Home

5.02.2012

PERANAN WTO (World Trade Organization) DALAM MENGATUR PERDAGANGAN BAGI NEGARA BERKEMBANG DAN POSISI INDONESIA PASCA PUTARAN DOHA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kebutuhan suatu negara akan barang semakin bertambah pesat diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk yang ada di negara tersebut. Hal ini mengakibatkan negara akan melakukan suatu tindakan yaitu mengimpor kebutuhan daripada rakyatnya dalam memenuhi kebutuhan hidup di negara tersebut. Begitu juga dengan negara-negara lain yang kebutuhannya tidak terdapat di negara asalnya, maka darinya negara itu akan mengimpor kebutuhan negaranya dari negara lain. Mengenai kelebihan akan suatu produk baik itu barang, biasanya setiap negara akan mengekspor terhadap negara lain yang membutuhkannya. Kegiatan ekspor impor dapat berlangsung secara berkala apabila tidak ada pihak/ negara yang dirugikan. Untuk menjaga kegiatan ekspor impor secara berkala maka diperlukanlah suatu aturan yang tidak memberatkan kedua belah pihak. Dalam hal ini, hukum ekonomi internasional mempunyai peranan penting. Perkembangan hukum dalam ekonomi mengalami tingkat kemajuan serta peranannya sekarang semakin diperhatikan seiring dengan arus globalisasi ekonomi yang cepat.
Disamping itu, kemajuan daripada teknologi dan komunikasi memberikan efek terhadap aktifitas ekonomi yang tidak terbatas lagi oleh batas-batas negara.[1] Sehingga kawasan/ regional seperti ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) makin mengurangi ikatan batas-batas negara. Hal ini bukan berarti mengurangi kedaulatan suatu negara. Karena pada dasarnya, setiap negara mempunyai kedaulatannya masing-masing dalam menentukan kebijakan ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Namun perkembangan dewasa ini mengalami pergesaran dimana kedaulatan suatu negara menjadi berkurang pengertiannya manakala kedaulatan negara lain terganggu olehnya.
Terkhusus yang dibahas dalam makalah ini adalah mengenai kegiatan ekonomi yang spesifiknya mengenai kegiatan perdagangan barang dan jasa. Adapun organisasi ekonomi internasional yang mengatur tentang perdagangan barang dan jasa internasional adalah World Trade Organization (WTO).
World Trade Organization atau WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang dihasilkan dari Putaran Uruguay General Agreement on Tariffs and Trade atau GATT (1986 – 1994). Organisasi ini memiliki kedudukan yang unik karena ia berdiri sendiri dan terlepas dari badan kekhususan PBB. Pembentukan WTO ini merupakan realisasi dari cita – cita lama negara – negara pada waktu merundingkan GATT
pertama kali yaitu pada tahun 1948, yang hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan internasional bernama Internasional Trade Organization (ITO). Namun upaya atau usulan yang dilontarkan oleh Amerika Serikat, setelah mengalami beberapa tahun perundingan (1945 – 1948) mengalami hambatan, ternyata Kongres Amerika Serikat menolak menandatangani Piagam Pendirian ITO. Kebetulan pada waktu Piagam ITO dirancang di Konfrensi Jenewa, pada waktu yang bersamaan dirancang pula GATT.
WTO merupakam badan internasional yang dibentuk sebagai satu upaya untuk mendorong terciptanya liberalisasi perdagangan dan menghasilkan aturan-aturan perdagangan multilateral yang transparan, adil dan predictable. Anggota WTO saat ini telah mencapai 150 negara. Sejak berdirinya pada tanggal 1 Januari 1995, berbagai perundingan dan negosiasi telah dilaksanakan untuk menciptakan regulasi dalam suatu sistem perdagangan liberal oleh para anggotanya, termasuk Indonesia. Aktifnya WTO dalam menciptakan aturan perdagangan multilateral tercermin dengan lahirnya perundingan Pembangunan Doha atau Doha Development Agenda (DDA).
Struktur WTO dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang disebut Konferensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference) Badan ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua tahun. Badan ini terdiri dari para perwakilan semua negara anggota WTO. Semua keputusan mengenai kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan multilateral dilakukan melalui badan ini. Untuk pelaksanaan pekerjanya sehari – hari, badan tertinggi ini dibantu oleh badan – badan kelengkapan utama yaitu Dewan Umum (General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini bertugas memberikan laporan mengenai kegiatan – kegiatannya kepada the Ministerial Conference. General Council memiliki dua fungsi lainnya. Pertama, sebagai suatu Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body). Fungsi kedua, sebagai badan peninjau kebijakan perdagangan negara – negara anggota GATT (Trade Policy Review Body).
The Council for Trade in Goods bertugas mengawasi pelaksanaan dan bagaimana berfungsinya semua perjanjian mengenai perdagangan barang (Annex 1A Perjanjian WTO) meskipun sebetulnya untuk perjanjian – perjanjian tertentu umumnya mereka memiliki badan pengawasnya sendiri[2]. Dua dewan lainnya memiliki tanggung jawabnya masing – masing berkaitan dengan perjanjian WTO. Badan-badan tersebut dapat mendirikan badan – badan subsider lainnya ketika dipandang perlu.
Dalam membuat putusan, WTO melanjutkan praktik yang telah lama dilakukan dalam GATT, yaitu melalui konsensus. Namun dalam hal konsensus ini gagal, putusan akan diambil melalui pemungutan suara atau voting.[3]
Berdasarkan ulasan diatas maka penulis dalam makalah ini penulis ingin membicarakan mengenaiPERANAN WTO (World Trade Organization) DALAM MENGATUR PERDAGANGAN BARANG DAN POSISI INDONESIA PASCA PUTARAN DOHA

