A.
Sejarah
dan Pengertian Hak Manusia
Prinsip pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
merupakan bagian dari prinsip perlindungan hukum. Istilah hak asasi manusia di Indonesia,
sering disejajarkan dengan istilah hak- hak kodrat, hak-hak dasar manusia.
natural rights, human rights, fundamental rights, gronrechten, mensenrechten,
rechten van den mens dan fundamental rechten Menurut Philipus M Hadjon, di
dalam hak (rights), terkandung adanya suatu tuntutan (claim)[1].
Menurut pasal 1 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM Pengertian hak asasi manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hak-hak asasi manusia
(HAM) adalah hak-hak yang (seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak
yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat kelahiran manusia itu
sebagai manusia. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia
sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, dimana hak asasi ini menjadi
dasar hak dan kewajiban yang lain[2].
Hak yang mendasar itu melekat kuat dengan jati diri kemanusiaan manusia. Siapa
pun manusianya berhak memiliki hak tersebut. Berarti, di samping keabsahannya
terjaga dalam eksistensi kemanusiaan manusia, juga terdapat kewajiban yang
sungguh-sungguh untuk bisa mengerti, memahami, dan bertanggungjawab untuk
memeliharanya[3].
HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia, jadi
manusia memilikinya bukan karena diberikan oleh hukum positif atau masyarakat,
melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia[4].
Pasal
1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia merumuskan pengertian
HAM sebagai perangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dari
pengertian di atas dapat dipahami bahwa HAM itu adalah hak yang tidak
terpisahkan dari esensi dan eksistensi manusia dan merupakan anugerah Tuhan
Yang Maha Esa yang harus dihormati dan dilindungi oleh siapapun juga. Mengabaikannya
berarti mengingkari anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus berarti pula
mengingkari eksistensiNya sebagai al-Khaliq. Manusia merupakan makhluk yang paling mulia dalam pandangan Tuhan . Ia
diberiNya akal budi yang menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk. Karenanya martabat manusia yang mulia
tersebut harus dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang melekat
padanya. Hak hak itu meliputi :
1.
Hak untuk hidup
2.
Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
3.
Hak mengembangkan diri
4.
Hak memperoleh keadilan
5.
Hak atas kebebasan pribadi
6.
Hak atas rasa aman
7.
Hak atas kesejahteraan
8.
Hak turut serta dalam pemerintahan
9.
Hak wanita
10.
Hak anak[5]
Rincian di atas apabila
disimpulkan lebih lanjut dapat dipahami bahwa pada hakikatnya HAM itu terdiri
atas dua hak dasar yang paling fundamental yaitu hak persamaan dan hak
kebebasan. Kedua hak dasar ini saling mempengaruhi dan sekaligus akan menjamin
terpenuhinya pula hak asasi yang lain. Sebagai contoh, tidak mungkin kehidupan
demokrasi dapat diwujudkan kalau rakyat tidak dijamin hak persamaan dan hak
kebebasannya untuk memilih wakil wakilnya di parlemen[6].
Penerapan HAM sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 39 Tahun 1999 hanya dapat
dibatasi berdasarkan Undang Undang. Pembatasan itu hanya dapat dilakukan demi
ketertiban umum dan kepentingan bangsa bukan kepentingan penguasa. Untuk itu
tidak ada satu ketentuanpun dalam Undang Undang tentang HAM di atas boleh
diinterpretasikan bahwa pemerintah atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak
atau menghapuskan HAM. Oleh karenanya siapapun tidak dibenarkan mengambil
keuntungan sepihak dan/atau mendatangkan kerugian bagi pihak lain dalam
menginterpretasikan ketentuan dalam Undang Undang Tentang HAM sehingga
mengakibatkan berkurang dan terhapusnya HAM yang dijamin oleh Undang Undang
tersebut[7]Prinsip
Doktrin tentang Hak Asasi Manusia sekarang ini sudah diterima secara universal
sebagai a moral, political, legal framework and as a guideline dalam membangun
dunia yang lebih damai dan bebas dari ketakutan dan penindasan serta perlakuan
yang tidak adil. Oleh karena itu, dalam paham negara hukum,jaminan perlindungan
hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara
yang dapat disebut rechtsstaat. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya,
jaminan-jaminan hak asasi manusia itu juga diharuskan tercantum dengan tegas
dalam undangundang dasar atau konstitusi tertulis negara demokrasi
konstitusional (constitutional democracy)..
Ide hak asasi manusia
itu sendiri telah memiliki riwayat yang panjang[8].
Sejak abad ke-13, perjuangan untuk mengukuhkan ide hak asasi manusia sudah
dimulai. Penandatanganan Magna Charta pada tahun 1215 oleh Raja John Lackland
biasa dianggap sebagai permulaan sejarah perjuangan hak asasi manusia, meskipun
sebenarnya, piagam ini belumlah merupakan perlindungan hak asasi manusia
seperti yang dikenal sekarang. Magna Charta, setidak-tidaknya menurut orang
Eropa, diakui sebagai yang pertama dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia
seperti yang dikenal sekarang[9].
Setelah Magna Charta
(1215), tercatat pula penandatanganan Petition of Rights pada tahun 1628 oleh
Raja Charles I Apabila pada tahun 1215 raja berhadapan dengan kaum bangsawan
dan gereja sehingga lahirlah Magna Charta, maka pada tahun 1628, Raja berhadapan
dengan Parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (House of Commons). Setelah
itu, perjuangan yang lebih nyata terlihat
pula dalam Bill of
Rights yang ditandatangani oleh Raja Willem III pada tahun 1689 sebagai hasil
dari pergolakan politik yang dahsyat yang biasa disebut the Glorious Revolution
Glorious Revolution ini tidak saja mencerminkan kemenangan parlemen atas raja[10],
akan tetapi juga menggambarkan rentetan kemenangan rakyat dalam
pergolakan-pergolakan yang menyertai perjuangan Bill of Rights yang berlangsung
tak kurang dari 60 tahun lamanya.
Dalam perkembangan
selanjutnya, gagasan tentang hak-hak asasi manusia banyak dipengaruhi pula oleh
pemikiran-pemikiran para sarjana, seperti John Locke dan Jean Jacques Rousseau.
John Locke dikenal sebagai peletak dasar bagi teori Trias Politica Montesquieu.
Bersama dengan Thomas Hobbes dan J.J. Rousseau, John Locke (1632- 1704) yang
menggambarkan status naturalis dimana manusia telah memiliki hak-hak dasar
secara perorangan. Bersamaan dengan itu pendapat John Locke menyatakan bahwa
manusia yang berkedudukan sebagai warga negara itu hak-hak dasarnya dilindungi
oleh negara[11].
Meletusnya Perang Dunia
II pada 1939 menjadi titik balik bagi HAM.. Hal ini memunculkan kesadaran akan
pentingnya menciptakan struktur yang menegakkan perdamaian antar negara di
garis akhir. Selama priode ini pula, Presiden Amerika, Roosevelt memberkan
pidatonya yang terkenal dengan “Pesan 6 Januari 1941” yang menegaskan empat
kebebasan berdemokrasi.
Perkembangan
selanjutnya dari HAM tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dan peran PBB. PBB
lahir di tengah pencarian upaya untuk membangun aliansi antar negara untuk
memastikan perdamaian dunia. Pada 26 Juni 1945 lahirlah Piagam PBB yang pada
intinya memiliki tiga gagasan dasar, yakni, pertama, keterkaitan antara
perdamaian, keamanan internasional dan kondisi yang lebih baik bagi
kesejahteraan ekonomi dan sosial di satu sisi dengan perhatian terhadap HAM di
sisi yang lain. Kedua, perlindungan internasional terhadap HAM disebutkan
sebagai salah satu tujuan utama PBB. Ketiga, negara-negara anggota anggota
diberikan tugas legal untuk memastikan bahwa hak-hak dan kebebasan yang ada
ditegakkan secara luas dan efektif.
B.
Kewajiban
Negara
Dalam The Limburg Priciples on the impletation of
international covenant on economic and social and cultural right 1986 dan
vieenna declaration on human right tahun 1993 kewajiban negar adalah
kewajiban hukum yang diamantkan dalam perajanjian (treaty Obligation). Bahkan dalam Maastricht Guidenes on Violations of Economic social and cultural right
tahun 1997 menggariskan bahwa pelanggaran (violation) oleh negara sebagai akibat dari kewajiban hukumya
terhadap hak-hak ekonomi, sosial budaya
dapat dituntut ke pengadilan (justiciable).
Maastricht Guidellines juag mendefinisikan tiga kewajiban utama negara yang
saling berbeda yaitu kewajiban untuk menghormati, kewajiban untuk melindungi,
dan kewajiban untuk melindungi[12].
Kewajiban
menghormati didefinsiskan sebagai negara wajib menahan diri untuk tidak
mengintervensi ha-hak ekonomi social buadaya untuk dinikmati oleh warga
negaranya. Kewajiban melindungi didefinisikan sebagai negara wajib mencegah
terjadinya pelanggaran hak-hak ekonomi, social budaya yang dilakukan oleh pihak
ketiga. Sedangkan kewajiban memenuhi didefiniskan sebagai negara wajib
mengambil tindakanyang dianggap tepat sebagai upaya realisasi penuh(full realization) dari hak-hak ini,
antara lain tindakan legislative, administrative, penganggaran judicial dan lainnya[13].
Kewajiban negara dalam
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya dengan menggunakan pendekatan yang melihat
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bukan semata sebagai positive rights
diuraikan secara rinci oleh kelompok ahli dalam pertemuan yang diadakan oleh
Komisi Juris Internasional (International Commission of Jurist) pada bulan Juni
1996 yang menghasilkan Prinsip-prinsip Limburg (Limburg Principles). Dokumen
ini menegaskan bahwa meskipun ICESCR menetapkan pencapaian secara bertahap dan
mengakui keterbatasan sumber daya yang tersedia, di sisi lain juga terdapat
hak-hak yang harus dipenuhi secara segera. Selain Prinsip-prinsip Limburg,
Komisi Juris Internasional juga mengadakan pertemuan kedua ada 1997 di
Maastricht yang menghasilkan Maastricht Principles, merupakan aturan tentang
pelanggaran tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Hal yang mendasar dan
berhubungan erat dengan kewajiban pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
oleh negara adalah masalah pelanggaran. Negara dikatakan melanggar HAM apabila
gagal dalam menghargai, melindungi dan memenuhi hak-hak yang tercantum dalam
Kovenan. Dalam hal ini, Prinsip-prinsip Limburg memberikan semacam pedoman
untuk menentukan bagaimana persisinya sebuah kewajiban dilanggar oleh negara.
1.
Negara gagal mengambil langkah-langkah
yang wajib dilakukannya.
2.
Negara gagal menghilangkan rintangan
secara cepat dimana negara tersebut berkewajiban untuk menghilangkannya.
3.
Negara gagal melaksanakan tanpa menunda
lagi suatu hak yang diwajibkan pemenuhannya dengan segera.
4.
Negara dengan sengaja gagal memenuhi
suatu standar pencapaian yang umum diterima secara internasional.
5.
Negara menerapkan pembatasan terhadap
suatu hak yang diakui dalam Kovenan.
6.
Negara dengan sengaja menunda atau
menghentikan pemenuhan secara bertahap dari suatu hak.
7.
Negara gagal mengajukan laporan yang
diwajibkan oleh Kovenan.[14]
Dari uraian di atas,
peran negara dalam menjamin dan memenuhi semua hak yang ada dalam HAM tidak
memiliki perbedaan siginifikan. Semua hak wajib untuk dijamin dan dipenuhi,
tanpa melihat jenis hak tersebut. Negara juga dapat bersifat aktif (dengan
intervensi) maupun pasif (dengan non-intervensi) tergantung konteks seperti apa
yang dihadapi. Pemenuhan hak-hak dalam HAM oleh negara pada dasarnya sangat
tergantung pada komitmen dan kemauan politik pemerintah. Disamping itu,
pemenuhan tersebut juga sangat tergantung pada sistem politik yang dianut. Pada
negara-negara dengan sistem liberal, negara cenderung untuk enggan meregulasi
kebijakan untuk turut campur dalam urusan ekonomi.
C.
Implementasi
Kewajiban Negara Dalam Pemenuhan Hak Asasi Manusia
Sekarang, setelah
Perubahan UUD 1945, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak-hak warga
negara dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Materi
yang semula hanya berisi 7 (tujuh) butir ketentuan yang juga tidak sepenuhnya
dapat disebut sebagai jaminan hak asasi manusia, sekarang telah bertambah
secara sangat signifikan, sehingga perumusannya menjadi sangat lengkap dan
menjadikan UUD 1945 merupakan salah satu undangundang dasar yang paling lengkap
memuat perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Dengan disahkannya
Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, dan apabila materinya digabung dengan
berbagai ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang berkenaan dengan hak
asasi manusia, maka keseluruhan norma hukum mengenai hak asasi manusia itu
dapat kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan.
Kelompok yang pertama
adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:
1.
Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan kehidupannya;
2.
Setiap orang berhak untuk bebas dari
penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan
merendahkan martabat kemanusiaan;
3.
Setiap orang berhak untuk bebas dari
segala bentuk perbudakan;
4.
Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya;
5.
Setiap orang berhak untuk bebas memiliki
keyakinan, pikiran, dan hati nurani;
6.
Setiap orang berhak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum;
7.
Setiap orang berhak atas perlakuan yang
sama di hadapan hukum dan pemerintahan;
8.
Setiap orang berhak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut;
9.
Setiap orang berhak untuk membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah[15];
10.
Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
11.
Setiap orang berhak untuk bertempat
tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
12.
Setiap orang berhak memperoleh suaka
politik;
13.
Setiap orang berhak bebas dari segala
bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Hak-hak sipil pada no
1,2,3,6,7,8 pengaturan dapat dilihat dalam pasal 28 I ayat (1) Dan (2) Undang
Undang Dasar 1945 amandemen kedua[16].
Sedangkan pada nomor 4 dan 5 pengaturannya dapat dilihat dalam pasal 28E ayat (1)
dan (2) Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
(1)
Setiap orang berhak memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali
(2)
Setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya
Kedua,
kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang meliputi:
1.
Setiap warga negara berhak untuk
berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapatnya secara damai[17];
2.
Setiap warga negara berhak untuk memilih
dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat;
3.
Setiap warga negara dapat diangkat untuk
menduduki jabatan-jabatan publik;
4.
Setiap orang berhak untuk memperoleh dan
memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan;
5.
Setiap orang berhak untuk bekerja,
mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang
berkeadilan;[18]
6.
Setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi;
7.
Setiap warga negara berhak atas jaminan
sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya
sebagai manusia yang bermartabat;
8.
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi[19];
9.
Setiap orang berhak untuk memperoleh dan
memilih pendidikan dan pengajaran;
10.
Setiap orang berhak mengembangkan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk
peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;[20]
11.
Negara menjamin penghormatan atas
identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman
dan tingkat peradaban bangsabangsa;
12.
Negara mengakui setiap budaya sebagai
bagian dari kebudayaan nasional[21];
13.
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
kepercayaannya itu[22].
Ketiga, kelompok
hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi:
1)
Setiap warga negara yang menyandang
masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di
lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan yang sama;
2)
Hak perempuan dijamin dan dilindungi
untuk mendapat kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;
3)
Hak khusus yang melekat pada diri
perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi
oleh hukum;
4)
Setiap anak berhak atas kasih sayang,
perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat, dan negara bagi
pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
5)
Setiap warga negara berhak untuk
berperan-serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh
dari pengelolaan kekayaan alam[23];
6)
Setiap orang berhak atas lingkungan
hidup yang bersih dan sehat;
7)
Kebijakan, perlakuan, atau tindakan
khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat
perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif
dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut
tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi.
Keempat, kelompok yang
mengatur mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi:
1.
Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
2.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan
maksud sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan
nilainilai agama, moralitas, kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam
masyarakat yang demokratis[24];
3.
Negara bertanggung jawab atas
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia[25];
4.
Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi
manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen
dan tidak memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur dengan
undang-undang[26].
Hak-hak tersebut di
atas ada yang termasuk kategori hak asasi manusia yang berlaku bagi semua orang
yang tinggal dan berada dalam wilayah hukum Republik Indonesia, dan ada pula
yang merupakan hak warga negara yang berlaku hanya bagi warga negara Republik
Indonesia. Hak-hak dan kebebasan tersebut ada yang tercantum dalam UUD 1945 dan
ada pula yang tercantum hanya dalam undang-undang tetapi memiliki kualitas yang
sama pentingnya secara konstitusional sehingga dapat disebut memiliki
constitutional importance yang sama dengan yang disebut eksplisit dalam UUD
1945. Sesuai dengan prinsip “kontrak sosial”, maka setiap hak yang terkait
dengan warga negara dengan sendirinya bertimbal-balik dengan kewajiban negara
untuk memenuhinya. Demikian pula dengan kewenangan-kewenangan konstitusional
yang dimiliki oleh negara melalui organ-organnya juga bertimbal-balik dengan
kewajiban-kewajiban konstitusional yang wajib ditaati dan dipenuhi oleh setiap
warga negara.
Dalam hubungan ini,
sesuai dengan 4 (empat) rumusan tujuan bernegara di atas, setiap warga negara
berhak atas tuntutan pemenuhan tanggung jawab negara dalam meningkatkan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta dalam melindungi
segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, dan dalam turut aktif dalam
pergaulan dunia berdasarkan prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Keempat tujuan itu tidak hanya bersifat kolektif, tetapi juga bersifat
individual bagi setiap warga negara Republik Indonesia.
Di samping itu, adalah
pula kewajiban dan tanggung jawab negara untuk menjamin agar semua ketentuan
tentang hak-hak dan kebebasan asasi manusia ataupun hak dan kebebasan warga
negara seperti tersebut di atas, dihormati dan dipenuhi dengan sebaikbaiknya.
Sebaliknya, setiap warga negara juga wajib memenuhi tanggung jawabnya untuk
menghormati dan mematuhi segala hal yang berkaitan dengan kewenangan
konstitusional setiap organ negara yang menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan
kenegaraan menurut undangundang dasar dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Oleh karena itu, timbul doktrin seperti misalnya, no representation
without taxation, dan sebagainya. Sebaliknya, juga tidak boleh ada pengenaan
beban atas kekayaan warga negara berupa pungutan pajak yang dilakukan oleh
pemerintah tanpa persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya. Artinya, antara
dimensi hak dan kewajiban warga negara dan negara itu saling bertimbal balik[27].
Akan tetapi seperti
biasa, banyaknya undang-undang atau peraturan-peraturan di buat tidak dengan
sendirinya hak-hak yang diatur itu dapat secara otomatis direalisir.
Ada banyak
kendalaantaralain:
1.
pembuatan UU hampir selalu bersifat
reaktif dan tergesa-gesa.
2.
Sistem Adminitrasi hukum bersifat
delegatif
3.
Administrasi perundang-undangan buruk
4.
Karakter hukum otoritarian masih kuat
5.
Undang-undang yang punya implikasi
biaya, pelaksanaannya rumit
6.
Pasal-pasal bersifat soft law
7.
Pandangan DPR dan Pemerintah tentang
ekosob tidak mendukung kearah justiciability ekosob
8.
Tradisi berpikir positivistic penegak
hukum
Upaya Litigasi dan Non Litigasi
1. Memperkuat
orientasi organisasi masyarakat sipil (LSM), terutama Komnas HAM menjadi
kekuatan advokasi melakukan: gugatan class action,Judicial Reviewdan legal
audit (formal dan materiil (investigatif).
2. MendorongterbentuknyaOmbudsman
Daerah(local ombudsman)
3. Mengintensifkan
model gerakan BHS dengan fokus program
padaisu dampak kejahatan ekonomi dan kampanye sadar hak.
4. Kampanye
pembuatan hukum emansipatif berkarakter populis.[28]
D.
Kesimpulan
Negara adalah
suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah
dan ditaati oleh rakyatnya. Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum,
adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau
cita-citanya. Negara memiliki kekuasaan yang kuat terhadap rakyatnya.
Kekuasaan, dalam arti kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk
mempengaruhi orang lain atau kelompok lain, dalam ilmu politik biasanya
dianggap bahwa memiliki tujuan demi kepentingan seluruh warganya. Tetapi perlu
diingat bahwa negar juga punya kewajiban yang antara lain:
1.
Kewajiban menghormati (respect).
Kewajiban ini mensyaratkan negara untuk tidak ikut campur tangan dalam upaya
pemenuhan hak ekososbud.
2.
Kewajiban melindungi (protect).
Kewajiban ini pada dasarnya mengharuskan negara menjamin bahwa pihak ketiga
(individu atau perusahaan) tidak melanggar hak individu lain atas akses
terhadap hak bersangkutan.
3.
Kewajiban memenuhi (fulfill). Jika
kewajiban menghormati pada intinya membatasi tindakan negara, kewajiban
‘memenuhi’ mengharuskan negara untuk melakukan tindak pro aktif yang bertujuan
memperkuat akses masyarakat atas sumber-sumber daya.
Dengan demikian,
kekuasaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang berperan sebagai penyelenggara
negara adalah semata-mata demi kesejahteraan warganya.
Dalam
implemetasinya kewajiban negara tersebut diatur dalam Undang Undang dasar Tahun
1945 yang antara lain:
1.
Hak memperoleh pendidikan diatur dalam
Pasal 28D ayat (3), Pasal 30 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1);
2.
Hak atas pekerjaan dan kondisi kerja
yang layak dan adil (27 ayat 2; 28A, 28C (1), 28D (2), dan 28I (1);
3.
Hak membentuk dan bergabung dengan
serikat buruh (Pasal 28);
4.
Hak jaminan sosial (Pasal 33 Amand,
Pasal 28 H (1 dan 3), Pasal 33 (1), 34 (2);
5.
Hak standar hidup yang layak 33 (3),
Amand, Pasal 28 H (1), Pasal 28C (1), dan Pasal 28I (1);
6.
Hak atas kesehatan dan perawatan medis
(Pasal 28 H (1) dan 34 (3).
DAFTAR
PUSTAKA
Baharuddin Lopa SH. Prof.Dr. Masalah Masalah
Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama: Sebuah Pemikiran, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 2001,
Darwan Prinst, Sosialisasi, Diseminasi Penegakan Hak
Asasi Manusia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2001,
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta, Gramedia,
2006, hlm. 168
Frans Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip
Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2001
G.J. Wolhoff, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Djakarta: Timun Mas, 1960, hlm 140
Hasil Komisi Juris Internasional (International
Commission of Jurist) pada bulan Juni 1996 yang menghasilkan Prinsip-prinsip
Limburg (Limburg Principles).
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid II, Jakarta, secretariat jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
2006
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum
Tata Negara Indonesia, Jakarta: PSHTN-FHUI, 1983.
Mr. Suwandi, Hak-Hak Dasar Dalam Konstitusi,
Konstitusi Demokrasi Modern, Jakarta: Pembangunan, 1957,
Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat
Indonesia (suatu studi tentang Prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan administrasi),
Peradaban, 2007,
Samidjo, Ilmu Negara, Bandung, CV. Armico, , 2002,
Smith, R.K.M., 2008, Hukum Hak Asasi Manusia.
Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.
Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, tentang
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Suparman Marzuki, Makalah UPAYA LITIGASI & NON
LITIGASI ATAS PELANGGARAN HAK EKOSOB DI INDONESI, 2007.
[1]
Philipus M. Hadjon, Perlindungan
hukum bagi rakyat Indonesia (suatu studi tentang Prinsip-prinsipnya,
penanganannya oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan
peradilan administrasi), Peradaban, 2007, hlm.. 33-34
[2]
Darji Darmodiharjo dan
Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia, Jakarta, Gramedia, 2006, hlm. 168
[3] Frans Magnis Suseno, Etika
Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 2001, hlm. 145
[4] Smith, R.K.M., 2008, Hukum Hak
Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam
Indonesia. Hal:11.
[5]
Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
[6] Baharuddin Lopa SH. Prof.Dr. Masalah Masalah Politik, Hukum Sosial Budaya,
Agama: Sebuah Pemikiran, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001, hlm. 138
[7] Darwan Prinst, Sosialisasi, Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia,
PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 2001, hlm 17
[8]
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,
Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PSHTN-FHUI, 1983.
[9] Mr. Suwandi, Hak-Hak Dasar Dalam Konstitusi, Konstitusi
Demokrasi Modern, Jakarta: Pembangunan, 1957, hlm 8
[10] G.J. Wolhoff, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Djakarta: Timun Mas, 1960, hlm 140
[11]
Samidjo, Ilmu Negara,
Bandung, CV. Armico, , 2002, hal. 93
[12] suatu kumpulan prinsip-prinsip
yang dirumuskan oleh ahli-ahli hokum internasional untuk penerapan ICESCR
[13]
Ibid.
[14]
Hasil Komisi Juris Internasional (International Commission of Jurist) pada
bulan Juni 1996 yang menghasilkan Prinsip-prinsip Limburg (Limburg Principles).
[15] LIhat Pasal 28 A UUD 1945
[16]
Bunyi Pasal 28 I ayat (1)
UUD 1945 : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun
Bunyi Pasal 28 I ayat (2) UUd 1945 Setiap orang
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.**)
[17] LIhat Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
[18]
Dari Nomor 2 sampai 4 bisa dilihat dalam pasal 28D UUD 1945
[19]
Lihat pasal 28F UUD 1945
[20]
Pada nomor 6 dan 8 dapat dilihat pas 28G ayat (10)
[21] Pada nomor 11-12 dapat dilihat dalam pasal
28I ayat (2)
[22]
Lihat pasal 29 ata (1) UUD 1945.
[23]
Lihat pasal 33 ayat ayat 3UUd 1945
[24]
Nomor 1 dan 2 dapat dilihat pada Pasal 28J UUD 1945
[25]
Lihat pasal 28I ayat (4) UUD 1945
[26] Komisi
ini berdiri sejak tahun 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun
1993, tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
[27] Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid
II, Jakarta, secretariat jemdral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006,
hlm 110.
[28] Suparman
Marzuki, Makalah UPAYA LITIGASI & NON
LITIGASI ATAS PELANGGARAN HAK EKOSOB DI INDONESI, 2007.