Home

11.24.2011

PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PEMBUATAN PERJANJIAN FRANCHISE (WARLABA)


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Arus globalisasi ekonomi dunia dan kerja sama di bidang perdagangan dan jasa sangat berkembang pesat dewasa ini, salah satu fenomena yang nyata dari pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya kebutuhan perusahaan-perusahaan terhadap modal dan kebutuhan tersebut menuntut struktur permodalan yang lebih mompleks mengakibatkan masuknya berbagai bentuk kerja sama yang melengkapi aneka macam transaksi perjanjian yang sudah ada, salah satu bentuknya adalah perjanjian waralaba.
Waralaba berasal dari kata “Wara” yang berarti lebih dan “laba” yangberarti untung.Secara harfiah dapat diartikan bahwa waralaba merupakan usaha yang memberikan keuntungan[1].Waralaba ini merupakan suatu metode untuk melakukan bisnis, yaitu suatu metode untuk memasarkan produk atau jasa ke masyarakat. Selanjutnya disebutkan pula bahwa waralaba dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, dimana sebuah perusahaan induk (pemberi Waralaba) memberikan kepada individu atau perusahaan lain yang berskala kecil dan menengah (penerima waralaba), hak-hak istimewa untuk melakukan suatu sistem usaha tertentu dengan cara yang sudah ditentukan, selama waktu tertentu,disuatu tempat tertentu[2].
Waralaba berasal dari kata franchise. Dimana franchise dalam bahasa aslinya dari bahasa latin yakni francorum rex yang artinya “bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha[3].Maka dari itu dikenal istilah pewaralaba atau franchisor dan terwaralaba atau franchisee.Franchisor, yang juga umum disebut sebagai pewaralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan ataumenggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya. Sedangkan franchisee, yang juga disebut terwaralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yg dimiliki terawaralaba.
Franchisee membeli ijin usaha untuk melakukan bisnis yang sama persis dengan usaha yang telah ada sebelumnya dari franchisor, untuk jangka waktu tertentu, dengan menerima dukungan penuh dalam hal pelatihan dan saran-saran dalam kegiatan operasional yang tercakup dalam sebuah sistem yang telah dibuat sebelumnya dan terbukti keberhasilannya. Franchisor menyediakan produk dan jasa yang siap untuk dipasarkan oleh terwaralaba, (telah teruji dan terbukti berhasil) termasuk diantaranya merk usaha, sistem pembukuan, sistem operasi, standar pelayanan, standar proses pembuatan produk, pelatihan, dan lain lain.
Walaupun sistem franshise itu milik franchisor, namun demikian dalam kerja sama bisnis franchising jangan menggunakan pola pemberi dan penerima, tetapi gunakan pola hubungan dan kerja sama atas dasar kemitraan, kemanfaatan, tanggung jawab, dan kepentingan bersama. Dan oleh sebab franchising itu juga merupakan kerja sama di bidang bisnis.
Hal yang terpenting dari kerjasama franchise yang dituangkan dalam perjanjian atau kontrak hendaknya dipahami oleh masing-masing pihak dan adanya keseimbangan dalam berkontrak, artinya hak dan kewajiban antara franchisee dan franchisor harus seimbang, jangan sampai berat sebelah. Dengan kata lain kesamarataan hukum di dalam kerangka asas kebebasan berkontrak tetap dipenuhi. Namun dalam prakteknya, kita sering menjumpai bahwa dalam kontrak atau perjanjian franchise masih dirasakan berat sebelah, kurang menguntungkan bagi pihak franchisee, misalkan saja terhadap pengakhiran perjanjian (termination agreement), kekuasaan untuk melakukan hal tersebut ada di tangan franchisor tanpa harus merugikan dirinya. Sangat banyak perjanjian franchise memberikan izin khusus bagi framchisor untuk mengakhiri franchise dikarenakan oleh suatu sebab (for cause). Juga terhadap pengakhiran perjanjian franchise, di mana jangka waktu perjanjian franchise habis danfranchisor tidak bersedia memperbaharuinya, bahkan mengalihkan usaha franchisenya kepada pihak lain.
Dalam kondisi semacam ini, nampaknya keberadaan franchisee dalam perjanjian franchise sangat lemah, tidak mempunyai kekuatan tawar- menawar (bargaining power). Sebagai contoh pada kasus Mc Donald’s di Perancis yang berkedudukan sebagai franchisor dengan begitu mudahnya mencari-cari alasan untuk memutuskan hubungan kontrak franchise dengan franchiseenya di Perancis hanya karena perusahaan tersebut ingin menunjuk pihak lain yang dipandang lebih menguntungkan. Jelas bahwa pentingnya franchise mendapat perlindungan hukum merupakan hal yang tidak dapat dihindari, mengingat dalam praktek bisnis franchise tercipta kewenangan franchisor yang dominan. Keadaan inilah yang menimbulkan unfair business di dalam franchising.Hal ini menyangkut pula tentang keterbukaan manajemen dari perusahaan. Di Indonesia, franchise diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
Ketentuan ini membawa akibat bahwa sampai pada derajad tertentu,franchise tidak berbeda dengan lisensi (Hak atas Kekayaan Intelektual), khususnya yang berhubungan dengan franchise nama dagang atau merek dagang baik untuk produk berupa barang dan atau jasa tertentu, hal ini berarti secara tidak langsung juga mengakui adanya dua bentuk franchise yaitu franchise dalam bentuk lisensi merek dagang atau produk dan franchise sebagai suatru format bisnis[4].
Kegiatan waralaba (franchise) sebagai bentuk usaha banyak mendapatperhatian para pelaku bisnis, dikarenakan dapat menjadi salah satu cara untukmeningkatkan kegiatan perekonomian dan memberikan kesempatan kepadagolongan ekonomi lemah untuk berusaha, ini berarti, Franchise dapatmemberikan kesempatan kerja, pemerataan dan juga menciptakan lapangankerja masyarakat.Bidang atau sektor yang sering dilakukan dengan carafranchise yaitubidang minuman (Coca Cola), makanan (Mc Donald’s dan Kentucky FriedChiken), Perhotelan (Hyatt, Ibis, Natour Garuda), Restoran, Pendidikan, FastFood dan lain sebagainya Sering disebut-sebut bahwa franchise merupakan The hottest business in the world[5]. betapa tidak, dengan konsep bisnisini, orang dapat langsung dengan sekejap berkibar di bidang-bidang bisnistertentu yang merek, paten atau sistem bisnisnya sudah sangat populer bukansaja di Indonesia bahkan di seluruh dunia, padahal untuk mempopulerkanmerek, paten atau sistem bisnis tadi memerlukan waktu puluhan tahun.
Namun tidak sedikit juga yang gagal, dengan konsep bisnis franchise ini, seorang franchisee (penerima franchise) dapat langsung “ngompreng” popularitas produk dan merek orang lain tanpa perlu harusmengembangkannya sendiri produk tersebut. Berkat adanya inovasi di bidangtransaksi bisnis ini yang kemudian dikenal dengan sebutan franchise maka kitadapat mencicipi lezatnya hamburger produk Mc Donald yang berasal darinegara Amerika itu, orang tidak perlu jauh-jauh harus ke Amerika, tetapi cukupmenikmatinya di salah satu restoran Mc Donald yang bertebaran di kota-kota diIndonesia.
Berdasarkan ulasan diatas maka penulis dalam makalah ini penulis ingin membicarakan mengenai : “PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PEMBUATAN
PERJANJIAN FRANCHISE (WARLABA)

