A. Kasus Posisi
Awal Juni, tepatnya 3 Juni
2010, Ariel tersandung isu video porno mirip dirinya bersama Luna Maya yang
saat ini menjadi kekasihnya, dan juga Cut Tari. Pada Selasa dini hari (22 Juni
2010) sekitar pukul 3 pagi Ariel mendatangi Mabes Polri, dan status Ariel ditetatapkan
sebagai tersangka. Ariel terancam pasal berlapis karena secara sadar
mendokumentasikan hubungan intim yang kemudian tersebar dan menjadi tindakan
asusila, dengan hukuman minimal 6 tahun penjara.
Kabar selanjutnya
menyebutkan bahwa pengacara Ariel, OC Kaligis menyatakan Ariel terjerat Pasal 4
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman
penjara maksimal 12 tahun, Pasal 282 tentang Kesusilaan dan Pasal 27 ayat (1),
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE)
Pemeriksaan terhadap kasus
video porno dengan tersangka Ariel masih terus dilanjutkan, dengan penemuan
bukti-bukti sah, yaitu video mirip Ariel, saksi ahli, juga 2 PC yang ada di
base-camp Peterpan di Bandung, yang terdapat gambar-gambar yang mendukung. Setelah
beberapa lama mendekam di Mabes Polri, pada 20 Oktober 2010, Ariel dipindahkan
ke Rumah Tahanan Kebonwaru, Bandung. Di Rutan ini, Ariel ditahan di Blok B,
disatukan dengan para tahanan lainnya.
Berkas Ariel telah dinyatakan
lengkap alias P21 oleh Kejaksaan Agung. Berbeda dengan lawannya mainnya, Cut
Tari yang dijerat dengan Undang-Undang Darurat 1951, Ariel disangkakan membantu
menyebarkan video porno yang dimainkannya sendiri. Keputusan ini berdasarkan
surat P-21 bernomor B 2165/E/II/EPP/X/2010 tertanggal 19 Oktober 2010 yang
ditandatangani oleh direktur prapenuntutan pada JAM Pidum, I Ketut Pratana. Ariel
dijerat dengan pasal 29 UU No 44/1978 tentang Pornografi jo pasal 56 Kedua
KUHP, pasal 27 ayat 1 UU No 11/1978 tentang ITE jo pasal 56 kedua KUHP, dan
pasal 282 ayat 1 KUHP jo pasal 35 UU No 44/1978 tentang Pornografi.
Pada Senin (22/11), Ariel
resmi menjalani persidangan pertamanya. Sidang ini dilaksanakan secara tertutup
dan didakwa melanggar Pasal 29 UU RI No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi Jo
Pasal 56, denda minimal 6 bulan paling lama 12 tahun, dan atau denda Rp. 250
juta paling banyak dendanya Rp. 6 milyar. Selain itu, pasal subsider yang
didakwakan kepada Ariel adalah Pasal 27 ayat 1 jo pasal 45 ayat 1 UU RI No. 11
tahun 2008 ITE ancaman hukuman 6 tahun denda Rp. 1 milyar. Dari semua pasal
ini, Ariel dituduh sengaja menyebarkan video porno, dan persidangan akan
dilanjutkan satu minggu kemudian.
B. Fakta Hukum
·
Pada awal bulan juni tepatnya tanggal 3 juni
berdar 2 video porno yang dilakukan oleh ariel dengan luna maya dan ariel
dengan cut tari di dunia maya.
·
Video porno ini diunggah ke dunia maya
pertama kali dilakukan oleh reza rizaldy yang merupakan asisten atau musik
editor. Dan merupakan editor yang yang sangat disukai oleh ariel sendiri.
·
Video porno ini diambil dari computer jinjing
atau laptop yang di miliki oleh ariel peterpan sendiri. Padahal pada waktu itu
ariel meminta reza rizaldy agar tidak mengutak-atik computer jinjing milik dia.