B.     Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka persoalan pokok yang menjadi kajian makalah ini terfokus pada 2 (dua)  masalah yaitu :
  1. Bagaimana peranan World Trade Organization (WTO) dalam mengatur perdagangan terhadap negara berkembang?
  2. Bagaimana posisi Indonesia pasca putaran Doha?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peranan WTO Dalam Perdagangan Barang Khususnya bagi Negara Berkembang
World Trade Organization (WTO) yang mengambil alih peranan GATT bertujuan memelihara sistem perdagangan internasional yang terbuka dan bebas. Organisasi ini dalam perdebatannya merupakan organisasi paling penting jika dibandingkan dengan organisasi internasional lainnya. Alasannya adalah WTO mempunyai misi yang sangat jelas tindakan serta aturan yang dikeluarkan berlaku sama bagi setiap negara anggota, tanpa membedakan negara berkembang atau maju.[4] Disamping itu WTO bertanggung jawab atas implementasi ketentuan multilateral tentang perdagangan internasional yang terdiri dari tiga perangkat hukum utama dan mekanisme penyelesaian sengketa yaitu :[5]
1.      General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang berlaku untuk perdagangan barang (trade in goods).
2.      General Agreement on Trade in Services (GATS) yang berlaku untuk perdagangan jasa (trade in services).
3.      Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).
4.      Dispute Settlement Understanding (DSU).
Perjanjian-perjanjian ini merupakan annex dari perjanjian pendirian WTO yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No 7 Tahun 1994 sehingga telah menjadi hukum nasional.
Konsep pemberian perlakuan khusus bagi negara berkembang telah dimulai sejak mulai berdirinya GATT 1947 dan mencapai puncaknya pada pertengahan 1950-an pada saat banyak negara-negara jajahan memperoleh kemerdekaannya. Ada dua jenis perlakuan khusus yaitu :[6] Pertama, akses atas pasar negara-negara kaya melalui perlakuan tarif khusus. Kedua, pengecualian terhadap ketentuan GATT. Selanjutnya banyak studi memperlihatkan bahwa beberapa faktor berikut memainkan peranan penting dalam menentukan respon suatu perekonomian terhadap kesempatan pasar.[7] Pertama, makro-ekonomi dan kebijakan sektoral. Kedua, dukungan sumber daya alam dan tenaga kerja. Ketiga, infrastruktur keuangan, teknologi, dan fisik. Keempat, institusi, penegakan hukum dan etika. Kelemahan-kelemahan tersebut tentunya dapat menghambat negara-negara berkembang beradaptasi dengan sistem multilateral. Dalam mengkaji kepentingan negara berkembang terhadap sistem perdagangan multilateral yang diatur dalam WTO dikaitkan dengan pandangan Duta Besar Uni Eropa Tran van Tinh yang menyatakan bahwa negara maju yang telah bergabung dalam Uni Eropa masih dapat berkembang tanpa sistem multilateral. Amerika Serikat dan Jepang juga memiliki sikap yang sama dengan Uni Eropa. [8]
Sementara itu, manfaat bagi negara berkembang yang diberikan oleh sistem hukum perdagangan  multilateral dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, dilihat dari kacamata eksportir dan kedua, dilihat dari sudut pandang importir.[9] Bagi eksportir, pada perdagangan barang, hampir seluruh tarif di negara-negara maju dan sebagian besar tarif di negara berkembang dan negara transisi ekonomi dipastikan tidak akan mengalami kenaikan. Kepastian tidak akan adanya kenaikan tarif ini akan memperluas akses pasar dan terdapat jaminan bahwa akses pasar tersebut tidak akan dirusak oleh pembatasan yang diterapkan secara mendadak oleh negara pengimpor. WTO juga memberikan stabilitas bagi pasar eksportir dengan mewajibkan setiap negara anggota menerapkan ketentuan yang seragam tentang perbatasan (border). Negara-negara juga wajib menjamin bahwa aturan main tentang kepabeanan seperti aturan tentang pemeriksaan barang atau izin impor. Adanya keseragaman dimaksud menimbulkan efisiensi bagi eksportir karena mengurangi banyaknya perbedaan persyaratan diperlakukan oleh masing-masing negara.
Bagi importir, yang mengimpor bahan mentah atau setengah jadi untuk diekspor, adanya ketentuan yang membolehkan melakukan impor tanpa adanya pembatasan kecuali tarif dan adanya keseragaman aturan akan menjamin kelangsungan usaha mereka. Aturan ini juga memberikan kepastian bagi importir bahwa mereka akan menerima barang pada waktunya dan dengan harga yang kompetitif. Disamping itu, adanya aturan tentang tarif yang mengikat membuat importir juga mengetahui dengan jelas berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengimpor suatu barang. Disamping itu, WTO menciptakan hak-hak tertentu yang berguna bagi anggota. Hak tersebut dapat dibagi dalam dua kategori. Pertama, hak produsen domestik dan importir terhadap pemerintah. Kedua, hak eksportir mempertahankan kepentingannya terhadap tindakan yang diambil oleh negara pengimpor yang merugikan.