B.   Permasalahan
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka persoalan pokok yang menjadi kajian makalah ini terfokus pada 2 (dua)  masalah yaitu :
1.    Apakah asas itikad baik dan kepatutan harus menjadi landasan bagipara pihak pada waktu membuat perjanjian ?
2.    Apakah kebebasan berkontrak harus menjadi landasan bagi para pihak pada waktu membuat perjanjian ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Tinjauan Mengenai Perjanjian
1.    Pengertian Perjanjian Umumnya
Jika kita membicarakan tentang perjanjian, maka pertama-tama harus diketahui pengertian perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi:
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.”
Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan yang nyata. Baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata- mata sehingga suatu perjanjian adalah :
a.  Suatu perbuatan
b.  Antara sekurang-kurangnya dua orang atau lebih;
c.  Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji.
Dengan adanya pengertian perjanjian seperti ditentukan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa  kedudukan  antara  pihak  yang mengadakan perjanjian adalah sama dan berimbang.
Pengertian  perjanjian  seperti  tersebut  di  atas  terlihat  secara mendalam, akan terlihat bahwa pengertian tersebut ternyata mempunyai arti yang sangat luas dan umum sekali sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk tujuan apa perjanjian tersebut dibuat. Hal tersebut terjadi karena di dalam  pengertian perjanjian menurut ketentuan  Pasal  1313  KUH  Perdata,  hanya  menyebutkan  tentang pihak yang satu atau lebih mengikatkan dirinya pada pihak lainnya dan sama  sekali  tidak  menentukan  untuk  apa  tujuan  suatu  perjanjian tersebut dibuat.
Oleh karena itu suatu perjanjian akan lebih luas juga jelas artinya, jika pengertian mengenai perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu persetujuan di mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan[6]
Menurut Setiawan Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan diri tergadap satu orang atau lebih[7].
2.    Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjianpara pihak harus memenuhi syarat-syarat di bawah ini:
a.    Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan pada para pihak, Kesepakatan ini diatur dalam Pasal
1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah penyataannya, karena kehendak itu tidak  dapat dilihat/diketahui oleh orang lain.
b.    Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian;
Maksudnya adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yangcakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun atau sudah kawin.
c.    Suatu hal tertentu;
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu adalah sesuatu yang di   dalam  perjanjian harus telah ditentukan dan disepakati.Ketentuan ini sesuai dengan yang disebutkan pada Pasal 1313KUH Perdatra bahwa barang yang menjadi pbjek suatu perjanjian harus ditentukan jenisnya.
d.    Suatu sebab yang halal.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal).  Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak tahun 1927 mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.
Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab atau kausa yang tidak halal, misalnya jual-beli ganja, untuk mengacaukan ketertiban umum, memberikan kenikmatan seksual tanpa nikah yang sah[8].

3.    Macam-Macam Perjanjian
a.    Perjanjian atas beban dan perjanjian cuma-cuma:
·         Perjanjian Atas Beban (onder bezwarenden)
Perjanjian atas  beban  adalah  perjanjian  atau  persetujuan dimana terhadap prestasi yang satu selalu ada kontra prestasi pihak  lain,  dimana   kontra  prestasinya  bukan  semata-mata merupakan pembatasan atas  prestasi yang satu, atau hanya sekedar menerima kembali prestasinya sendiri.
·         Perjanjian Cuma-cuma (om niet)
Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian atau persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan atau prestasi kepada pihakv yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Contohnya adalah hibah (schenking).
b.    Perjanjian Sepihak, Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Timbal Balik Sempurna
·         Perjanjian Sepihak
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja, sedang pada pihak lain hanya ada hak saja.  Contohnya adalah perjanjian penitipan barang cuma-cuma.
·         Perjanjian timbal balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban kepada kedua belah pihak dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan-hubungan dengan yang lainnya. Contohnya adalah perjanjian jual-beli, perjanjian sewa menyewa dan perjanjian tukar-menukar.
·         Perjanjian Timbal Balik Tak Sempurna
Perjanjian  ini  pada  dasarnya  adalah  perjanjian  sepihak, karena  kewajiban pokoknya hanya ada pada salah satu pihak saja,  tetapi  dalam  hal-hal  tertentu,  dapat  timbul  kewajiban- kewajiban  pada  pihak  lain,   misalnya  perjanjian  pemberian kuasa (lastgeving) tanpa upah.
c.    Perjanjian Konsensuil dan Perjanjian Riil
·         Perjanjian Konsensuil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian di mana adanya kata sepakat  antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya perjanjian yang bersangkutan.
·         Perjanjian Riil                  
Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.Contohnya perjanjian utang-piutang, perjanjian pinjam-pakai, dan perjanjian penitipan barang.Apabila barang yang bersangkutan belum diserahkan, maka hanya terdapat suatu perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo voorovereenkomst).

4.    Unsur Perjanjian
Unsur perjanjian dapat dikategorikan sebagai berikut[9]:
a.    Essentialia, yaitu unsur daripada persetujuan yang tanpa itu persetujuan tidak mungkin ada
b.    Naturalia, yaitu unsure yang oleh undang-undang ditentukan sebagai pertauran yang bersifat mengatur
c.    Accidentalia, unsur yang oleh para pihak ditambahkan dalam persetujuan dimana undang-undang tidak mengaturnya

B.   Pengertian Franchise(Waralaba)
Waralaba diatur dalam peraturan pemerintah no 42 tahun 2007 tentang waralaba, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia N0 12/M-DAG/PER/3/2006 tetntang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pendaftran usaha waralaba. (kepmen 259).
Pengertian “franchise” berasal dari bahasa Perancis abad pertengahan, diambil dari kata “franch” (bebas) atau “francher” (membebaskan), yang secara umum diartikan sebagai pemberian hak istimewa[10]. Dengan demikian di dalam franchise terkandung makna, bahwa seseorang memberikan kebebasan untuk menggunakan atau membuat atau menjual sesuatu. pengertian waralaba menurut Peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 berbunyi sebagai berikut:
“Hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap system bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba[11]
waralaba adalah perikatan antara pemberi waralaba dandengan penerima waralaba diaman penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan atau mengunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan sejumlah kewajiban menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba[12].
Menurut Martin Mendelsohn, Pemberian sebuah lisensi (franchisor) kepada pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberikan hak kepada franchisee untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih dalam menjalankan bisnis dan untuk menjalankan dengan bantuan terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya[13].
Menurut Rooseno Harjowidigno Franchise adalah suatu sistem usaha yang sudah khas atau memiliki ciri mengenai bisnis di bidang perdagangan atau jasa, berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan, identitasperusahaan (logo, desain, merek bahkan termasuk pakaian dan penampilan karyawan), rencana pemasaran dan bantuan operasional[14].
Menurut V, Winarto Waralaba adalah hubungan kemitraan antara usahawan yang usahanya kuat dan sukses dengan usahawan yang relatif baru atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling menguntungkan khususnya dalam bidang usaha menyediakan produk dan jasa langsung kepada konsumen[15].
Menurut Janet Housden dalam Munir Fuady Franchise adalah suatu ikatan kontraktual terhadap suatu kepentingan dalam mana, suatu organisasi yaitu pihak franchisor, yang telah mengembangkan suatu formula untuk menghasilkan dan/atau menjual produk atau servis, diperlukan haknya untuk menjalankan bisnis kepada perusahaan lain, yaitu pihak franchisee, dengan batasan-batasan dan pengawasan tertentu. Dalam hampir semua franchisee yang penting. Dalam menjalankan bisnisnya secara franchise, pihak franchisee selalu menggunakan nama pihak franchisor sebagai nama dagangannya[16].
Menurut Dov Izraeli, franchise berarti memberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau mempunyai hak atau menggunakan sesuatu dalam tempat tertentu[17]. Menurut Charles L Vaughn, istilah franchise dipahami sebagai bentuk kegiatan pemasaran dan distribusi. Di dalamnya sebuah perusahaan memberikan hak atau privilege untuk menjalankan bisnis secara tertentu dalam waktu dan tempat tertentu kepada individu atau perusahaan yang relatif lebih kecil[18].
Dilihat dari perspektif bisnis, istilah waralaba juga dapat dipahami sebagai salah satu bentuk aktivitas pemasaran dan distribusi di mana perusahaan yang besar memberikan hak-hak istimewa kepada perusahaan kecil atau individu untuk menjalankan bisnis waralaba tersebut di suatu tempat dan waktu tertentu.Waralaba juga dapat dipahami sebagai salah satu bentuk metode produksi dan distribusi barang atau jasa kepada konsumen dengan menggunakan satu standar dan sistem eksplotasi tertentu. Definisi dari standar dan sistem ekspolitasi tersebut meliputi kesamaan dan penggunaan nama perusahaan, merek, sistem produksi, tata cara pengemasan, penyajian dan distribusinya[19].
Dari rumusan yang diberikan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa Franchise merupakan suatu Perikatan, yang tunduk pada ketentuan umum mengenai Perikatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Disamping itu Franchise didalam melibatkan hak pemanfaatan dan atau penggunaan hak atas intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha, yang dimaksudkan dengan hak atas intelektual meliputi antara lain merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang dan paten, dan yang dimaksudka dengan penemuan atau ciri khas usaha yaitu sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemiliknya.

C.   Pembahasan
1.    Apakah Asas Itikad Baik dan Kepatutan Harus Menjadi Landasan Bagi Para Pihak Pada  Waktu Membuat Perjanjian?
Asas itikad baik dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang berbunyi: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Itikad baik menurut pasal tersebut adalah bahwa pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan[20].  Mengenai apa yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan, undang-undang tidak memberikan rumusannya. Oleh karena itu, tidak ada ketetapan batasan mengenai pengertian istilah tersebut.
Berdasarkan arti kedua kata tersebut, kiranya dapat digambarkan kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut; pantas; layak; sesuai; cocok; sopan dan beradab, sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang membuat perjanjian[21].
Dengan dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti juga bahwa kita harus menafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatutan. Dalam KUH Perdata, kepatutan (asas kepatutan) dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut kepatutan, kebiasaan atau undang-undang[22].
Pada umumnya, itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata) dan kepatutan (Pasal 1339) KUH Perdata disebutkan secara senafas dan Hoge Raad (H.R.) dalam putusan tanggal 11 Januari 1924 telah sependapat bahwa apabila hakim setelah menguji dengan kepantasan dari suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan maka berati perjanjian bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan demikian, dalam pelaksanaan perjanjian terjadi hubungan yang erat antara keadilan, kepatutan dan kesusilaan dengan itikad baik.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, jika terjadi selisih pendapat tentang pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik (kepatutan dan kesusilaan), maka hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan perjanjian, apakah ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutan dan kesusilaan itu. Hal ini berarti bahwa hakim berwenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut kata-katanya, apabila pelaksanaan perjanjian menurut kata-katanya akan bertentangan dengan itikad baik (apabila pelaksanaan menurut norma-norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil). Hal ini bisa dimengerti karena tujuan hukum adalah menjamin kepastian (ketertiban) dan menciptakan keadilan.
Keadilan dalam hukum itu menghendaki adanya kepastian, yaitu apa yang diperjanjikan harus dipenuhi karena janji itu mengikat sebagaimana undang-undang (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata). Sedangkan yang harus dipenuhi tersebut sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, asas keadilan).Hakim berwenang mencegah suatu pelaksanaan perjanjian yang tidak adil, yaitu tidak sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan.
Berdasarkan ketentuan di atas baik yang bersumber pada undangundang maupun pada doktrin dari para ahli hukum, maka untuk dapat mengatakan apakah ada itikad baik dalam penyusunan perjanjian antara para pihak (franchisor dan franchisee) dapat dicermati dari pasal-pasal yang ada dalam perjanjian tersebut.Sulit diharapkan terjadinya keseimbangan kepentingan antara franchisor dan franchisee mengingat perjanjian ini dibuat oleh pihak yang kuat, yaitu pemilik teknologi maupun HKI, yaitu franchisor. Perjanjian ini bentuknya sudah baku dan calon franchisee hanya punya kesempatan untuk setuju atau tidak, tanpa kemampuan untuk merubah draft perjanjian.

2.    Apakah Asas Kebebasan Berkontrak HarusMenjadi Landasan Bagi Para Pihak Pada Saat Membuat Perjanjian?
Dalam Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia,  kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat  (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya[23].
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula.  Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.
Asas  ini  memberikan  informasi  bahwa  suatu  perjanjian  pada dasarnya  sudah ada  sejak tercapainya  kata  sepakat  diantara  para pihak dalam perjanjian  tersebut. Asas konsensualisme yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti kemauan para pihak untuk  saling  mengikatkan  diri  dan   kemauan  ini  membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian itu akan dipenuhi.
Eggens dalam Ibrahim[24] menyatakan, asas konsensualitas merupakan suatu puncak  pengikatan manusia yang tersirat dalam pepatah: een man een man, een word een word. Selanjutnya dikatakan olehnya bahwa ungkapan “orang harus dapat dipegang ucapannya” merupakan tuntutan kesusilaan, akan tetapi Pasal 1320KUH Perdata menjadi landasan hukum untuk penegakannya. Tidak dipenuhinya syarat konsensualisme dalam perjanjian  menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan, karena tidak memenuhi syarat subyektif.
Asas ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian.Konsensualisme mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi karena adanya kata sepakat atau kehendak yang bebas dari para pihak yang membuat perjanjian mengenai isi atau pokok perjanjian.[25]
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa :”Semua perjanjian  yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang  membuatnya”. Di dalam pasal tersebut dijumpai asas  Konsensualisme  yang  terdapat  pada  kata  “…perjanjian  yang dibuat secara sah…”, yang menunjuk pada pasal 1320 KUH Perdata, terutama pada ayat (1) yaitu mereka sepakat  mengikatkan dirinya. Dengan  asas  konsensualisme  berarti perjanjian itu lahir  pada saat
Tercapainya kata sepakat dari para pihak yang mengadakan perjanjian untuk saling mengikatkan  dirinya.  Pada perjanjian yang bersifat obligatoir, kesepakatan yang dibuat telah mengikat para pihak. Asas konsensualisme ini kemudian berpengaruh pada bentuk perjanjian yaitu dengan adanya Konsensualisme, perjanjian itu lahir atau terbentuk pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak sehingga tidak diperlukan lagi bentuk formalitas lain.  Akibatnya perjanjian yang terjadi karena kata sepakat tersebut, merupakan perjanjian yang bebas sehingga dapat lisan maupun tertulis.
Dari dokumen perjanjian yang ditanda tangani para pihak, di mana perjanjian ini sifatnya perjanjian baku yang telah disiapkan oleh pihak yang lebih kuat, yaitu franchisor maka dapat dipastikan isinya telah dirancang oleh pihak dan untuk keuntungan franchisor.  Perjanjian yang mempunyai sifat baku tidak memberi peluang yang cukup bagi pihak yang lebih lemah untuk mengekspresikan kebebasan yang didasarkan asas kebebasan berkontrak guna melindungi kepentingannya sebagai pihak dalam perjanjian.
Dari pasal-pasal yang ada dapat dilihat kebebasan untuk tercapainya kesepakatakan tidak terjadi dengan berimbang, karena didominasi calon franchisor terhadap calon franchisee.  Pada pasal yang mengatur hak dan kewajiban terlihat kepentingan franchisor lebih mendapat perlindungan hukum dibanding dengan kepentingan franchisee
Berdasarkan ketentuan di atas baik yang bersumber pada undang-undang maupun pada doktrin dari para ahli hukum, maka untuk dapat mengatakan apakah ada itikad baik dalam penyusunan perjanjian antara para pihak (franchisor dan franchisee) dapat dicermati dari pasal-pasal yang ada dalam perjanjian tersebut. Sulit diharapkan terjadinya keseimbangan kepentingan antara franchisor dan franchisee mengingat perjanjian ini dibuat oleh pihak yang kuat, yaitu pemilik teknologi maupun HKI, yaitu franchisor. Perjanjian ini bentuknya sudah baku dan calon franchisee hanya punya kesempatan untuk setuju atau tidak, tanpa kemampuan untuk merubah draft perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak sebagaimana dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mempunyai hubungan erat dengan Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai asas konsensualisme yang menjadi salah satu syarat syahnyasuatu perjanjian kemungkinan besar dilanggar dengan adanya perjanjian baku tersebut. Subekti dalam Hasanuddin Rahman menyatakan bahwa pelanggaran terhadap asas konsensualisme akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak.

BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan di atas baik yang bersumber pada undang-undang maupun pada doktrin dari para ahli hukum, maka untuk dapat mengatakan apakah ada itikad baik dalam penyusunan perjanjian antara para pihak (franchisor dan franchisee) dapat dicermati dari pasal-pasal yang ada dalam perjanjian tersebut. Sulit diharapkan terjadinya keseimbangan kepentingan antara franchisor dan franchisee mengingat perjanjian ini dibuat oleh pihak yang kuat, yaitu pemilik teknologi maupun HKI, yaitu franchisor. Perjanjian ini bentuknya sudah baku dan calon franchisee hanya punya kesempatan untuk setuju atau tidak, tanpa kemampuan untuk merubah draft perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak sebagaimana dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mempunyai hubungan erat dengan Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai asas konsensualisme yang menjadi salah satu syarat syahnyasuatu perjanjian kemungkinan besar dilanggar dengan adanya perjanjian baku tersebut. Subekti dalam Hasanuddin Rahman menyatakan bahwa pelanggaran terhadap asas konsensualisme akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak
B.   Saran
Dari kesimpulan sebagaimana tersebut di atas maka ada beberapa hal yang dapat dijadikan saran dalam pelaksanaan kerja sama bisnis dengan sistem franchise, yaitu:
1.    Perlu segera diatur undang-undang yang secara langsung mengatur tentang franchise.
2.    Sebaiknya franchisee dan franchisor menggunakan jasa konsultan hukum dalam penyusunan perjanjian franchisenya.
3.    Pihak franchisor berkewajiban untuk memberikan informasi tentang segala sesuatu yang terkait dengan usaha franchisenya secara lengkap dan transparan kepada calon franchisee. Dan kepada calon franchisee diharapkan mempelajarinya secara utuh.
4.    Selama kerja sama berlangsung, franchisor harus membantumemberikan nasehat, bimbingan dan pelatihan kepada franchisee,agar usaha yang dijalankan bisa sukses, sehiingga sama-samamenguntungkan bagi pihak franchisor maupun pihak franchisee.




DAFTAR PUSTAKA

A.   BUKU
Abdul Kadir Mohammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung , 1992.
Darmawan Budi Suseno, Sukses usaha Waralaba Mudah, Resiko rendah dan Menguntungkan, Cakrawala, Yogyakarta, 2007
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Waralaba, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2001
Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas KebebasanBerkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, Penerbit CV Utomo, 2003
Munir Fuady, Pembiayaan Perusahaan Masa kini (Tinjauan Hukum Bisnis), PT Citra Aditya Bandung, 1997
Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang lahir Dari Perjanjian Dan Dari Undang-Undang), CV, Mandar Maju, bandung, 1994, hal. 67
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, PT Rineka Cipta, Jakarta 2003
Ridwan Khairandy, “Perjanjian Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi”, Insan Budi Maulana, et.al. ed., Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Yayasan Klinik HAKI Jakarta-PSH Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2000
Setiawan R, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bumi Cipta, Bandung, 1997
Wiryono Projodikoro, Pokok-Pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung

B.   JURNAL DAN ARTIKEL
Iswanto, Bambang Tjatur, 2007, Perlindungan Hukum Terhadap Franchise Dalam Perjanjian Franchise di Indonesia, Tesis S2, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
M. Udin Silalahi, “Perjanjian Franchise Berdasarkan Hukum Persaingan Eropa,” Jurnal Hukum Bisnis,vol 6, 1999
Ridwan Khairandy, “Franchise dan Kaitannya Sebagai Sarana Alih Teknologi: Suatu Tinjauan Hukum,” Jurnal Hukum, No. 7, Vol. 4, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1997
Rooseno Harjowidigno, Aspek-Aspek Hukum Tentang Franchising, Seminar IKADIN, Surabaya, Oktober, 1993

C.   PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN
Peraturan Pemerintah Nomor  42 Tentang Waralaba
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia N0 12/M-DAG/PER/3/2006 tetntang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pendaftran usaha waralaba. (kepmen 259).

D.   INTERNET
http://www.franchise-id.com pada tanggal 19 oktober 2011
www.plasa.com pada tanggal 19 oktober 2011


[1] Darmawan Budi Suseno, Sukses usaha Waralaba Mudah, Resiko rendah dan Menguntungkan, Cakrawala, Yogyakarta, 2007, Hlm 19.
[2]Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, PT Rineka Cipta, Jakarta 2003, hlm 57.
[3] http://www.franchise-id.com pada tanggal 19 oktober 2011 pukul 21.30 WIB
[4]Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Waralaba, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, tahun 2001, hlm. 108.
[5] Iswanto, Bambang Tjatur, 2007, Perlindungan Hukum Terhadap Franchise Dalam Perjanjian Franchise di Indonesia, Tesis S2, Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang hlm 5.
[6]Abdul Kadir Mohammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung , 1992, hlm 78.
[7] Setiawan R, 1997, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bumi Cipta, Bandung, hlm 49.
[8] Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit, hlm, 95
[9] R. Setiawan, Op. Cit, hlm 50.
[10] M. Udin Silalahi, “Perjanjian Franchise Berdasarkan Hukum Persaingan Eropa,” Jurnal Hukum Bisnis,vol 6, 1999, hlm 59
[11]Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 42 Tentang Waralaba
[12] Pasal 1 ayat 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia N0 12/M-DAG/PER/3/2006 tetntang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pendaftran usaha waralaba. (kepmen 259).
[13]Diambil  http://www.franchise-id.com pada tanggal 19 oktober 2011 pukul 23.15
[14] Rooseno Harjowidigno, Aspek-Aspek Hukum Tentang Franchising, Seminar IKADIN, Surabaya, Oktober, 1993, hlm. 17-18
[15] Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas KebebasanBerkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, Penerbit CV Utomo, 2003, hlm  37.
[16] Munir Fuady, Pembiayaan Perusahaan Masa kini (Tinjauan Hukum Bisnis), PT Citra Aditya Bandung, 1997, hlm. 136
[17] Ridwan Khairandy, “Franchise dan Kaitannya Sebagai Sarana Alih Teknologi: Suatu Tinjauan Hukum,” Jurnal Hukum, No. 7, Vol. 4, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1997, hlm 28
[18] Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 150.
[19]Ridwan Khairandy, “Perjanjian Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi”, Insan Budi Maulana, et.al.ed., Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Yayasan Klinik HAKI Jakarta-PSH Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2000, hlm. 133
[20] Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 99.
[21]Johanes Ibrahim, Op. Cit,hal. 99
[22]Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang lahir Dari PerjanjianDan Dari Undang-Undang), CV, Mandar Maju, bandung, 1994, hal. 67.
[23]www.plasa.com pada tanggal 19 oktober 2011 pukul 23.30 WIB.
[24] Johannes Ibrahim, Op. Cit, hal. 37.
[25]Wiryono Projodikoro, Pokok-Pokok Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung, hlm. 21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar