban agar mereka dapat memberikan
keterangan dengan rasa aman. Saksi dan korban yang secara faktual tidak
bersalah, bahkan perlu diperhatikan dan memperoleh hak-hak yang dibutuhkannya,
seperti memperoleh bantuan medis, kompensasi, maupun restitusi. Selama ini,
penegakan hukum dan HAM di Indonesia terutama dalam sistem peradilan pidana
seringkali mengabaikan keberadaan saksi dan korban. Sebut saja, dalam hukum
acara pidana (KUHAP), saksi dan korban justru menjadi pihak yang terlupakan
karena sistem yang dibangun oleh hukum lebih berorientasi pada pelaku (offender oriented) dan belum
berorientasi pada korban (victim oriented).
Persoalan saksi
dan korban dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana adalah persoalan yang
sangat kompleks karena menyangkut persoalan sosial dan kemanusiaan serta dampak
yang luas. Secara asasi, setiap orang memiliki hak untuk memperoleh keadilan,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yaitu: “setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh
keadilan dengan cara mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan baik dalam
perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin
pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh
putusan yang adil dan benar.
Persoalan saksi
dan korban dalam hukum pidana dan sistem peradilan pidana adalah persoalan yang
sangat kompleks karena menyangkut persoalan sosial dan kemanusiaan serta dampak
yang luas. Secara asasi, setiap orang memiliki hak untuk memperoleh keadilan,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, yaitu: “setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh
keadilan dengan cara mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan baik dalam
perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin
pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh
putusan yang adil dan benar.”
Oleh karena itu,
sejatinya parameter keadilan dalam sistem peradilan pidana pun tidak melihat
pada seberapa berat pelaku dikenai pidana, tapi bagaimana saksi dan korban
dapat berperan aktif dalam proses peradilan serta memperoleh penyelesaian
kasusnya sesuai dengan apa yang menjadi haknya, artinya hak-hak saksi dan
korban dihormati dan dipenuhi.
Konsep Penegakan
Hukum dan HAM Saat ini Selama ini, hukum pidana (termasuk hukum acara pidana)
melupakan kepentingan saksi dan korban. Faktanya, pelaku tindak pidana selalu
menjadi satu-satunya orientasi serta ditempatkan sebagai satu-satunya pihak yang
berkepentingan dalam proses peradilan pidana. Pelaku dipahami sebagai pencari
keadilan yang berhadapan dengan negara karena telah melakukan pelanggaran
terhadap negara. Artinya, perbuatan pelaku itu semata-mata dipandang sebagai
perbuatan yang melanggar hak negara. Di sisi lain, saksi dan korban justru sama
sekali tidak dipandang sebagai pihak yang juga memiliki kepentingan karena
telah menderita kerugian akibat perbuatan pelaku dan telah berperan dalam
mengungkap kejahatan yang dilakukan pelaku.
Konsep tersebut
merupakan konsep hukum pidana menurut keadilan retributif, yang
orientasikeadilannya lebih ditujukan kepada pelanggar sebagai orang yang
melanggar hak negara. Dalam konsep ini, pidana dan pemidanaan dipahami sebagai
bentuk pembalasan atas perbuatanmelanggar hukum pidana. Sebagaimana dikemukakan
Mudzakkir, bahwa konsep yang demikian itu mempengaruhi keseluruhan cara kerja
peradilan pidana yang ditandai dengan:
1. tidak
dilibatkannya korban dalam proses peradilan pidana dan semua reaksi terhadap
pelanggar hukum pidana, menjadi monopoli negara dan kepentingan yang dilindungi
adalah kepentingan umum/negara;
2. peradilan
pidana diselenggarakan dalam rangka untuk mengadili tersangka karena
pelanggaran hukum pidana, dan pidana dijatuhkan kepada pelanggar berupa derita
sebagai balasan terhadap pelanggaran hukum pidana yang telah dilakukan
berdasarkan atas pertanggungjawaban karena kesalahannya (kesalahan dari sudut
moral);
3. berat
ringannya pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar merupakan parameter keadilan
yang ditujukan kepada (pribadi) pelanggar;
4. kerugian
yang diderita korban menjadi tanggung jawab korban sendiri, dan jika korban
berkeinginan meminta ganti kerugian kepada pelanggar harus ditempuh melalui
prosedur perdata karena masalah kerugian merupakan satu cakupan hukum perdata[1].
dalam Sistem
Peradilan Pidana Sebagaimana amanat Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban,
pemerintah harus segera membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Disebutkan pula bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban merupakan lembaga
yang mandiri. Sebagai lembaga yang mandiri, maka Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban tidak berada di bawah kekuasaan lembaga manapun (lembaga eksekutif,
legislatif, maupun judikatif).
Artinya, lembaga
atau pihak manapun tidak boleh melakukan campur tangan. Pilihan sebagai lembaga
mandiri ini, agaknya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menjadi Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban sebagai lembaga yang tidak dikuasai oleh
kepentingan-kepentingan sektoral manapun, tetapi sebagai lembaga yang
sungguhsungguh mampu mengabdi pada kepentingan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan
korban di Indonesia. Dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-undang Perlindungan
Saksi dan Korban, disebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah
lembaga yang bertugas dan berwenang memberikan perlindungan dan hak-hak lain
kepada saksi dan/atau korban.
Mencermati
karakteristik tugas dan kewenangan yang diemban Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban, maka Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban merupakan lembaga yang
berada dalam lingkup sistem peradilan pidana, khususnya dalam tahap penyidikan,
penuntutan, dan persidangan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sistem
peradilan pidana sejatinya menjadi sistem yang tidak saja berorientasi kepada
pelaku tetapi juga berorientasi kepada pihak korban ataupun saksi. Dalam
konteks ini, kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menjadi penting
dan perlu dibangun sedemikian rupa agar dalam menjalankan tugas, fungsi, dan
kewenangannya itu, dapat sinergis dengan fungsi maupun kewenangan lembaga
penegak hukum lainnya dalam sistem peradilan pidana. Praktis, ketentuan
mengenai kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat diatur lebih luas,
lebih rinci, dan jelas.
Sebagai lembaga
publik yang bersifat mandiri, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai
kewenangan dalam upaya perlindungan dan bantuan kepada para saksi dan korban
pada sistem peradilan pidana. Untuk itu, terlebih dahulu Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban harus mempunyai visi yang berorientasi pada cita hukum yang
luhur dan mewakili perasaan keadilan, terutama dalam mewujudkan asas kesamaan
di hadapan hukum bagi para pengungkap dan pencari keadilan. Visi Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban yang dipandang mewakili cita hukum dimaksud adalah: “Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban sebagai Lembaga yang Mampu Memberikan
Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Saksi dan Korban untuk Mendukung Bekerjanya
Sistem Peradilan Pidana Terpadu,“ dan misi Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban dalam mewujudkan visi tersebut adalah:
1. mewujudkan
kelembagaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang professional dalam
memberikan kepastian perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban
dalam proses peradilan pidana;
2. mewujudkan
perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi saksi dan korban dalam peradilan
pidana;
3. membangun
dan mengembangkan jejaring dengan berbagai pemangku kepentingan dalam rangka
pemenuhanhak saksi dan korban
4. memperkuat
landasan hukum dan kewenangan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban demi
pemenuhan hak-hak saksi dan korban.
[1] Mudzakkir, Viktimologi (studi
Kasus di Indonesia), Makalah, Penataran Nasional "Hukum Pidana dan
Kriminologi ke XI Tahun 2005", Fakultas Hukum Universitas Surabaya,
Surabaya, 13 – 16 Maret 2005