·
Pada akhir bulan juni cut tari mengakui bahwa
orang yang ada dalam video porno tersebut merupakan dirinya.
·
Pemeriksaan terhadap kasus video porno dengan
tersangka Ariel masih terus dilanjutkan, dengan penemuan bukti-bukti sah, yaitu
video mirip Ariel, saksi ahli, juga 2 PC yang ada di base-camp Peterpan di
Bandung, yang terdapat gambar-gambar yang mendukung
·
Ariel dijerat dengan Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman penjara maksimal
12 tahun, Pasal 282 tentang Kesusilaan dan Pasal 27 ayat (1), UU Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE)
·
Ariel berpendapat bahwa video porno tersebut
merupakan video pribadi dirinya sehingga dia tidak dapat dihukum.
·
Pada awal persidangan jaksa penuntut umum
membacakan surat dakwaan sebagai berikut :
Bahwa pada waktu antara tanggal 20
Januari 2006 sampai bulan Juli tahun 2006 atau setidak-tidaknya pada
waktu-waktu lain dalam tahun 2006, bertempat di Studio Musik Capung Jl.
Antapani Bougenville Blok L No.2 Bandung dan di Jl. Tamborin No.12 RT.006/002
Kel. Turangga Kec. Lengkkong Bandung terdakwa dengan sengaja memberi
kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan kepada REZA
RIZALDY Alias REJOY Alias JOY dan ANGGIT GAGAH PRATAMA telah memproduksi,
membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi yang secara eksplisit membuat persenggamaan, termasuk persenggamaan
yang menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin atau pornografi anak,
dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentranmisikan dan atau
membuat dapat diaksesnya Informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Adapun pasal-pasal yang didakwakan
adalah sebagai berikut:
ü Pertama
Pasal 29 Jo Pasal 4 ayat (1) UU RI No.44 tahun 2008 tentang Pornografi Jo Pasal
56 ke-2 KUHP.
ü Kedua
Pasal 27 Jo Pasal 45 ayat (1) UU RI No.44 tahun 2008 tentang Pornografi Jo
Pasal 56 ke-2 KUHP.
ü Ketiga
Pasal 282 ayat (1) KUHP Jo Pasal 56 ke-2 KUHP.
C. Identifikasi Masalah
·
Apakah ariel peterpajn atau Nazriel Ilham
telah melakukan tindak pidana yang terdapat dalam pasal 4 dan 27 undang-undang
pornografi?
·
Apakah ariel peterpajn atau Nazriel Ilham
telah melakukan tindak pidana yang terdapat dalam pasal Pasal 27 ayat 1 jo
pasal 45 ayat 1 UU RI No. 11 tahun 2008 ITE ?
D. Putusan
Majelis hakim menolak
pembelaan Nazriel Irham alias Ariel Peterpan bahwa video asusila yang beredar
di masyarakat dimaksudkan untuk kepentingan pribadi. Menurut hakim, alasan
untuk dimiliki sendiri tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan mengikat.
Sebab, hal itu hanya diletakkan pada bagian penjelasan pasal undang-undang yang
dipakai menjerat Ariel. Hakim berwenang menafsirkan lain sepanjang tidak
bertentangan dengan aturan dalam batang tubuh.
Hal ini dikemukakan ketua
majelis hakim, Singgih Budi Prakoso, saat membacakan pertimbangan putusan kasus
video asusila Ariel di Pengadilan Negeri Bandung, Senin (31/1). Ariel divonis
bersalah melanggar Pasal 29 jo Pasal 4 ayat (1) UU No 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi, pada dakwaan pertama primer.
Pasal 4
Setiap orang dilarang
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
·
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang
menyimpang;
·
kekerasan seksual;
·
masturbasi atau onani;
·
ketelanjangan atau tampilan yang mengesanka
ketelanjangan;
·
alat kelamin; atau
·
pornografi anak.
Pasal 29
Setiap orang yang
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah).
Sebenarnya, bagian
penjelasan pasal 4 ayat (1) ini mengecualikan pembuatan video pornografi untuk
kepentingan diri sendiri. Namun, menurut majelis, aturan ini mempersempit
aturan dalam batang tubuh. “Padahal, penjelasan tidak boleh mempersempit,
mengecualikan, atau meniadakan makna pasal,” tandas Singgih.
Pertimbangan majelis ini
menguatkan keterangan ahli Chaerul Huda, pengajar hukum pidana Universitas
Muhammadiyah Jakarta, dalam sidang pembuktian. Menurut Chaerul, video asusila
tersebut termasuk kategori gambar yang memperlihatkan perzinahan. “Ada
aktivitas seksual sesuai KUHP dan UU Pornografi,” katanya dalam keterangan
sebagaimana dimuat dalam putusan majelis.
Chaerul mempertegas, alasan
untuk kepentingan sendiri atau koleksi pribadi video asusila harus ditolak.
“Pembuatan video ini dapat dipandang sebagai membuat pornografi sesuai pasal 29
UU Pornografi. Dalam undang-undang itu, tidak disyaratkan adanya motivasi
tertentu. Jadi, dengan alasan apapun, pembuatan video itu sudah masuk dalam
pengertian pasal tersebut dan dapat dipidana,” katanya.
E. Analisis Kasus
Menurut aliran Hukum Murni
(Reine Rechtlehre) Hans Kelsen, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu
:
·
Hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir
yang nonyuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis.
·
Yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah
“bagaimana hukum itu seharusnya (what the law ought to be) tetapi “apa
hukumnya” (what the law is).
·
Yang dipakai adalah hukum positif (ius
constitutum) bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).
Bunyi pasal 282 ayat 1 KUHP
“Barang siapa menyiarkan,
mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan gambaran atau benda yang
telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud
untuk disiarkan, dipertunjukan atau di muka umum, membikin tulisan, gambaran
atau benda tersebut, memasukannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkan
dari negeri, atau mempunyai dalam
persediaan atau barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan
surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukannya.”
Undang-Undang tentang
Pornografi (UU No. 44 tahun 2008) Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
§ persenggamaan,
termasuk persenggamaan yang menyimpang;
§ kekerasan
seksual;
§ masturbasi
atau onani;
§ ketelanjangan
atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
§ alat
kelamin; atau
§ pornografi
anak
Pasal 9
”Setiap orang dilarang
menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan
pornografi.”
Undang-Undang ITE juga
dipersiapkan untuk menjerat Ariel. Pasal yang dipakai adalah Pasal 27 (1).
Pasal ini berbunyi:
”Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak mendistribusikan dan atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik
yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaaan.
Sedangkan materi dalam UU
pornografi berkait dengan : dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara
eksplisit.... Juga sama saja tidak bisa
menjerat Ariel dengan telak kecuali dipaksakan pada item :menyebar luaskan yang
disamakan pembuktiannya dengan membuat
atau merekam video yang secara implisit mengandung niat untuk menyebar
luaskan. Hanya saja dalam ajaran hukum murni tidak mengenal pembuktian
implisit, bahkan dalam hal ini bisa dibalik bahwa ariel dkk adalah korban dari
penyebaran video porno. UU ini masih
belum mampu untuk menjerat pelaku video porno.
Semua pasal di atas sulit
dipakai untuk menjerat Ariel. Alasan
paling utama, polisi tidak punya bukti telak, Ariel menyebarkan video itu. Kosa
kata ”mempertunjukkan di muka umum” bisa diperdebatkan. Kendati demikian,
memang pasal 282 KUHP yang cukup punya peluang (atau tepatnya bisa
”dipaksakan”) menjerat Ariel. Hanya hukumannya memang tidak setinggi
Undang-Undang Pornografi. Maksimal ”hanya” satu setengah tahun penjara.
Undang-Undang tentang Pornografi
sulit dipakai untuk menjerat Ariel. Sulit membuktikan video itu dibuat
untuk kepentingan orang lain, apalagi kepentingan komersil. Jika pihak Ariel bisa membuktikan video itu
dibuat sebelum tahun 2008, artinya, sebelum UU Pornografi dibuat, maka, polisi
tak bisa memakai undang-undang ini untuk
menjerat Ariel.
Yang paling telak sebenarnya
bisa digunakan Pasal perzinahan. Di sini unsur terpenting adalah adanya orang yang mengadukan perbuatan Ariel. Dalam
delik perzinahan, suami atau istri pihak utama yang bisa melaporkan kasus itu
ke polisi. Persoalannya di sini, suami Cut Tari, setidaknya, sampai detik ini,
tak berminat mengadukan kasus ini ke polisi.
Hukum merupakan institusi
sosial yang secara khusus dijadikan sarana untuk mewujudkan keadilan. Hukum
sebagai institusi karena memenuhi persyaratan yang diajukan, yaitu hukum
memiliki stabilitas, yang artinya hukum memberikan keteraturan dan usaha untuk
mendapatkan keadilan dalam masyarakat. Hukum memberikan suatu kerangka sosial,
yakni dalam upaya pemenuhan kebutuhan akan keadilan, yang kemudian ditampilkan
dalam bentuk norma hukum. Dalam mencapai kebutuhan tersebut, hukum berinteraksi
dengan institusi-institusi sosial yang lain dalam masyarakat yang bersangkutan.
Hukum sebagai institusi sosial secara umum bertujuan untuk menyelenggarakan
keadilan dalam masyarakat, yang mana penyelenggaraan tersebut berkaitan erat
dengan tingkat kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk melaksanakannya.
Hal ini berarti bahwa institusi hukum berhubungan dengan perkembangan
masyarakat tempat hidupnya. Lembaga sosial, dimana hukum juga termasuk sebagai
lembaga sosial, perlu pelembagaan agar kaidah-kaidah hukum mudah dimengerti,
ditaati, dihargai, terutama dalam proses kehidupan sehari-hari yang pada
gilirannya masyarakat akan menjiwainya (internalized). Pelembagaan ini
bertujuan agar fungsi sosial hukum (sebagai institusi sosial) dapat tercapai
dan dapat digunakan sebagai sarana.
Dalam konteks
sosio-kultural, meskipun Ariel bukan penyebar video, ia dapat dihukum dengan
menggunakan UU pornografi, karena dianggap telah menjadi pelaku penyebaran
pornografi, dalam kerangka menjadi sebab utama adanya peristiwa itu, meskipun
UU itu menyatakan tidak berlaku surut. Hal yang perlu diperhatikan bahwa
terjadinya pornografi adalah bukan pada saat terjadi pezinahan, tetapi pada
saat terjadinya penyebaran perzinahan tersebut, yaitu pada bulan Juni 2010.
Cara berpikir ini adalah cara berpikir sosio kultural yang meletakkan hakekat
peristiwa pada akibat yang ditimbulkannya, bukan pada kejadiannya. Sesuai
dengan pendapat Emile Durkheim mengemukakan bahwa fakta sosial dapat dijelaskan
dengan mempelajari fungsinya, menurutnya mencari fungsi suatu fakta sosial
berarti “… determine whether there is a
correspondence between the fact under consideration and the general needs of
the social organism …” Contoh yang diberikan Durkheim adalah hukuman yang
berfungsi untuk tetap memelihara intensitas sentimen kolektif yang ditimbulkan
oleh kejahatan. Tanpa suatu hukuman maka sentimen kolektif akan segera lenyap.
Hukum secara sosio kultural berfungsi menentukan apakah ada hubungan antara
peristiwa tersebut dengan kepentingan
masyarakat. Kasus Ariel mempunyai akibat sosial yang sangat luas, hal itu bisa
dibuktikan dengan pemberitaan media masa mengenai berkembangnya kasus tersebut
menjadi perusak Moral remaja dan anak-anak, ribuan keping video telah terjual,
kemudian beredarnya video tersbut pada telepon genggam para pelajar. Bagi
masyarakat bukti tersebut merupakan hal yang cukup untuk melakukan tindakan
hukum, yaitu mengadili pelakunya melalui peradilan yang memperhatikan fakta
sosial sebagai sumber hukum, tidak hanya memperhatikan bunyi pasal
Undang-undang. Sebagaimana dikatakan oleh Hart bahwa Hukum paling baik dipahami
sebagai cabang moralitas atau keadilan, dan bahwa yang menjadi esensinya adalah
kesejalanan dengan prinsip moral dan keadilan , bukan wujudnya yang mencakup
perintah dan ancaman. Dalam pemikiran ini dapat dipahami bahwa pelanggaran
terhadap prinsip moral dan keadilan masyarakat merupakan pelanggaran yang
serius yang seharusnya ditampung oleh hukum. Dengan memperhatikan hal ini, para
penegak hukum dapat menjerat Ariel dengan mnggunakan Undang-undang yang ada.
Hal tersebut juga berkaitan
dengan pemaknaan dan pemahaman (verstehen) apakah tindakan Ariel merupakan
tindakan sosial ataukah tindakan individual. Menurut Max weber pemahaman
terhadap tindakan sosial dilakukan dengan meneliti makna subyektif yang
diberikan individu terhadap tindakannya, karena manusia bertindak atas dasar
makna yang diberikannya pada tindakan tersebut. Dalam kenyataannya, terhadap
penyerahan diri Ariel kepada polisi,
kemudian pengakuan dan permohonan maaf
Cut Tari kepada publik, secara implisit bisa dimaknai bahwa mereka telah
melakukan tindakan yang asosial, tindakan merusak tatanan masyarakat. Tindakan
ini adalah makna subyektif yang dimaksudkan Max Weber dimana pemaknaan merubah
tindakan individu menjadi tindakan sosial. Dengan demikian mau tidak mau hukum
harus memperhatikan kasus ini sebagai kasus sosio kultural, yang berhubungan
dengan pelanggaran terhadap nilai-nilai sosio kultural masyarakat Indonesia.
Teori di atas cukup untuk
menjadi alasan Hakim dalam memutuskan hukum terhadap kasus tersebut, dengan
mengambil pasal dari Undang-undang pornografi. Pasal 4 (1) yang menyatakan
bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi. Pasal ini dapat
dipahami dengan penjelasan teori sosio-kultural, sehingga yang dimaksud dengan
deretan kegiatan yang telah disebutkan dalam pasal itu pada dasarnya adalah
kegiatan berurutan, dari memproduksi sampai dengan menyebarluaskan dan
menyediakan pornografi. Suatu hal yang jelas dapat dipikirkan secara logis
bahwa kegiatan memproduksi memang berbeda dengan kegiatan menyebarluaskan
apabila dilakukan dalam konteks manajemen, akan tetapi dalam kasus ini tidak
terkait dengan masalah menejerial, dimana
kedua hal tersebut menjadi satu perbuatan yang sama karena fungsinya.
Dalam logika hubungan fungsional, kegiatan produksi/ merekam peristiwa juga
berfungsi dan menjadi penyebab untuk menyebar luaskan video, karena secara fungsional tidak akan ada penyebarluasan
apabila tidak ada perekaman atau produksi video. Dalam hal ini polisi hanya
membuktikan hubungan fungsional antara produksi dengan penyebaranya, melalui
pembuktian sebab dan akibat secara sosial budaya. Apabila dapat dibuktikan hubungan fungsional
ini maka ketentuan tidak berlaku surut pada Undang-undang pornografi, tidak
akan menghalangi hukum untuk menjerat Ariel, karena dengan adanya pembuktian
tersebut, waktu terjadinya peristiwa hukum adalah pada bulan Juni 2010, bukan
pada tahun 2006 saat terjadi perzinahan antara mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar