A.
Hardship
1.
Definisi Hardship
Hardship
sebagai sebuah pranata hukum sebenarnya bukanlah hal yang baru di dalam sistem
Common Law. Di dalam publikasi International Chamber of Commerce (ICC)[1]. diberikan
bentuk model klausula hardship di dalam kontrak bisnis dan juga perbedaannya
dengan pranata force majeure yang lebih dahulu dikenal di dalam sistem hukum
kita[2].
ICC
menyebutkan bahwa :
“Hardship may be invoked by one of the parties if the occurrence of
events not contemplated by the parties fundamentally alters the equilibrium of
the contract thereby placing an excessive burden on the party invoking the
clause, in the performance of his contractual obligations”
Dengan
perkataan lain, hardship akan diterapkan jika terjadi peristiwa tidak diatur
oleh para pihak yang mengakibatkan mengubah keseimbangan secara mendasar di
dalam kontrak sehingga menempatkan beban yang berlebihan pada salah satu pihak
dalam pelaksanaan kewajiban kontraktualnya.
Pengertian Hardship menurut pasal 6.2.2 UNIDROIT
PRINCIPLES yaitu peristiwa yang secara fundamental telah mengubah keseimbangan
kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat
tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi para penerima sangat menurun,
sementara itu :
a.
Peristiwa itu terjadi atau
diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan oh kontrak.
b. Perisstiwa tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang
dirugikan pada saat penutupan kontrak.
c. Peristiwa terjadi diluar kontrol dari pihak yang dirugikan.
d.
Resiko dari peristiwa itu tidak
diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.
2.
Contoh kasus dari kontrak Hardship
Kasus jual beli besi krum ini bermula ketika
Nouva Fucinati S.P.A
(penjual) menolak untuk melaksanakan kontraknya dikarenakan naiknya harga besi
krum dipasar internasional, sehingga membuat penjual sangat berat melaksanakan
kontrak yang telah disepakati sebelumnya. Sebab dalam klausa kontrak antara Nouva Fucinati S.P.A
(penjual) dan Fondmetall International A.B (pembeli) tidak ada satu klausa pun yang
mengatur mengenai pelaksanaaan kontrak apabila terjadi perubahaan keadaan yang
dalam hal ini kenaikan harga besi krum dipasar internasional.
Para pihak tidak menemukan jalan keluar
mengenai pelaksanaan kokontrak sehingga penjual meminta pengadilan dan menuntut
kepada pengadilan italia atas kejadian. Dalam tuntutannya penjual meminta
memutuskan agar kontrak dengan alsan suspending
excessive onerous. Alasan excessive
onerous merupakan alsan yang sama dengan Hardship.
Namun dalam putusannya hakim berpendapat bahwa
perubahan keadaan yang terjadi dalam pelaksanaan kontrak tidak membuat penjual
terlepas dari kewajibannya. Hakim memutuskan untuk mematalkan kontrak dengan
pembayaran ganti rugi.
Kasus Nouva Fucinati S.P.A Vs Fondmetall International A.B tanggal 14 januari 1993 yang diselesaikan
dipengadilan italia dengan gambaran kasus seperti ini.
a. Identifikasi kasus
Tanggal
keputusan : 14 januari 1993
Jurisdiksi : Italia
Nama
Kasus : Nouva Fucinati
S.p.A. V. Fondmetall International A.B.
Negara
Penjual : Italia (penggugat)
Negara
Pembeli : Swedia (Tergugat)
Barang
: Besi Krom
(ferrochrome)
Pengaplikasikan
pasal : Pasal 1(1) (a),(b), Pasal 14 dan
Pasal 79.
Deskripsi Kasus :
Aplikasi, Pilihan Hukum, Ruang Lingkup Konvensi Pengecualian Halangan Hardship.
b.
Latar Belakang
·
Para pihak Nouva Fucinatai adalaha
Seorang penjual dari Italia, FondmetallInternational adalah seorang pembeli
dari swedia.
·
Pada tanggal 13 November 1988,
kedua belah pihak menyetujui kontrak pembelian besi krum sebanyak 1000 ton
dengan harga 545 lira
·
Didalam kontrak tersebut diatur
juga diatur mengenai pengiriman besi krum yang memperbolehkan pembeli untuk
membeli untuk memilih tanggal pengiriman pada tanggal 20 maret 1988 dan 10
april 1988.
·
Pada tanggal pengiriman barang
dipilih oleh pembeli tanpa diperkirakan harga besi krum “Lumpy” di pasar
internasional naik sebesar 43,71 %. Sedangkan di dalam kontrak tidak di atur
sama sekali mengenai perubahan keadaan seperti ini dalam kontrak juga tidak
mengatur mengenai pembebasan kewajiban jika terjadi force majeure.
·
1 Maret 1990, pada saat proses di
Pengadilan, Penjual berargumen bahwa putusan pengadilan seharusnya di cabut dan
kontrak seharusnya dibatalkan karena adanya suatuhambatan yang memberatkan
penjaul untuk melaksanakan kontrak yang disebabkan oleh kenaikan harga pasar.
·
Pembeli menentang argumen mengenai
pembatalan kontrak yang diinginkan oleh Penjual dengan alasan adanya keadaan
yang memberatkan Penjual. Selanjutnya, pembeli meminta ganti kerugian atas
tidak dilaksanakannya kontrak oleh Penjual. Pembeli juga berargumen bahwa salah
satu isi dari Pasal 79 CISG memdahului pernyataan yang mengatur supervening excessive onerousness atau
tidak ada supervening excessive
onerousness dalam kasus ini.
c.
Putusan Pengadilan
Dalam
memutuskan perkara ini, pengadilan menjelaskan dengan dibagi menjadi tiga
bagian. Pertama, mengangkat putusan pengadilan melawan penjual pada tanggal 20
Juli 1988. Kedua, membatalkan kontrak atas tidak dilaksanakannya kontrak oelh
penjual. Dan yang terakhir yaitu, menolak permohonan penjual atas pemutusan
kontrak dengan alasan supervening
excessive onerousness dan tidak dilaksanakan kontrak dengan beberapa
pertimbangan antara lain :
·
Permohonan pembatalan kontrak yang
dimohonkan oleh pembeli, pengadilan menyimpulkan bahwa Penjual tidak berhak
untuk dibebaskan dari kewajibannya da di dalam kontrak. Selanjutnya, pengadilan
berpendapat bahwa pasal 79 CISG 1980 tidak akan membebaskan salah satu pihak
dari kewajibannya jika pelaksanaan kontraknya tidak mungkin. Pengadilan juga
yakin dengan bukti dari Penjual bahwa meningkatnya harga pasar internasional
besi krum dapat alasan tersebut, pengadilan memutuskan kasus ini.
·
Walaupun pengadilan dihadapkan
pada kasus dan dasar dalam konvensi ini dengan kuat pada saat isu diangkat.
Tetapi pada akhirnya, pengadilan memutuskan untuk tidak menggunakan CISG 1980
dan menggunakan hukum italia dalam memutuskan perkara ini. Pengadilan tetap
mengkaji isu yang ada dalam konvensi ini dengan detail dan menyimpulkan jika
pasal 79 diterapkan dalam kasus ini, maka menetapkan “kewajiban menjadi tidak
mungkin dilaksanakan oleh hambatan yang sangat berat” dan hal tersebut tidak
membuat penggantian rugi atas pemutusan kontrak
yang disebabkan oleh keadaan yang sangat memberatkan”.
·
Perbedaan antara pelaksanaan
kontreak yang “tidak mungkin” dan pelaksanaan kontrak yang “sangat memberatkan”
adalah hal yang sangat penting bagi pengadilan untuk mempertimbangkan kasus ini
karena kedua perbedaan tersebut memiliki peranan penting dalam menentukan
struktur yang ada pada Italian Civil code.
Berdasarkan Italian Civil code,
kontrakdapat diputuskan ketika pelaksanaannya tidak mungkin karena hambatan
yang sangat berat yang tidak dapat diperkirakan oleh para pihak. Sebaliknya
pasal 1467 Italian Civil code menentukan
kasus pemutusan kontrak dengan alasan sangat memberatkan untuk melaksanakan,
maka setidaknya kontrak tersebut”dilanjutkan atau dilaksanakandengan
pelaksanaan yang berbeda atau jangkawaktu tertentu”. Hal tersebut dilakukan
dengan maksud untuk menghormati kontrak yang telah disetujui oleh para pihak
·
Pengadilan sangat memaksakan
dikotomi Italian Civil code pada CISG 1980. Analisa pengadilan menjadi
tertanggu sejak berlakunya hukum negara itali pada kasus ini karena pengadilan
menggunakan pasal 70 pada saat pertama kali masuk ini masuk untuk
mengintrepertasikan hambatan dalam pelaksanaan.
·
Dengan diilhami oleh CISG 1980
pengadilan mendapat acuan dalam memutuskan kasus ini. Dengan kata lain,
walaupun pengadilan tidak memberlakukan CISG dalam kasus ini, tetapi dapat
melihat penentuan keadaan “hambatan” pada pasal 79 sebagai arti dari imposible seperti yang terdapat dalam civil code digunakan dalam kasus ini
maka dapat diputuskan kasus ini berdasarkan standar excessive onerousness. Hal ini diniklai sangat penting karena
putusan yang diambil oleh pengadilan berdasarkan hukum nasional dengan dibantu
interpretasi oleh CISG yang lebih ketat.
B.
FORCE MAJEURE
1.
Definisi
Keadaan memaksa (force majeure/overmacht) merupakan suatu ketentuan
yang tidak
begitu banyak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Jika ditemukan atau
diatur, seringkali hanya menjadi bagian kecil dari keseluruhan peraturan
tersebut, misalnya ditempatkan pada bagian ayat atau sub-ayat dari suatu pasal.
Sebagai contoh, dalam KUH Perdata hanya dua pasal yang mengatur tentang force majeure, yaitu Pasal 1244 dan 1245
KUH Perdata. Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa force majeure adalah suatu keadaan di mana tidak
terlaksananya apa yang diperjanjikan karena hal-hal yang sama sekali tidak dapat
diduga, dan debitur tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang
timbul di luar dugaan tersebut.
Selain diatur di dalam KUH Perdata di atas,
pengertian force majeure tidak luput dari perhatian para ahli hukum. R. Subekti
berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah keadaan di luar kekuasaan debitur yang
tidak dapat diketahui pada waktu kontrak itu dibuat. Ia tidak dapat dikatakan
salah atau alpha sehingga orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi[3].
Kejadian tak terduga tersebut, menurut Sri Soedewi M. Sofwan, dapat dijadikan
dasar keadaan memaksa jika orang yang berpikiran sehat tidak dapat memperhitungkannya[4]
Sedangkan pengertian yang diberikan oleh
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tidak jauh berbeda memberikan pengertian
tentang force majeure dalam KUH
Perdata maupun pendapat para ahli. Keadaan memaksa dilihat sebagai keadaan yang
diakibatkan malapetaka yang secara patut tidak dapat dicegah oleh pihak yang
berprestasi (Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983). Force majeure telah menutup kemungkinan-kemungkinan atau alternatif
lain bagi pihak yang terkena force
majeure untuk memenuhi kontrak (Putusan MA RI No. 24 K/Sip/1958)
Rezim hukum force
majeure dapat juga dilihat di dalam Nieuwe Burgerlijk Wetboek (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang Diperbaharui-NBW) Belanda tahun 1992[5].
Walau tidak menyebutkan dengan tegas pengertian dan istilah force majeure, namun NBW berpendirian
bahwa setiap kelalaian pemenuhan kewajiban kontraktual dari debitur akan
ditanggung olehnya, kecuali hal tersebut bukan kesalahannya. Dengan demikian,
sesuatu yang berada di luar kesalahan debitur bukan berada di bawah tanggung
jawabnya[6].
Pengertian force
majeure juga bisa diperoleh dari peraturan perundang-undangan. Namun, tidak
semua ketentuan perundangundangan yang mengatur force majeure memberikan pengertian force majeure. Peraturan perundang-undangan yang mengatur force majeure dengan memberikan
pengertian force majeure, di
antaranya adalah peraturan mengenai Jasa Konstruksi, Pengadaan Barang dan Jasa,
Perbankan, dan Lalu Lintas dan Jasa Angkutan. Hanya saja, ketentuan force majeure dalam peraturan Perbankan
dan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak terkait dengan perjanjian atau
kontrak.
Dalam peraturan Jasa Konstruksi dan peraturan
Pengadaan Barang dan Jasa, pembentuk peraturan mewajibkan para pihak untuk
memasukkan klausul force majeure.
Dalam peraturan Jasa Konstruksi, force majeure
diartikan sebagai suatu kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para
pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Dalam peraturan
Pengadaan Barang dan Jasa, force majeure
disebut keadaan kahar, artinya suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para
pihak sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat
dipenuhi.
Prinsip penting force majeure atau keadaan
memaksa (juga kadang disebut keadaan kahar) termuat dalam pasal 7.1.7 prinsip
UNIDROIT. Bunyi pengarturan artikel tersebut adalah rumusan yang umum, termasuk
dalam hukum nasional kita. Rumusan tersebut adalah:
1.
Peristiwa
yang menyebabkan force majeure merupakan peristiwa di luar kemampuannya.
2.
Adanya
peristiwa tersebut mewajibkan pihak yang mengalaminya untuk memberitahukan
pihak lainnya mengenai telah terjadinya force majeure[7].
Prinsip
ini penting mengingat peristiwa yang terjadi di kemudian hari yang berada di
luar control (kendali) para pihak dapat setiap saat terjadi. Prinsip ini
sebenarnya lebih banyak menggunakan prinsip yang dikenal dalamk konsep hukum
kontinental. Di Negara- Negara common law dikenal pula doktrin frustration dan
doktrin impossibility of performance. Namun perencanaan UNIDROIT menetapkan
penggunaan istilah force majeure karena kontrak internasional umumnya sudah
lazim menggunakan istilah ini.
Dalam
komentar prinsip UNIDROIT, tidak dijelaskan pengertian atau perbedaan secara
tegas masing- masing doktrin, termasuk di dalamnya adalah pengertian doktrin
hardship serta perbedaannya dengan force majeure. Jalan keluar yang dilakukan
adalah menerapkan prinsip hukum perdata internasional yaitu dengan menerapkan
suatu prinsip yang disebut dengan renvoi. Menurut prinsip renvio, sesuatu hal
yang perlu kepastian tentang status hukum tertentu, maka hal tersebut
dikembalikan pada system hukum yang mangaturnya[8].
Sebenarnya
yang jauh lebih penting dari sekedar pengertian atau perbedaan pengertian dari
istilah- istilah ini adalah definisi atau batasan istilah yang menyebabkan
tidak dapat mengakibatkan dilaksanakannya suatu peristiwa.
2. Unsur-Unsur
Force majeure
Dari pengertian force majeure sebagaimana diuraikan di atas, serta dalam beberapa
kontrak, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur force majeure antara lain
a.
terjadinya
keadaan kejadian di luar kemauan, kemampuan atau kendali para pihak;
b.
menimbulkan
kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak;
c.
terjadinya
peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat, terhalang, atau tidak
dilaksanakannya prestasipara pihak;
d.
para pihak
telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari peristiwa tersebut
e.
kejadian
tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian.
3.
Contoh Kasus Kontrak Internasional Yang Force Majeure.
Globex adalah suatu perusahaan Amerika yang
menjual produk-produk makanan ke seluruh dunia. Globex telah dikontrak untuk
menjual Macromex, sebuah perusahaan di Rumania, dalam kontrak tersebut, Globex
harus mengirimkan 112 kontainer ayam ke Rumania. Kontrak tersebut diatur dalam ketentuan CISG.
Dalam kontrak tersebut Globex menyebutkan bahwa pengiriman terakhir dilakukan
pada 29 Mei 2006. Namun pada tanggal 2 Juni 2006 terjadi kegagalan dalam
mengirim 62 kontainer ayam ke Rumania.
Pada tanggal 2 Juni 2006, pemerintah Rumania
mendeklarasikan tanpa memberitahu terlebih dulu kepada Globex bahwa sampai pada
tanggal 7 Juni 2006, tidak ada ayam yang dapat diimpor ke Rumania kecuali
apabila ada pengesahan pada tanggal terakhir yang telah ditentukan. Antara
tanggal pengumuman tersebut dibuat sampai pada tanggal 7 Juni 2996 Globex
bergegas untuk mengirimkan 20 kontainer dari sisa 62 kontainer yang telah
dikontrak untuk dijual. Pada tanggal 7 Juni 2006 sisa 42 kontainer ayam tidak
dapat dikirim ke Rumania dikarenakan suatu peraturan pemerintah. Marcomex
kemudian membawa perkara ini ke proses arbitrase dengan dasar bahwa Globex
telah melakukan suatu pelanggaran kontrak, dan meminta ganti rugi sebesar
$608,323,00.
Atas
pengajuan arbitrase Macromex terhadap Globex tersebut, Globex kemudian
mengajukan argumennya, Globex mengajukan argumennya bahwa kegagalan pengiriman
tersebut terjadi karena adanya force
majeure. Globex beragumen bahwa penundaan pengiriman tersebut tidak sesuai
dengan standar umum. Larangan tersebut tidak dapat diadaptasi oleh pihak Globex
karena tidak ada peringatan terlebih dahulu, larangan tersebut benar-benar
memblocking Globex dalam pengiriman sisa ayam ke Macromex.
Arbitrase
memutuskan bahwa penundaaan pengiriman tersebut bukan merupakan suatu
pelanggaran yang fundamental karena larangan untuk mengimpor ayam ke Rumania
tidak efektif membuat pengiriman tidak terlaksana. Sesuai dengan keberadaan Pasal 79 CISG dimana
meminta dimasukkan dalam keadaaan force
majeure sesuai dengan pasal tersebut yang
dipakai sebagai dasar interpretasi oleh arbitrator. Kemudian arbitrase
mencatat bahwa selain Amerika sebagai supplier Macromex yang menyetujui secara
lebih tidak terkait secara langsung oleh
larangan impor. Yang seharusnya Globex dapat mengambil keuntungan dari
meningkatnya nilai jual ayam di pasar sesuai dengan keadaan.
Rusaknya harga pasar di Rumania dikarenakan
tidak terkirimnya ayam senilai $606,323,00 yang menyebabkan kerugian pihak
Macromex. Arbitrator membebankan semua biaya untuk proses arbitrse dan biaya
pengacara kepada Globex sehingga total putusan sebesar $876,310,58.
Kasus kontrak antara Macromex Vs Globex Pada tanggal 7 Juni 2006 yang
diselesaikan dipengadilan arbitrase dengan
gambaran kasus seperti ini.
a.
Identifikasi
kasus
Tanggal
keputusan : 7 Juni 2006
Nama
Kasus : antara Macromex Vs Globex
Negara
Penjual : Amerika (penggugat)
Negara
Pembeli : Rumania (Tergugat)
Barang
: Ayam Potong (ferrochrome)
Pengaplikasikan
pasal : Pasal 1(1) (a),(b), Pasal 14 dan
Pasal 79.
Deskripsi Kasus : Aplikasi,
Pilihan Hukum, Ruang Lingkup Konvensi Force majeure,
b. Latar Belakang
·
Para pihak Macromex adalaha Seorang
penjual dari Amerika, Globex adalah seorang pembeli dari swedia.
·
Globex
adalah suatu perusahaan Amerika yang menjual produk-produk makanan ke seluruh
dunia. Globex telah dikontrak untuk menjual Macromex, sebuah perusahaan di
Rumania, dalam kontrak tersebut, Globex harus mengirimkan 112 kontainer ayam ke
Rumania.
·
Dalam kontrak tersebut Globex
menyebutkan bahwa pengiriman terakhir dilakukan pada 29 Mei 2006. Namun pada
tanggal 2 Juni 2006 terjadi kegagalan dalam mengirim 62 kontainer ayam ke
Rumania.
·
Pada tanggal 2 Juni 2006,
pemerintah Rumania mendeklarasikan tanpa memberitahu terlebih dulu kepada
Globex bahwa sampai pada tanggal 7 Juni 2006, tidak ada ayam yang dapat diimpor
ke Rumania kecuali apabila ada pengesahan pada tanggal terakhir yang telah
ditentukan.
·
Antara tanggal pengumuman tersebut
dibuat sampai pada tanggal 7 Juni 2996 Globex bergegas untuk mengirimkan 20
kontainer dari sisa 62 kontainer yang telah dikontrak untuk dijual. Pada
tanggal 7 Juni 2006 sisa 42 kontainer ayam tidak dapat dikirim ke Rumania
dikarenakan suatu peraturan pemerintah.
·
Pada
tanggal 7 Juni 2006 sisa 42 kontainer ayam tidak dapat dikirim ke Rumania
dikarenakan suatu peraturan pemerintah. Marcomex kemudian membawa perkara ini
ke proses arbitrase dengan dasar bahwa Globex telah melakukan suatu pelanggaran
kontrak, dan meminta ganti rugi sebesar $608,323,00
·
Globex
mengajukan argumennya bahwa kegagalan pengiriman tersebut terjadi karena adanya
force majeure. Globex beragumen bahwa
penundaan pengiriman tersebut tidak sesuai dengan standar umum.
·
Arbitrase
memutuskan bahwa penundaaan pengiriman tersebut bukan merupakan suatu
pelanggaran yang fundamental karena larangan untuk mengimpor ayam ke Rumania
tidak efektif membuat pengiriman tidak terlaksana. Sesuai dengan keberadaan Pasal 79 CISG dimana
meminta dimasukkan dalam keadaaan force
majeure sesuai dengan pasal tersebut yang
dipakai sebagai dasar interpretasi oleh arbitrator
c.
Putusan
Pengadilan
Arbitrase adalah hakim yang ditunjuk menjadi sebuah
pengadilan sebagai pihak ketiga dalam perjanjian atau kontrak dagang
Internasional antara Globex dengan Marcomex yang secara principal karena
berbeda Negara maka berbeda aturan hukumnya. Dalam masalah Globex dengan
Marcomex arbitrase menerima klaim atau tuntutan dari Marcomex sekaligus
menerima argument / alibi dan atau pembelaan diri dari Globex secara terperinci
berdasar pada seluruh pasal yang sudah disepakati menjadi perjanjian dagang
Internasional antara kedua belah pihak. Mengingat posisi sebagai peradilan
pihak ketiga yang independent maka para arbitrator selalu mengacu dalam setiap
pasal perjanjian dan atau CISG sebagai alat pertimbangan untuk mengambil
keputusan Tidak lupa para arbitrator juga memegang erat seluruh prinsip
UNIDROIT secara lengkap yang menjadi nafas / prinsip dasar penentuan CISG,
antara lain:
Pasal
30 :
“The seller must deliver the
goods, hand over any documents relating to them and transfer the property in
the goods, as required by the contract and this Convention”
Pasal
32 ayat 2:
“If the seller is bound to
arrange for carriage of the goods, he must make such contracts as are necessary
for carriage to the place fixed by means of transportation appropriate in the
circumstances and according to the usual terms for such transportation”
Pasal 33:
“The seller must deliver
the goods:
(a)
if a date is fixed by or determinable from the contract, on that date;
(b)
if a period of time is fixed by or determinable from the contract, at
any time within that period unless circumstances indicate that the buyer is to
choose a date; or
(c)
in any other case, within a reasonable time after the conclusion of the
contract”
Pasal 34:
“If the seller is bound to hand over documents relating to the goods, he
must hand them over at the time and place and in the form required by the
contract. If the seller has handed over documents before that time, he may, up
to that time, cure any lack of conformity in the documents, if the exercise of
this right does not cause the buyer unreasonable inconvenience or unreasonable
expense. However, the buyer retains any right to claim damages as provided for
in this Convention.”
Pasal
45:
1.
If the seller fails to perform any of his
obligations under the contract or this Convention, the buyer may:
a. exercise
the rights provided in articles 46 to 52;
b. claim
damages as provided in articles 74 to 77.
2.
The buyer is not deprived of any right he may
have to claim damages by exercising his right to other remedies.
3.
No period of grace may be granted to the seller
by a court or arbitral tribunal when the buyer resorts to a remedy for breach
of contract.
Pasal 46:
(1)
The buyer may require performance by the seller of his obligations
unless the buyer has resorted to a remedy which is inconsistent with this
requirement.
(2)
If the goods do not conform with the contract, the buyer may require
delivery of substitute goods only if the lack of conformity constitutes a
fundamental breach of contract and a request for substitute goods is made
either in conjunction with notice given under article 39 or within a reasonable
time thereafter.
(3)
If the goods do not conform with the contract, the buyer may require
the seller to remedy the lack of conformity by repair, unless this is
unreasonable having regard to all the circumstances. A request for repair must
be made either in conjunction with notice given under article 39 or within a
reasonable time thereafter.
Pasal 47:
(1)
The buyer may fix an additional period of time of reasonable length for
performance by the seller of his obligations.
(2)
Unless the buyer has received notice from the seller that he will not
perform within the period so fixed, the buyer may not, during that period,
resort to any remedy for breach of contract. However, the buyer is not deprived
thereby of any right he may have to claim damages for delay in performance
Pasal 48:
(1)
Subject to article 49, the seller may, even after the date for
delivery, remedy at his own expense any failure to perform his obligations, if
he can do so without unreasonable delay and without causing the buyer
unreasonable inconvenience or uncertainty of reimbursement by the seller of
expenses advanced by the buyer. However, the buyer retains any right to claim
damages as provided for in this Convention.
(2)
If the seller requests the buyer to make known whether he will accept performance
and the buyer does not comply with the request within a reasonable time, the
seller may perform within the time indicated in his request. The buyer may not,
during that period of time, resort to any remedy which is inconsistent with
performance by the seller.
(3)
A notice by the seller that he will perform within a specified period
of time is assumed to include a request, under the preceding paragraph, that
the buyer make known his decision.
(4)
A request or notice by the seller under paragraph (2) or (3) of this
article is not effective unless received by the buyer.
Pasal 49 ayat 1:
(1)
The buyer may declare the contract avoided:
(a)
if the failure by the seller to perform any of his obligations under
the contract or this Convention amounts to a fundamental breach of contract; or
(b)
in case of non-delivery, if the seller does not deliver the goods
within the additional period of time fixed by the buyer in accordance with
paragraph (1) of article 47 or declares that he will not deliver within the
period so fixed
Dari
cuplikan pasal-pasal di atas maka bisa dilihat secara jelas beberapa
pelanggaran kontrak perdagangan internasional (CISG) yang dilakukan oleh Globex
secara langsung ataupun tidak langsung walaupun dengan dalih terjadi force majeure karena intervensi larangan
impor ayam oleh Pemerintah Rumania. Beberapa pelanggaran yang paling mendasar
yang telah digunakan sebagai acuan keputusan pengadilan oleh para arbitrator
antara lain :
·
Selama
masa munculnya larangan tanggal 2 Juni 2006 Pemerintah Rumania memberikan sosialisasi
sampai pada tanggal 7 Juni 2006 sehingga pada prinsipnya ada jeda waktu 5 hari
yang bisa dan atau dapat digunakan oleh Globex untuk melakukan pemberitahuan,
pembahasan dan konsolidasi dengan pihak
Marcomex untuk mencari cara atau mensiasati larangan impor ayam Rumania (Pasal
49 CISG dan rumusan umum UNIDROIT pasal 2).
·
Penolakan
para arbitrator terhadap argumentasi pembelaan dari Globex terkait dengan force majeure sebagai penyebab tidak
terlaksananya kewajiban Globex selaku penjual
karena larangan pemerintah Rumania tentang impor ayam tersebut bukanlah
sebuah masalah yang fundamental atau sangat mendasar tidak ada jalan keluar
karena bila dikehendaki seharusnya Globex akan melakukan koordinasi dan
konsolidasi secepatnya dalam jeda waktu yang masih aman. Hal tersebut bukan merupakan pelanggaran
fundamental karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Artikel
25 UNCITRAL. Para arbitrator memutuskan dengan seksama menilik kerugian
langsung dialami di pihak Marcomex dan tidak tampaknya iktikad secara
professional pihak globex mencari jalan keluar menyelesaikan kontraknya yang
pada akhirnya arbitrator memutuskan memenangkan pihak Marcomex selaku pembeli
dengan membebankan biaya kerugian dan arbitrase secara total kepada Globex
sebesar $876,310,58.
·
Menilik
keputusan para arbritor tersebut secara seksama sudah jelas dan secara riil
sesuai penerapan poin-poin pasal CISG secara keseluruhan.
C.
Force Majeure dan Hardship : Sebagai
Perbandingan
Persamaan
yang paling jelas antara force majeure
dan Hardship, pertama, mengenai
keberlakuannya, dimana keduanya baru dapat diterapkan sebatas untuk
peristiwa-persitiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya terjadi dan persitiwa
tersebut tidak berada dalam kendali pihak yang dirugikan. Oleh karenanya menjadi
wajar, pihak tersebut tidak mungkin melaksanakan prestasinya. Tidak ada hakim
yang akan menghukum seseorang untuk sesuatu yang tidak mungkin untuk
dilaksanakan[9].
Kedua,
baik force majeure maupun Hardship hanya dapat diterapkan pada
keadaan yang tidak terduga pada waktu kontrak itu dibuat. Dengan perkataan
lain, sebelum kontrak disepakati, para pihak tidak memiliki dugaan bahwa akan
terjadi sesuatu peristiwa. Misalnya, pada sebelum kontrak kredit disepakati,
debitur tidak menduga bahwa akan terjadi krisis moneter yang mengakibatkan
berubahnya nilai pinjamannya secara drastis sebagai kelanjutan dari kenaikan
nilai kurs mata uang asing.
Selain
adanya persamaan, tentu terdapat perbedaan yang mencolok. Pertama, seperti yang
telah dijelaskan di atas, pengertian mengenai keduanya jelas berbeda. Hardship lebih menekankan pada keadaan
yang tidak seimbang secara mendasar di antara para pihak, sedangkan force majeure memiliki pengertian nampak
lebih ‘umum’ yang menunjuk pada peristiwa-peristiwa tak terduga di luar kekuasaan
para pihak.
Kedua,
perbedaan pengertian dan kondisi dapat diterapkannya Hardship atau force majeure
menyebabkan adanya perbedaan mengenai akibat hukum terhadap sebuah kontrak
bisnis. Berdasarkan doktrin para ahli hukum, pada force majeure absolut menyebabkan pemenuhan prestasi tidak mungkin
dapat dilakukan lagi dan seketika itu kontrak putus. Sebaliknya, pada force majeure relatif, pemenuhan
prestasi menjadi tertunda dan kontrak tidak putus[10].
Akibat
hukum Hardship terhadap kontrak
terutama menyangkut pada kesempatan pihak yang dirugikan untuk mengajukan
negosiasi ulang (renegosiasi). Hal ini wajar dimungkinkan, sebab Hardship membuat kedudukan para pihak
tidak lagi seimbang dikarenakan adanya peristiwa tak terduga yang mengubah
kedudukan para pihak secara mendasar. Bahkan Unidroit Principles 2004 secara
tegas di dalam komentarnya membedakan Hardship
dan force majeure[11].
Dimana, pada Hardship , belum terjadi
wanprestasi (non performance), namun pada saat force majeure terjadi telah terjadi wanprestasi.
KESIMPULAN
Perbedaan
mencolok Hardship dan force majeure didasarkan pada terbukanya
kemungkinan renegosiasi kontrak ataukah tidak jika terjadi peristiwa tak
terduga. Pada force majeure,
renegosiasi telah tertutup semenjak disepakatinya kontrak, kecuali kedua belah
pihak sepakat untuk melakukan perubahan klausula kontrak. Sebaliknya, Hardship membuka peluang itu. Untuk itu,
klausula Hardship maupun force majeure menjadi teramat penting untuk
diakomodasi dalam kontrak guna menghadapi peristiwa yang tak terduga yang
mengancam keberlangsungan kontrak. Hardship
lebih menekankan pada keadaan yang tidak seimbang secara mendasar di antara
para pihak, sedangkan force majeure
memiliki pengertian nampak lebih ‘umum’ yang menunjuk pada peristiwa-peristiwa
tak terduga di luar kekuasaan para pihak.
Hardship atau force majeure
menyebabkan adanya perbedaan mengenai akibat hukum terhadap sebuah kontrak
bisnis. Berdasarkan doktrin para ahli hukum, pada force majeure absolut menyebabkan pemenuhan prestasi tidak mungkin
dapat dilakukan lagi dan seketika itu kontrak putus. Sebaliknya, pada force majeure relatif, pemenuhan
prestasi menjadi tertunda dan kontrak tidak putus
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Huala Adolf,
Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional (edisi revisi2010),Bandung, Refika
Aditama 2006,
Rahmat Soemadipradja.
2010. Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa. Jakarta : PT Gramedia
R. Subekti. 1990. Hukum
Kontrak. Jakarta : PT Intermasa
Sri Soedewi M. Sofwan.
1980. Hukum Perutangan (Bagian A). Yogyakarta : Universitas Gajah Mada
B.
Artikel
Lihat di dalam
publikasi ICC dalam ICC (ed.). 1985. Force Majeure and Hardship. Paris (ICC
Publ No. 421).
Lihat UNIDROIT,
International Institute for the Unification of Private Law. 2004. UNIDROIT
Principles of International Commercial Contracts 2004. Roma
C.
Internet
http://www.iccwbo.org
pada tanggal 30 oktober 2011 pukul 19.00 WIB
[1] ICC (International Chamber of Commerce) sebuah organisasi bisnis yang
bersifat global yang memperjuangkan ekonomi global sebagai kekuatan bagi
pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan kemakmuran. Kegiatan ICC
mencakup resolusi untuk arbitrase, sengketa untuk kasus perdagangan terbuka dan
sistem ekonomi pasar, bisnis swa-regulasi, memerangi korupsi atau memberantas
tindak pidana komersial. Lihat di dalam ICC menyusun kebijakan http://www.iccwbo.org pada
tanggal 30 oktober 2011 pukul 19.00 WIB
[2] Lihat di dalam publikasi ICC dalam ICC (ed.). 1985. Force Majeure and
Hardship. Paris (ICC Publ No. 421).
[3] R. Subekti. 1990. Hukum
Kontrak. Jakarta : PT Intermasa
hlm 56
[4] Sri Soedewi M. Sofwan.
1980. Hukum Perutangan (Bagian A). Yogyakarta : Universitas Gajah Mada hlm 45
[5] Pada tahun 1992 KUH Perdata
Belanda mengalami perubahan besar-besaran. Terdapat sejumlah pembeda dari
kodifikasi sebelumnya, antara lain perbedaan antara hukum perdata dan hukum
komersial yang dihapus dalam mendukung lingkup yang lebih luas hukum privat.
New Burgelijke Wetbook sekarang mencakup semua aspek regulasi komersial,
seperti hukum perusahaan, hukum asuransi, hukum transportasi, hukum konsumen
dan hukum perburuhan. Kitab baru tahun 1992 ini lebih teknis, sistematis dan
abstrak dari pendahulunya. Lihat Martin Hesselink. 2006. The Harmonisation of
European Contract Law. United Kingdom : Hart Publishing.
·
Every failure in the performance of an obligation obliges the debtor to
repair the damage which the creditor suffers there from, unless the failure
cannot be imputed to the debtor.
·
To the extent that performance is not already permanently impossible,
section 1 only applies subject to the provisions of § 2, respecting the default
of the debtor.
Article 6:75 BW
(impossibility)
A failure in the
performance cannot be imputed to the debtor if it does not result from his
fault and if he cannot be held accountable for it by law, juridical act or
common opinion either.
[7] Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional (edisi revisi2010),Bandung,
Refika Aditama 2006, hlm 100
[8] Ibid Hlm 101.
[9] Prof Hijma menyebutnya sebagai : No judge will sentence a party to
accomplish what is impossible. Lihat di artikel Hijma, Jaap. 2010. Force majeure According To The Civil
Code Of The Netherlands. Jakarta : PT Gramedia di dalam Rahmat Soemadipradja.
2010. Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa. Jakarta : PT Gramedia
[10] Ahli hukum yang menganut adanya pembedaan force majeur absolut maupun
relatif misalnya Sri Soedewi M. Sofwan, Johari Santoso dan Ahmad Ali
[11] Lihat UNIDROIT, International Institute for the Unification of Private
Law. 2004. UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts 2004. Roma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar