BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan suatu
negara akan barang semakin bertambah pesat diikuti dengan pertambahan jumlah
penduduk yang ada di negara tersebut. Hal ini mengakibatkan negara akan
melakukan suatu tindakan yaitu mengimpor kebutuhan daripada rakyatnya dalam
memenuhi kebutuhan hidup di negara tersebut. Begitu juga dengan negara-negara
lain yang kebutuhannya tidak terdapat di negara asalnya, maka darinya negara
itu akan mengimpor kebutuhan negaranya dari negara lain. Mengenai kelebihan
akan suatu produk baik itu barang, biasanya setiap negara akan mengekspor
terhadap negara lain yang membutuhkannya. Kegiatan ekspor impor dapat
berlangsung secara berkala apabila tidak ada pihak/ negara yang dirugikan.
Untuk menjaga kegiatan ekspor impor secara berkala maka diperlukanlah suatu
aturan yang tidak memberatkan kedua belah pihak. Dalam hal ini, hukum ekonomi
internasional mempunyai peranan penting. Perkembangan hukum dalam ekonomi
mengalami tingkat kemajuan serta peranannya sekarang semakin diperhatikan
seiring dengan arus globalisasi ekonomi yang cepat.
Disamping itu,
kemajuan daripada teknologi dan komunikasi memberikan efek terhadap aktifitas
ekonomi yang tidak terbatas lagi oleh batas-batas negara.[1]
Sehingga kawasan/ regional seperti ASEAN (Association
of Southeast Asian Nations) makin mengurangi ikatan batas-batas negara. Hal
ini bukan berarti mengurangi kedaulatan suatu negara. Karena pada dasarnya,
setiap negara mempunyai kedaulatannya masing-masing dalam menentukan kebijakan
ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Namun perkembangan dewasa ini mengalami
pergesaran dimana kedaulatan suatu negara menjadi berkurang pengertiannya
manakala kedaulatan negara lain terganggu olehnya.
Terkhusus yang
dibahas dalam makalah ini adalah mengenai kegiatan ekonomi yang spesifiknya
mengenai kegiatan perdagangan barang dan jasa. Adapun organisasi ekonomi
internasional yang mengatur tentang perdagangan barang dan jasa internasional
adalah World Trade Organization
(WTO).
World Trade
Organization atau WTO adalah organisasi perdagangan dunia yang dihasilkan dari
Putaran Uruguay General Agreement on Tariffs and Trade atau GATT (1986 – 1994).
Organisasi ini memiliki kedudukan yang unik karena ia berdiri sendiri dan
terlepas dari badan kekhususan PBB. Pembentukan WTO ini merupakan realisasi
dari cita – cita lama negara – negara pada waktu merundingkan GATT
pertama kali
yaitu pada tahun 1948, yang hendak mendirikan suatu organisasi perdagangan
internasional bernama Internasional Trade Organization (ITO). Namun upaya atau
usulan yang dilontarkan oleh Amerika Serikat, setelah mengalami beberapa tahun
perundingan (1945 – 1948) mengalami hambatan, ternyata Kongres Amerika Serikat
menolak menandatangani Piagam Pendirian ITO. Kebetulan pada waktu Piagam ITO
dirancang di Konfrensi Jenewa, pada waktu yang bersamaan dirancang pula GATT.
WTO merupakam
badan internasional yang dibentuk sebagai satu upaya untuk mendorong
terciptanya liberalisasi perdagangan dan menghasilkan aturan-aturan perdagangan
multilateral yang transparan, adil dan predictable. Anggota WTO saat ini telah
mencapai 150 negara. Sejak berdirinya pada tanggal 1 Januari 1995, berbagai
perundingan dan negosiasi telah dilaksanakan untuk menciptakan regulasi dalam
suatu sistem perdagangan liberal oleh para anggotanya, termasuk Indonesia. Aktifnya
WTO dalam menciptakan aturan perdagangan multilateral tercermin dengan lahirnya
perundingan Pembangunan Doha atau Doha Development Agenda (DDA).
Struktur WTO
dikepalai oleh suatu badan tertinggi yang disebut Konferensi Tingkat Menteri
(Ministerial Conference) Badan ini akan bersidang sedikitnya sekali dalam dua
tahun. Badan ini terdiri dari para perwakilan semua negara anggota WTO. Semua
keputusan mengenai kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan multilateral
dilakukan melalui badan ini. Untuk pelaksanaan pekerjanya sehari – hari, badan
tertinggi ini dibantu oleh badan – badan kelengkapan utama yaitu Dewan Umum
(General Council) yang terdiri dari semua anggota WTO. Badan ini bertugas memberikan
laporan mengenai kegiatan – kegiatannya kepada the Ministerial Conference.
General Council memiliki dua fungsi lainnya. Pertama, sebagai suatu Badan
Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body). Fungsi kedua, sebagai badan
peninjau kebijakan perdagangan negara – negara anggota GATT (Trade Policy Review
Body).
The Council for
Trade in Goods bertugas mengawasi pelaksanaan dan bagaimana berfungsinya semua
perjanjian mengenai perdagangan barang (Annex 1A Perjanjian WTO) meskipun sebetulnya
untuk perjanjian – perjanjian tertentu umumnya mereka memiliki badan
pengawasnya sendiri[2]. Dua
dewan lainnya memiliki tanggung jawabnya masing – masing berkaitan dengan
perjanjian WTO. Badan-badan tersebut dapat mendirikan badan – badan subsider lainnya
ketika dipandang perlu.
Dalam membuat
putusan, WTO melanjutkan praktik yang telah lama dilakukan dalam GATT, yaitu
melalui konsensus. Namun dalam hal konsensus ini gagal, putusan akan diambil
melalui pemungutan suara atau voting.[3]
Berdasarkan
ulasan diatas maka penulis dalam makalah ini penulis ingin membicarakan
mengenai “PERANAN
WTO (World Trade Organization) DALAM MENGATUR PERDAGANGAN BARANG DAN POSISI
INDONESIA PASCA PUTARAN DOHA”
B. Identifikasi
Masalah
Berdasarkan
uraian tersebut diatas, maka persoalan pokok yang menjadi kajian makalah ini
terfokus pada 2 (dua) masalah yaitu :
- Bagaimana peranan World Trade Organization (WTO) dalam mengatur perdagangan terhadap negara berkembang?
- Bagaimana posisi Indonesia pasca putaran Doha?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peranan WTO
Dalam Perdagangan Barang Khususnya bagi Negara Berkembang
World
Trade Organization (WTO) yang mengambil alih peranan
GATT bertujuan memelihara sistem perdagangan internasional yang terbuka dan
bebas. Organisasi ini dalam perdebatannya merupakan organisasi paling penting
jika dibandingkan dengan organisasi internasional lainnya. Alasannya adalah WTO
mempunyai misi yang sangat jelas tindakan serta aturan yang dikeluarkan berlaku
sama bagi setiap negara anggota, tanpa membedakan negara berkembang atau maju.[4]
Disamping itu WTO bertanggung jawab atas implementasi ketentuan multilateral
tentang perdagangan internasional yang terdiri dari tiga perangkat hukum utama
dan mekanisme penyelesaian sengketa yaitu :[5]
1. General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT) yang berlaku untuk
perdagangan barang (trade in goods).
2. General Agreement on
Trade in Services (GATS) yang berlaku untuk
perdagangan jasa (trade in services).
3. Agreement on
Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPS).
4. Dispute Settlement
Understanding (DSU).
Perjanjian-perjanjian
ini merupakan annex dari perjanjian pendirian WTO yang telah diratifikasi
melalui Undang-Undang No 7 Tahun 1994 sehingga telah menjadi hukum nasional.
Konsep pemberian
perlakuan khusus bagi negara berkembang telah dimulai sejak mulai berdirinya
GATT 1947 dan mencapai puncaknya pada pertengahan 1950-an pada saat banyak
negara-negara jajahan memperoleh kemerdekaannya. Ada dua jenis perlakuan khusus
yaitu :[6]
Pertama, akses atas pasar negara-negara kaya melalui perlakuan tarif khusus.
Kedua, pengecualian terhadap ketentuan GATT. Selanjutnya banyak studi
memperlihatkan bahwa beberapa faktor berikut memainkan peranan penting dalam
menentukan respon suatu perekonomian terhadap kesempatan pasar.[7]
Pertama, makro-ekonomi dan kebijakan sektoral. Kedua, dukungan sumber daya alam
dan tenaga kerja. Ketiga, infrastruktur keuangan, teknologi, dan fisik.
Keempat, institusi, penegakan hukum dan etika. Kelemahan-kelemahan tersebut
tentunya dapat menghambat negara-negara berkembang beradaptasi dengan sistem
multilateral. Dalam mengkaji kepentingan negara berkembang terhadap sistem
perdagangan multilateral yang diatur dalam WTO dikaitkan dengan pandangan Duta
Besar Uni Eropa Tran van Tinh yang menyatakan bahwa negara maju yang telah
bergabung dalam Uni Eropa masih dapat berkembang tanpa sistem multilateral.
Amerika Serikat dan Jepang juga memiliki sikap yang sama dengan Uni Eropa. [8]
Sementara itu,
manfaat bagi negara berkembang yang diberikan oleh sistem hukum perdagangan multilateral dapat dilihat dari dua
perspektif. Pertama, dilihat dari kacamata eksportir dan kedua, dilihat dari
sudut pandang importir.[9]
Bagi eksportir, pada perdagangan barang, hampir seluruh tarif di negara-negara
maju dan sebagian besar tarif di negara berkembang dan negara transisi ekonomi
dipastikan tidak akan mengalami kenaikan. Kepastian tidak akan adanya kenaikan
tarif ini akan memperluas akses pasar dan terdapat jaminan bahwa akses pasar
tersebut tidak akan dirusak oleh pembatasan yang diterapkan secara mendadak
oleh negara pengimpor. WTO juga memberikan stabilitas bagi pasar eksportir
dengan mewajibkan setiap negara anggota menerapkan ketentuan yang seragam
tentang perbatasan (border).
Negara-negara juga wajib menjamin bahwa aturan main tentang kepabeanan seperti
aturan tentang pemeriksaan barang atau izin impor. Adanya keseragaman dimaksud
menimbulkan efisiensi bagi eksportir karena mengurangi banyaknya perbedaan
persyaratan diperlakukan oleh masing-masing negara.
Bagi importir,
yang mengimpor bahan mentah atau setengah jadi untuk diekspor, adanya ketentuan
yang membolehkan melakukan impor tanpa adanya pembatasan kecuali tarif dan
adanya keseragaman aturan akan menjamin kelangsungan usaha mereka. Aturan ini
juga memberikan kepastian bagi importir bahwa mereka akan menerima barang pada
waktunya dan dengan harga yang kompetitif. Disamping itu, adanya aturan tentang
tarif yang mengikat membuat importir juga mengetahui dengan jelas berapa biaya
yang harus dikeluarkan untuk mengimpor suatu barang. Disamping itu, WTO
menciptakan hak-hak tertentu yang berguna bagi anggota. Hak tersebut dapat
dibagi dalam dua kategori. Pertama, hak produsen domestik dan importir terhadap
pemerintah. Kedua, hak eksportir mempertahankan kepentingannya terhadap
tindakan yang diambil oleh negara pengimpor yang merugikan.
B.
Putaran
Perundingan Doha
Konferensi
Tingkat Menteri pertama kali diselenggarakan di Singapura pada tahun 1996,
kedua diselenggarakan di Jenewa tahu 1998, ketiga diselenggarakan di Seattle
tahun 1999, keempat diselenggarakan di Doha, Qatar tahun 2001, kelima
diselenggarakan di Cancun, Mexico tahun 2003 dan yang terakhir di Hong Kong
tahun 2005. KTM ke-4 yang berlangsung pada tanggal 9 – 14 November 2001
dihadiri oleh 142 negara. Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi
Menteri (Deklarasi Doha) yang menandai diluncurkannya putaran perundingan baru
mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu –
isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI), Penyelesaian sengketa
dan peraturan WTO. Deklarasi Doha juga telah memberikan mandat kepada para
anggota WTO untuk melakukan negosiasi di berbagai bidang, termasuk isu – isu
yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan yang ada. Perundingan
dilaksanakan di Komite Perundingan Perdagangan (Trade Negotiations
Committee/TNC) dan badan – badan dibawahnya (subsidiaries body). Selebihnya
dilakukan melalui program kerja yang dilaksanakan oleh Council dan Committees
yang ada di WTO[10].
Keputusan –
keputusan yang telah dihasilkan KTM IV ini dikenal pula dengan sebutan “Agenda
Pembangunan Doha” (Doha Development Agenda) mengingat didalamnya termuat isu –
isu pembangunan yang menjadi kepentingan negara – negara berkembang terbelakang
(least-developed countries/LDCs), seperti : kerangka kerja kegiatan bantuan
teknik WTO, program kerja bagi negara-negara terbelakang, dan program – program
kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara-negara kecil ke dalam WTO.
Keputusan lain
yang penting bagi negara – negara berkembang adalah disetujuinya pembentukan 2
kelompok kerja, yaitu Kelompok Kerja Hutang dan Keuangan serta Kelompok Kerja
Alih Teknologi. Deklarasi juga memberikan akses duty-free dan quota-free untuk
produk – produk yang berasal dari negara – negara berkembang terbelakang. Mengenai
“perlakuan khusus dan berbeda” (special and differential treatment), Deklarasi
tersebut telah mencatat proposal negara berkembang untuk merundingkan
Persetujuan mengenai Perlakuan Khusus dan Berbeda (Framework Agreement of
Special and Differential Treatment/S&D), namun tidak mengusulkan suatu
tindakan konkret mengenai isu akan ditinjau kembali agar lebih efektif dan
operasional[11].
Sejak
dicanangkannya Doha Development Agenda (DDA), perundingan Putaran Doha telah
mengalami banyak pasang surut yang ditandai dengan beberapa kali kemacetan
sebagai akibat timbulnya perbedaan yang tajam antara negara – negara kunci
dalam perundingan isu – isu contentions, khususnya Pertanian, Non Agricultural
Market Access (NAMA) dan jasa. Selain itu, perundingan untuk membahas penekanan
aspek pembangunan sebagaimana dimandatkan dalam Doha Development Agenda juga
sangat lamban dan sering mengalami berbagai kebuntuan. Kebuntuan ini disebabkan
karena besarnya kepentingan ekonomi negara – negara (baik berkembang maupun
maju) terhadap isu – isu pertanian, NAMA, jasa dan pembangunan. Kondisi ini
merupakan salah satu faktor utama sulitnya negara – negara anggota, khususnya
negara – negara kunci dalam perundingan WTO, untuk merubah posisi pada keempat
isu tersebut secara substansial yang pada gilirannya berujung pada macetnya
perundinganPutaran Doha[12].
C.
Posisi
Indonesia dalam Putaran Perundingan Doha
- Pertanian
Isu yang paling banyak diangkat
dalam perundingan ini adalah mengenai isu pertanian. Perundingan di sektor
pertanian meliputi 3 (tiga) isu utama, yaitu Akses Pasar, Subsidi Ekspor dan
Subsidi Domestik. Selain tiga isu utama tersebut, perundingan juga membahas isu
special and differential treatment yang bertujuan untuk memberikan
fleksibilitas bagi negara-negara
berkembang khususnya dalam mengatasi
masalah food security, rural development, dan poverty alleviation. Peta
posisi masing – masing negara secara umum terbagi atas 4 (empat) kelompok,
antara lain :
Ø Kelompok
AS dan EC, yang ingin mempertahankan pemberian subsidi yang berlebihan kepada
petaninya dan mengupayakan agar negara berkembang membuka pasarnya.
Ø Kelompok
G-10 terdiri dari Swiss, Jepang, Norwegia, Korea, Maritius dan Israel, yang
ingin mempertahankan pemberian subsidi bagi petaninya, namun tidak ingin
membuka pasar negara. Kelompok ini tidak agresif dalam usaha membuka pasar
negara berkembang.
Ø Kelompok
G-20 dan Cairns Group, yang berusaha menghapuskan seluruh subsidi yang
diberikan oleh negara – negara maju dan meliberalisasi perdagangan di bidang
pertanian.
Ø Kelompok
G-33 dikoordinasi oleh Indonesia, yang berusaha agar produk pertanian tertentu
dari negara berkembang dikecualikan dari liberalisasi. Kelompok ACP, LDC dan
Afrika, ingin agar preference yang diberikan oleh negara – negara maju tetap dipertahankan.
Kepentingan utama
Indonesia yaitu Special Product (SP), Special Mechanism (SSM), dan subsidi
kategori de minimis framework Annex A dalam keputusan Dewan Umum WTO, telah
banyak mengakomodasi kepentingan negara berkembang. Untuk itu isu – isu
tersebut bahasa yang digunakan dalam Annex A, telah banyak disesuaikan dengan
proposal dan permintaan Indonesia serta Kelompok G-33 yang dikoordinir oleh
Indonesia[13].
Perundingan
sektor pertanian tetap menjadi isu perundingan yang mendapatkan sorotan utama
dari seluruh negara anggota mengingat masih terdapatnya pertentangan antara
negara berkembang dan negara maju pada ketiga pilar perundingan pertanian.
Sebagai Koordinator G-33, Indonesia memainkan peran yang sangat krusial dalam
perundingan sektor ini.
Di bidang akses
pasar, usulan Indonesia atau G-33 agar negara berkembang diberikan
fleksibilitas dalam menetapkan beberapa tariff lines sebagai SPs yang didasarkan
pada indikator yang terkait dengan food security, livehoo security and rural
development needs, telah disepakati. Negara – negara berkembang juga menggunakan
volume trigger dan price trigger untuk mengatasi banyaknya impor. Dengan
demikian upaya Indonesia untuk menggolkan konsep SP dan SSM yang lebih
menguntungkan negara berkembang telah diterima oleh negara anggota lainnya[14].
2. Akses
Pasar untuk Produk non Pertanian (Non Agricultural Market Access / NAMA)
Perundingan
Akses Pasar untuk produk non pertanian diwarnai dengan tingkat ambisi yang
berbeda – beda. Negara – negara maju dan beberapa negara berkembang memiliki
tingkat ambisi yang tinggi dan menghendaki agar perundingan berdampak kepada
penurunan drastis bahkan penghapusan tariff dunia. Sedangkan sebagian besar
negara berkembang memiliki tingkat ambisi yang lebih moderat, sehingga mereka
menghendaki hasil perundingan tidak menurunkan tarif secara drastis. Salah satu
isu penting yang masih menjadi kendala dalam proses perundingan Akses Pasar
untuk produk non pertanian adalah formula penurunan tarif yang akan digunakan.
Apakah akan menggunakan penurunan tarif secara linear seperti yang diusulkan
negara berkembang, atau menggunakan penurunan tarif secara terbuka seperti yang
diusulkan negara maju[15].
Pada KTM VI di
Hong Kong, dalam perundingan akses pasar produk nonpertanian (NAMA), Indonesia
termasuk kedalam kelompok NAMA 11 sebagai kelompok kunci perundingan sektor
NAMA tetap konsisten dalam mengupayakan fleksibilitas bagi negara berkembang
dalam modalitas perundingan NAMA. Negara berkembang dalam hal ini mendapatkan
jangka waktu implementasi penurunan tarif yang lebih lama, pengecualian produk tertentu
dari formula penurunan tarif dan pemberlakuan status unbound untuk sejumlah
produk tertentu.
Mengenai
penurunan tarif sektoral, negara anggota menyepakati prinsip penurunan tarif
sektoral yang sejalan dengan posisi Indonesia yang menolak penurunan tarif
sektoral secara mandatory. Selanjutnya, negara anggota juga menyepakati
mekanisme penanganan hambatan non tarif dan perlakuan terhadap unbound tariff.
Modalitas di bidang NAMA harus diselesaikan paling palmbat tanggal 30 April
2006 dan draft jadwal yang komprehensif berdasarkan modalitas harus disampaikan
paling lambat tanggal 31 Juli 2006[16].
3.
Jasa
Perundingan jasa di WTO merupakan
hasil perundingan Putaran Uruguay yang berlangsung sejak 1986 hingga 1993.
Perundingan jasa merupakan salah satu isu yang menjadi perdebatan sengit antara
kelompok negara maju dan negara berkembang, dimana negara maju dengan tingkat
ambisi yang tinggi menuntut negara berkembang untuk membuka akses pasar atau
membuat komitmen yang lebih besar dari tingkat komitmen yang telah ada. Hal ini
mendapatkan tantangan sangat keras dari kelompok negara berkembang, termasuk
Indonesia, dengan argumentasi bahwa liberalisasi yang lebih luas harus
didasarkan kepada fleksibilitas, tingkat pertumbuhan ekonomi dan sektor yang merupakan
kepentingan masing – masing negara serta prioritas kebijakan pembangunan nasional.
Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-4
di Doha yang menghasilkan Deklarasi Doha, telah memberikan pengaruh cukup besar
dalam perkembangan perundingan sektor jasa. Pertama, Deklarasi Doha memasukkan
mandat mengenai perdagangan sektir jasa – jasa dalam suatu program kerja yang
lebih luas dan dalam suatu rangkaian perundingan yang harus diselesaikan
sebelum Januari 2005. Kedua, Deklarasi Doha menetapkan batas waktu penyampaian
initial request dan initial offers[17].
Saat ini Indonesia sedang
mempersiapkan initial offers, yang kemungkinan besar akan disampaikan kepada
WTO pada tahun 2005. Hal ini dimaksudkan agar Indonesia mempunyai waktu untuk
menganalisa substansi dan cakupan initial offers-nya, yang akan dibahas bersama
bersama negara – negara mitra runding dalam berbagai pertemuan bilateral pada
sidang jasa bulan Februari 2005.
BAB III
A.
Kesimpulan
Dengan bergabung
ke dalam organisasi internasional seperti WTO, negara-negara berkembang secara
bersama dapat menghadapi negara maju. Dengan kata lain, lebih mudah menghadapi
negara maju secara multilateral daripada menghadapi secara bilateral. Dengan WTO
negara-negara berkembang dapat memindahkan sengketa dan policy marking ke prosedur multilateral WTO dalam mengurangi
tekanan unilateral negara maju.Dengan bergabung ke dalam organisasi
internasional seperti WTO, negara-negara berkembang dapat membuka akses pasar
untuk barang ekspor. Jikalau
terjadi sengketa antara negara maju dan negara berkembang, negara berkembang
dapat meminta agar paling tidak satu panelis berasal dari negara berkembang.
Seperti yang
telah dipaparkan dalam tulisan ini, bahwa Indonesia telah menjadi anggota dari
Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Ada manfaat yang dapat dirasakan oleh
Indonesia sebagai anggota dari WTO dan adapula kerugian mengikuti organisasi
ini, terlebih Indonesia masih merupakan negara berkembang yang belum kuat
stabilitas perekonomiannya. Meskipun demikian bukan berarti posisi Indonesia
lemah di dalam WTO, hal ini bisa dilihat dari peran aktif Indonesia dalam
Putaran Perundingan Doha. Indonesia adalah koordinator dalam kelompok G-33
banyak mengajuka usulan – usulan di berbagai sektor penting seperti sektor
pertanian, Akses Pasar Produk Non-Pertanian (NAMA) yaitu dengan mengupayakan
pemberian fleksibilitas dalam menetapkan tariff lines. Indonesia yang termasuk
ke dalam kelompok NAMA 11, kelompok kunci dalam perundingan, konsisten
mengupayakan fleksibilitas bagi negara berkembang dalam modalitas perundingan
NAMA. Hingga negara berkembang mendapatkan jangka waktu implementasi penurunan
tarif yang lebih lama, pengecualian produk tertentu dari formula penurunan
tariff dan pemberlakuan status unbound untuk sejumlah produk tertentu.
Pada isu
pembangunan, Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang terlibat dalam
pembahasan di bidang “Green Room” tetap berupaya memberikan kontribusinya
dengan menyampaikan perbaikan teks, yang memberikan penekanan lebih besar
terhadap komitmen negara maju terhadap negara berkembang termasuk
least-developed countries (LDCs). Secara umum, kepentingan negara – negara
berkembang banyak terakomodasi dalam Keputusan Dewan Umum WTO tersebut,
khususnya pada sektor pertanian dan hal ini sudah merupakan suatu kemajuan yang
cukup berarti dalam upaya membentuk suatu sistem perdagangan produk pertanian
yang lebih seimbang.
DAFTAR
PUSTAKA
Bernard Hoekman dan Michel Kostecki, The Political Economy of the World Trading
System From GATT to WTO, Oxford University Press, 1996.
Gamani Corea, United Nations Conference on Trade and Development, Encyclopedia of
Public International Law, Instalment 5, 1983.
H. S. Kartadjoemena, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round, UI
Press, Jakarta, 1997.
Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Keni Media, Bandung,
2011.
__________ “,Perdagangan Internasional, Bandung : PT.
Raja Grafindo Persada, 2004
Trade Post, The Economist, March 11-17 1995.
United Nations Conference on Trade and
Development, Strengthening the
Participation of Developing Countries in World Trade and the Multilateral
Trading System, Geneva, 1996.
Zulkarnain Sitompul, Masih Perlukah WTO bagi Negara Berkembang,
Jurnal Hukum, Medan, 2005.
[1] Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Keni Media, Bandung,
2011 hlm. 1
[3] Ibid, hlm 38
[4] Trade Post, The Economist, March 11-17 1995, hlm. 15
[5] Zulkarnain Sitompul, Masih Perlukah WTO bagi Negara Berkembang, Jurnal Hukum, Medan,
2005, hlm. 50
[6] Bernard Hoekman dan Michel Kostecki, The Political Economy of the World Trading
System From GATT to WTO, Oxford University Press, 1996, hlm. 235
[7] United Nations Conference on Trade and
Development, Strengthening the
Participation of Developing Countries in World Trade and the Multilateral
Trading System, Geneva, 1996, hlm. 20
[8] H. S. Kartadjoemena, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round, UI Press, Jakarta, 1997, hlm.338
[9] Zulkarnain Sitompul, op.cit, hlm. 56
[10] Mochamad Slamet Hidayat Sekilas
Tentang WTO (World Trade Organization). Jakarta : Direktorat Perdagangan,
Perindustrian, Investasi dan HKI, Direktorat Jendral Multilateral Departemen
Luar Negeri hlm
70
[11] Ibid.
[12] Ibid, hlm 76
[13] Ibid, hlm 82
[14] Ibid, hlm 86
[15] Ibid, hlm 77
[16] Ibid, Hlm 87
[17] Ibid, Hlm 84
Tidak ada komentar:
Posting Komentar