B.     Putaran Perundingan Doha
Konferensi Tingkat Menteri pertama kali diselenggarakan di Singapura pada tahun 1996, kedua diselenggarakan di Jenewa tahu 1998, ketiga diselenggarakan di Seattle tahun 1999, keempat diselenggarakan di Doha, Qatar tahun 2001, kelima diselenggarakan di Cancun, Mexico tahun 2003 dan yang terakhir di Hong Kong tahun 2005. KTM ke-4 yang berlangsung pada tanggal 9 – 14 November 2001 dihadiri oleh 142 negara. Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi Menteri (Deklarasi Doha) yang menandai diluncurkannya putaran perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu – isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI), Penyelesaian sengketa dan peraturan WTO. Deklarasi Doha juga telah memberikan mandat kepada para anggota WTO untuk melakukan negosiasi di berbagai bidang, termasuk isu – isu yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan yang ada. Perundingan dilaksanakan di Komite Perundingan Perdagangan (Trade Negotiations Committee/TNC) dan badan – badan dibawahnya (subsidiaries body). Selebihnya dilakukan melalui program kerja yang dilaksanakan oleh Council dan Committees yang ada di WTO[10].
Keputusan – keputusan yang telah dihasilkan KTM IV ini dikenal pula dengan sebutan “Agenda Pembangunan Doha” (Doha Development Agenda) mengingat didalamnya termuat isu – isu pembangunan yang menjadi kepentingan negara – negara berkembang terbelakang (least-developed countries/LDCs), seperti : kerangka kerja kegiatan bantuan teknik WTO, program kerja bagi negara-negara terbelakang, dan program – program kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara-negara kecil ke dalam WTO.
Keputusan lain yang penting bagi negara – negara berkembang adalah disetujuinya pembentukan 2 kelompok kerja, yaitu Kelompok Kerja Hutang dan Keuangan serta Kelompok Kerja Alih Teknologi. Deklarasi juga memberikan akses duty-free dan quota-free untuk produk – produk yang berasal dari negara – negara berkembang terbelakang. Mengenai “perlakuan khusus dan berbeda” (special and differential treatment), Deklarasi tersebut telah mencatat proposal negara berkembang untuk merundingkan Persetujuan mengenai Perlakuan Khusus dan Berbeda (Framework Agreement of Special and Differential Treatment/S&D), namun tidak mengusulkan suatu tindakan konkret mengenai isu akan ditinjau kembali agar lebih efektif dan operasional[11].
Sejak dicanangkannya Doha Development Agenda (DDA), perundingan Putaran Doha telah mengalami banyak pasang surut yang ditandai dengan beberapa kali kemacetan sebagai akibat timbulnya perbedaan yang tajam antara negara – negara kunci dalam perundingan isu – isu contentions, khususnya Pertanian, Non Agricultural Market Access (NAMA) dan jasa. Selain itu, perundingan untuk membahas penekanan aspek pembangunan sebagaimana dimandatkan dalam Doha Development Agenda juga sangat lamban dan sering mengalami berbagai kebuntuan. Kebuntuan ini disebabkan karena besarnya kepentingan ekonomi negara – negara (baik berkembang maupun maju) terhadap isu – isu pertanian, NAMA, jasa dan pembangunan. Kondisi ini merupakan salah satu faktor utama sulitnya negara – negara anggota, khususnya negara – negara kunci dalam perundingan WTO, untuk merubah posisi pada keempat isu tersebut secara substansial yang pada gilirannya berujung pada macetnya perundinganPutaran Doha[12].

C.    Posisi Indonesia dalam Putaran Perundingan Doha
  1. Pertanian
Isu yang paling banyak diangkat dalam perundingan ini adalah mengenai isu pertanian. Perundingan di sektor pertanian meliputi 3 (tiga) isu utama, yaitu Akses Pasar, Subsidi Ekspor dan Subsidi Domestik. Selain tiga isu utama tersebut, perundingan juga membahas isu special and differential treatment yang bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi negara-negara berkembang  khususnya dalam mengatasi masalah food security, rural development, dan poverty alleviation.  Peta posisi masing – masing negara secara umum terbagi atas 4 (empat) kelompok, antara lain :
Ø  Kelompok AS dan EC, yang ingin mempertahankan pemberian subsidi yang berlebihan kepada petaninya dan mengupayakan agar negara berkembang membuka pasarnya.
Ø  Kelompok G-10 terdiri dari Swiss, Jepang, Norwegia, Korea, Maritius dan Israel, yang ingin mempertahankan pemberian subsidi bagi petaninya, namun tidak ingin membuka pasar negara. Kelompok ini tidak agresif dalam usaha membuka pasar negara berkembang.
Ø  Kelompok G-20 dan Cairns Group, yang berusaha menghapuskan seluruh subsidi yang diberikan oleh negara – negara maju dan meliberalisasi perdagangan di bidang pertanian.
Ø  Kelompok G-33 dikoordinasi oleh Indonesia, yang berusaha agar produk pertanian tertentu dari negara berkembang dikecualikan dari liberalisasi. Kelompok ACP, LDC dan Afrika, ingin agar preference yang diberikan oleh negara – negara maju tetap dipertahankan.
Kepentingan utama Indonesia yaitu Special Product (SP), Special Mechanism (SSM), dan subsidi kategori de minimis framework Annex A dalam keputusan Dewan Umum WTO, telah banyak mengakomodasi kepentingan negara berkembang. Untuk itu isu – isu tersebut bahasa yang digunakan dalam Annex A, telah banyak disesuaikan dengan proposal dan permintaan Indonesia serta Kelompok G-33 yang dikoordinir oleh Indonesia[13].
Perundingan sektor pertanian tetap menjadi isu perundingan yang mendapatkan sorotan utama dari seluruh negara anggota mengingat masih terdapatnya pertentangan antara negara berkembang dan negara maju pada ketiga pilar perundingan pertanian. Sebagai Koordinator G-33, Indonesia memainkan peran yang sangat krusial dalam perundingan sektor ini.
Di bidang akses pasar, usulan Indonesia atau G-33 agar negara berkembang diberikan fleksibilitas dalam menetapkan beberapa tariff lines sebagai SPs yang didasarkan pada indikator yang terkait dengan food security, livehoo security and rural development needs, telah disepakati. Negara – negara berkembang juga menggunakan volume trigger dan price trigger untuk mengatasi banyaknya impor. Dengan demikian upaya Indonesia untuk menggolkan konsep SP dan SSM yang lebih menguntungkan negara berkembang telah diterima oleh negara anggota lainnya[14].

2.      Akses Pasar untuk Produk non Pertanian (Non Agricultural Market Access / NAMA)
Perundingan Akses Pasar untuk produk non pertanian diwarnai dengan tingkat ambisi yang berbeda – beda. Negara – negara maju dan beberapa negara berkembang memiliki tingkat ambisi yang tinggi dan menghendaki agar perundingan berdampak kepada penurunan drastis bahkan penghapusan tariff dunia. Sedangkan sebagian besar negara berkembang memiliki tingkat ambisi yang lebih moderat, sehingga mereka menghendaki hasil perundingan tidak menurunkan tarif secara drastis. Salah satu isu penting yang masih menjadi kendala dalam proses perundingan Akses Pasar untuk produk non pertanian adalah formula penurunan tarif yang akan digunakan. Apakah akan menggunakan penurunan tarif secara linear seperti yang diusulkan negara berkembang, atau menggunakan penurunan tarif secara terbuka seperti yang diusulkan negara maju[15].
Pada KTM VI di Hong Kong, dalam perundingan akses pasar produk nonpertanian (NAMA), Indonesia termasuk kedalam kelompok NAMA 11 sebagai kelompok kunci perundingan sektor NAMA tetap konsisten dalam mengupayakan fleksibilitas bagi negara berkembang dalam modalitas perundingan NAMA. Negara berkembang dalam hal ini mendapatkan jangka waktu implementasi penurunan tarif yang lebih lama, pengecualian produk tertentu dari formula penurunan tarif dan pemberlakuan status unbound untuk sejumlah produk tertentu.
Mengenai penurunan tarif sektoral, negara anggota menyepakati prinsip penurunan tarif sektoral yang sejalan dengan posisi Indonesia yang menolak penurunan tarif sektoral secara mandatory. Selanjutnya, negara anggota juga menyepakati mekanisme penanganan hambatan non tarif dan perlakuan terhadap unbound tariff. Modalitas di bidang NAMA harus diselesaikan paling palmbat tanggal 30 April 2006 dan draft jadwal yang komprehensif berdasarkan modalitas harus disampaikan paling lambat tanggal 31 Juli 2006[16].

3.      Jasa
Perundingan jasa di WTO merupakan hasil perundingan Putaran Uruguay yang berlangsung sejak 1986 hingga 1993. Perundingan jasa merupakan salah satu isu yang menjadi perdebatan sengit antara kelompok negara maju dan negara berkembang, dimana negara maju dengan tingkat ambisi yang tinggi menuntut negara berkembang untuk membuka akses pasar atau membuat komitmen yang lebih besar dari tingkat komitmen yang telah ada. Hal ini mendapatkan tantangan sangat keras dari kelompok negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan argumentasi bahwa liberalisasi yang lebih luas harus didasarkan kepada fleksibilitas, tingkat pertumbuhan ekonomi dan sektor yang merupakan kepentingan masing – masing negara serta prioritas kebijakan pembangunan nasional.
Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-4 di Doha yang menghasilkan Deklarasi Doha, telah memberikan pengaruh cukup besar dalam perkembangan perundingan sektor jasa. Pertama, Deklarasi Doha memasukkan mandat mengenai perdagangan sektir jasa – jasa dalam suatu program kerja yang lebih luas dan dalam suatu rangkaian perundingan yang harus diselesaikan sebelum Januari 2005. Kedua, Deklarasi Doha menetapkan batas waktu penyampaian initial request dan initial offers[17].
Saat ini Indonesia sedang mempersiapkan initial offers, yang kemungkinan besar akan disampaikan kepada WTO pada tahun 2005. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia mempunyai waktu untuk menganalisa substansi dan cakupan initial offers-nya, yang akan dibahas bersama bersama negara – negara mitra runding dalam berbagai pertemuan bilateral pada sidang jasa bulan Februari 2005.

BAB III

A.    Kesimpulan
Dengan bergabung ke dalam organisasi internasional seperti WTO, negara-negara berkembang secara bersama dapat menghadapi negara maju. Dengan kata lain, lebih mudah menghadapi negara maju secara multilateral daripada menghadapi secara bilateral. Dengan WTO negara-negara berkembang dapat memindahkan sengketa dan policy marking ke prosedur multilateral WTO dalam mengurangi tekanan unilateral negara maju.Dengan bergabung ke dalam organisasi internasional seperti WTO, negara-negara berkembang dapat membuka akses pasar untuk barang ekspor. Jikalau terjadi sengketa antara negara maju dan negara berkembang, negara berkembang dapat meminta agar paling tidak satu panelis berasal dari negara berkembang.
Seperti yang telah dipaparkan dalam tulisan ini, bahwa Indonesia telah menjadi anggota dari Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Ada manfaat yang dapat dirasakan oleh Indonesia sebagai anggota dari WTO dan adapula kerugian mengikuti organisasi ini, terlebih Indonesia masih merupakan negara berkembang yang belum kuat stabilitas perekonomiannya. Meskipun demikian bukan berarti posisi Indonesia lemah di dalam WTO, hal ini bisa dilihat dari peran aktif Indonesia dalam Putaran Perundingan Doha. Indonesia adalah koordinator dalam kelompok G-33 banyak mengajuka usulan – usulan di berbagai sektor penting seperti sektor pertanian, Akses Pasar Produk Non-Pertanian (NAMA) yaitu dengan mengupayakan pemberian fleksibilitas dalam menetapkan tariff lines. Indonesia yang termasuk ke dalam kelompok NAMA 11, kelompok kunci dalam perundingan, konsisten mengupayakan fleksibilitas bagi negara berkembang dalam modalitas perundingan NAMA. Hingga negara berkembang mendapatkan jangka waktu implementasi penurunan tarif yang lebih lama, pengecualian produk tertentu dari formula penurunan tariff dan pemberlakuan status unbound untuk sejumlah produk tertentu.
Pada isu pembangunan, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang terlibat dalam pembahasan di bidang “Green Room” tetap berupaya memberikan kontribusinya dengan menyampaikan perbaikan teks, yang memberikan penekanan lebih besar terhadap komitmen negara maju terhadap negara berkembang termasuk least-developed countries (LDCs). Secara umum, kepentingan negara – negara berkembang banyak terakomodasi dalam Keputusan Dewan Umum WTO tersebut, khususnya pada sektor pertanian dan hal ini sudah merupakan suatu kemajuan yang cukup berarti dalam upaya membentuk suatu sistem perdagangan produk pertanian yang lebih seimbang.
DAFTAR PUSTAKA

Bernard Hoekman dan Michel Kostecki, The Political Economy of the World Trading System From GATT to WTO, Oxford University Press, 1996.
Gamani Corea, United Nations Conference on Trade and Development, Encyclopedia of Public International Law, Instalment 5, 1983.
H. S. Kartadjoemena, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round, UI Press, Jakarta, 1997.
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Keni Media, Bandung, 2011.
__________ “,Perdagangan Internasional, Bandung : PT. Raja Grafindo Persada, 2004
Trade Post, The Economist, March 11-17 1995.
United Nations Conference on Trade and Development, Strengthening the Participation of Developing Countries in World Trade and the Multilateral Trading System, Geneva, 1996.
Zulkarnain Sitompul, Masih Perlukah WTO bagi Negara Berkembang, Jurnal Hukum, Medan, 2005.


[1]  Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Keni Media, Bandung, 2011 hlm. 1
[2] Huala Adolf Hukum Perdagangan Internasional, Bandung : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm 37
[3] Ibid, hlm 38
[4]  Trade Post, The Economist, March 11-17 1995, hlm. 15
[5]  Zulkarnain Sitompul, Masih Perlukah WTO bagi Negara Berkembang, Jurnal Hukum, Medan, 2005, hlm. 50
[6]  Bernard Hoekman dan Michel Kostecki, The Political Economy of the World Trading System From GATT to WTO, Oxford University Press, 1996, hlm. 235
[7]  United Nations Conference on Trade and Development, Strengthening the Participation of Developing Countries in World Trade and the Multilateral Trading System, Geneva, 1996, hlm. 20
[8]  H. S. Kartadjoemena, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round, UI Press, Jakarta, 1997, hlm.338
[9]  Zulkarnain Sitompul, op.cit, hlm. 56
[10] Mochamad Slamet Hidayat Sekilas Tentang WTO (World Trade Organization). Jakarta : Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI, Direktorat Jendral Multilateral Departemen Luar Negeri hlm 70
[11] Ibid.
[12] Ibid, hlm 76
[13]  Ibid, hlm 82
[14] Ibid, hlm 86
[15] Ibid, hlm 77
[16] Ibid, Hlm 87
[17] Ibid, Hlm 84

Tidak ada komentar:

Posting Komentar