Home

1.30.2011

Sejarah Konsep Kewarganegaraan

Dasar konsep negara (state) dan kewarganegaraan lahir pada masyarakat Yunani kuno dengan filsuf Plato sebagai pencetus gagasannya Di dalam negara 'polis' (kota), kepentingan negara mengatasi kepentingan individu, dan tidak ada satu pun yang boleb dirahasiakan. Pengorganisasian polis juga menyebabkan setiap warga negara sederajat, tiap warga negara bisa mengambil bagian dalam urusan negara, namun ada perkecualiannya. Hak kewarganegaraan itu terbatas atas kelompok minoritas: yakni kaum pendatang, para budak dan perempuan. Mereka dianggap tidak berhak mengambil bagian dalam urusan Negara[1]
Dalam sejarah Yunani kuno di awal gagasan dasar demokrasi, kita masih melihat bahwa kenyataan ini masih relevan saat ini: perempuan kurang diperhitungkan di setiap sendi kebijakan negara. Bahkan, secara ekstrem Plato menyatakan bahwa tugas perempuan dalam kewarganegaraan itu oleh karena berkaitan dengan peran reproduksinya. Pengambilan keputusan penting dilakukan laki-laki sesuai dengan perannya di lingkup publik yairu 'penguasa dan pejuang' sementara perempuan lebih sesuai sebagai pembantu penguasa tersebut.
Plato dalam karyanya Republik memaparkan bahwa dalam negara polis, rasa kebersamaan (kolektivitas) harus ditumbuhkan. Karenanya, komunisme a la Plato, dimaktubkan bahwa perempuan dan anak-anak adalah perempuan dan anak-anak negara Polis harus mengatur seluruh kehidupan seksual masyarakatnya tanpa kehidupan berkeluarga. agar kepentingan negara dan kepentingan keluarga tidak bercampur baur. Sementara perempuan hanya berfungsi sebagai pelahir anak-anak yang berkualitas bagi negara[2].
Dalam perkembangannya hingga saat ini, alasan mengapa perempuan kemudian terpinggirkan dalam aktivitas politik kebanyakan dikarenakan peran domestik yang dilekatkan pada dirinya. Seperti yang ditekankan oleh Louise Ackers bahwa perempuan terperangkap dalam pekerjaan domestik yang butuh waktu full-time. Tanggung jawab domestik yang amat banyak ini membuat mereka sulit untuk berpartisipasi sebagai warga negara yang 'sesungguhnya' di ranah publik[3].
Pada satu sisi, subyek dari negara selanjutnya mengarah pada individu laki-laki, sementara di sisi lain perempuan terikat kontrak kewarganegaraan (contract of citizenship) yang berpola fraternity dan brotherhood. Misalnya pendapat bahwa yang memiliki hak seksual hanya laki-laki atau bahwa perempuan yang bekerja tidak perlu digaji, serta bentuk-bentuk diskriminasi lainnya yang mencirikan kekuasaan publik yang maskulin. Beberapa definisi tentang kewarganegaraan menekankan proses timbal balik, yakni antara hak dan kewajiban. Namun pada prakteknya, antara hak dan kewajiban acap membingungkan. Hak memilih dalam Pemilu yang harusnya satu hak misalnya, di beberapa negara berubah menjadi kewajiban, atau persoalan hak reproduksi dan seksualitas bagi perempuan dibalikkan menjadi kewajiban bagi perempuan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, lagi-lagi persepsi negara sangat menentukan disini.
Demokrasi yang diwariskan tradisi Yunani seperti yang telah digambarkan di atas, tampak dengan jelas: tidak mengikutkan perempuan dan budak. Bahkan kaum liberal awal dengan mudah mengatakan bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama tanpa mengkaitkan bahwa sekelompok di antara mereka mungkin saja berharap bisa memilih dalam Pemilu.
Pada tahun 1700, Mary Astell menyatakan bahwa pihak-pihak yang kuat menolak kedaulatan absolut seorang raja, harusnya juga melihat bahwa kekuasaan absolut itu juga ada pada seorang suami. Hak Berpolitik terutama hak pilih dalam Pemilu juga menjadi persoalan yang pelik dan akhirnya menjadi fokus perjuangan kaum feminis liberal. Di negara-negara Barat, fokus perjuangan kaum feminis awal terdiri antara lain hak pilih dalam Pemilu, hak atas kepemilikan, hak kepengasuhan, akses ke pendidikan hak untuk bercerai, dan untuk mendapatkan upah yang layak[4].
Sembilan puluh tahun kemudian, Mary Wollstonecraft yang lebih radikal menuntut bahwa perempuan juga harus punya wakil yang duduk dalam pemerintahan (representatives) sebab pada masa itu perempuan tidak diperkenankan ikut langsung dalam pembicaraan yang berkaitan dengan kinerja pemerintah. Sejak pemikiran Mary Wollstonecraft itu, para feminis awal akhirnya mulai peduli untuk mengembangkan isu-isu tersebut. Tidak sampai pada abad 19, kaum feminis telah berhasil menjelma menjadi gerakan aktif melalui penyatuan diskusi-diskusi dan tulisan[5].
Namun ternyata sejak awal diskursus demokrasi mulai bergulir. debat yang dihasilkan oleh para pemikir politik masih saja mengandaikan mahluk perempuan itu tidak ada, atau seperti kata Rosseau: hanya agar kita tahu di mana tempat kita berada (baca: di ruang domestik, bukan publik). Feminisme pun lalu tidak ketinggalan tertantang untuk mengeksplorasi sejauh mana persisnya previlese yang dimiliki kaum laki-laki, penyelidikan tidak hanya meliputi kehidupan nyata para laki-laki, namun juga sisi yang sangat kategoris dari laki-laki yang lalu membentuk teori dan politik praktis. Mereka (para feminis) lalu menuding para pemikir politik awal diliputi sikap misoginis (benci perempuan) sekaligus memandang perempuan sebagai hal yang tidak bernilai sehingga dapat saja ditinggalkan.
Lebih parahnya, di berbagai kasus, perempuan semata menjadi alat politik dan akhirnya menjadi kaum mayoritas yang inferior dan terbungkam (silenced and thwarted majority). Perempuan oleh masyarakat dipaksa untuk menerima diri mereka sebagai pembawa hal baru dalam tahap-tahap perpolitikan, namun akses yang sulit ke kancah politik membuat mereka akhirnya hanya menjadi figuran dan tidak benar-benar berperan. Para feminis kemudian berargumen bahwa perempuan disisihkan (kept out) dari dunia politik melalui rangkaian konvensi yang sangat kuat mengatur pembedaan antara peran privat dan peran publik.
Secara serius, pembedaan ini memotong akses perempuan ke lingkup publik. la dipatok terus pada kewajiban-kewajiban di lingkup privat yang menghabiskan hampir seluruh waktunya setiap hari. Mengurus pekerjaan domestik (hasil dari konstruksi sosial) dan diserahi tanggung javvab yang besar pada pengasuhan anak, menjadikan pengalaman hidup perempuan sangat rentan, terhadap penyakit, bahaya yang menjadi dampak pada situasi perang misalnya, harusnya hal-hal semacam ini juga diberi porsi yang besar dalam pengkajian perang, faktor kesehatan, keselamatan dan perlindungan.
Artinya. dalam menetapkan kebijakan-kebijakan luar negeri misalnya harus pula diperhitungkan kebutuhan-kebutuhan warga setiap harinya (daily needs). Harusnya, kolaborasi antara bidang kajian feminisme dan politik perdamaian menjadi penting disini. Sebab jika tidak, maka "kaum mayoritas yang terbungkam" ini akan seterusnya menjadi obyek kebijakan (object of policy). Kaum feminis politik rnenganggap masuknya perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi penting dalam rangka menciptakan dunia yang baru, dunia yang bebas diskriminasi.
Nasionalisme, Perang dan Migrasi
Ada keterkaitan yang kuat antara penyelenggara negara (state-making) dan penyelenggara perang (war-making). Negara sering meng-klaim hak monopoli untuk melegitimasikan penggunaan kekuatan, sementara di sisi lain, kekuasaan negaralah yang mendeterminasikan kekuatan apa yang legitimasi[6]. Persoalannya adalah legitimasi yang digunakan negara selama ini selalu lahir dari kategori patriarkal. Carole Pateman bahkan mempertanyakan 'siapa yang dimaksud dengan warga negara disini?' Sebab seluruh tindakan yang dilakukan oleh tiap warga negara sesungguhnya berada dalam arena yang telah terkonstruksi citra maskulin (masculine image). Sebuah pesimisme yang digagaskan oleh tokoh feminis awal Mary Wollstonecraft yakni, 'perempuan harus bertingkah seperti laki-laki agar dapat masuk ke dalam politik praksis'. Selanjutnya konsep ini dikenal sebagai "Wollstonecraft Dilemma"[7]
Inilah yang harus direnungkan oleh setiap warga negara, sebab persoalannya adalah bagaimana kita mendefinisikan keadilan jika kita menerima konsep kewarganegaraan yang disodorkan oleh sebuah negara yang patriarkal? Negara juga kerap menggunakan konsep Nasionalisme untuk memaksa secara halus warga negara. Karena Nasionalisme bicara 'demi rakyat' dan 'demi tujuan kita bersama'. Selain itu Nasionalisme juga bicara soal rasa memiliki (belonging)[8]. Semangat memiliki yang tidak menyertakan dan melupakan perempuan, yang semata menciptakan keterpisahan dan keterasingan.
Nasionalisme memerlukan kekuatan untuk melibas musuh-musuhnya. Disini peran perempuan lalu menjadi seperti dalam pemikiran Plato: menjadi agen negara untuk melahirkan serdadu-serdadu berkualitas bagi negara. Nasionalisme sendiri diibaratkan sebagai ayah yang mengirim para anak laki-laki (a sacrificial class) untuk berperang melawan anak laki-laki dari ayah lainnya. Jean Elshtain bahkan menggambarkan keterkaitan antara serdadu yang baik (good soldier) dan ibu yang baik (good mother) sebagai pihak yang sama-sama berkorban, maksudnya ibu yang baik adalah ibu yang mampu melahirkan anak laki-laki yang sehat dan menyerahkan anaknya bagi kepentingan negara sebab jika tidak ia akan dicap sebagai tidak loyal pada negara. Disini Nasionalisme. perang, pengorbanan dan kematian jadi sebuah kesatuan.
Perang itu sendiri juga kerap melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Perkosaan yang dialami perempuan di wilayah perang menyebabkan derita dan trauma berkepanjangan. Tindakan perkosaan masal terhadap perempuan etnis tertentu bukan saja bermotif kejahatan perang antar negara maupun perang saudara (civil war) melainkan juga tindakan terorisme keji yang bertujuan 'me-re-maskulinkan' segala aspek kehidupan lewat kekerasan dan mensubordinatkan warga negara perempuan. Perkosaan dalam perang dipahami sebagai penggunaan tubuh laki-laki sekaligus penisnya sebagai senjata untuk melumpuhkan lawan[9]. Hukum Internasionalpun tak kalah gagapnya dalam mengatasi persoalan perempuan korban perkosaan di wilayah konflik. Kasus Jugun lanfu dan perkosaan masal di Nanking, Korea, hingga saat ini masih terkatung-katung.
Perempuan acap menjadi korban dari perang laki-laki (men's war), sementara perang itu sendiri sebenamya hanya ada dalam benak laki-laki (war begins in the minds of men)[10]. Namun justru perempuan dan anak-anaklah yang paling menderita akibat situasi yang berkaitan erat dengan ''national interest" ini. Karenanya tidak mengherankan jika akhimya kaum perempuan yang lebih aitif bertindak sebagai garda perdamaian (peace maker) dalam berbagai protes sosia) ketimbang partai politik yang ada[11].
Soal pengungsian dan perpindahan penduduk ke satu negara lain, menyimpan ekses tersendiri terhadap perempuan. Banyaklah alasan yang membuat manusia bermigrasi, perubahan politik yang dramatis, kemelaratan dan teror. Paling tidak ada tiga masalah yang akan dihadapi perempuan migran: pertama sikap xenophobia, posisi tawar yang lemah dan yang ketiga adalah minimnya jaminan perlindungan sosial bagi dirinya apalagi jika statusnya ilegal. Pertama, situasi yang dihadapi migran perempuan memang amatlah kompleks. Di negeri sendiri kaum perempuan itu sering harus menghadapi kategorisasi gender, namun di perantauan, hai itu masih akan ditambah lagi dengan persoalan ras dan kelas. Seperti yang kita ketahui bahwa beberapa negara barat seperti Amerika dan Jerman masih sangat rasis, suatu sikap yang berpotensial untuk menelorkan tindak kriminal yang mengancam keselamatan orang lain.
Biasanya perempuan dan anak-anak mengungsi atau berpindah karena mengikuti kepala aimah tangga yang notabene adalah laki-laki. Louise Ackers dalam tulisannva bahkan menyatakan bahwa banyak perempuan yang telah menikah bahkan dengan sukarela mengorbankan karimya demi keyakinan bahwa dengan bermigrasi akan membuat kehidupan keluarga lebih sejahtera[12]. Konsep berkeluarga disini lalu dituding sebagai pelenyap posisi tawar-menawar pada diri perempuan. la jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, akibatnya ia tidak lagi sebagai subyek dan tidak dihitung sebagai yang empunya kepentingan.
Sementara di sisi lain, perlindungan sosial terhadap perempuan juga dibuat dalam model yang sama yaitu sebuah model yang hanya mengakomodir kepentingan laki-laki. Bila kita melihat bahaya-bahaya tersebut, hampir dipastikan bahwa itu akhimya menjadi mhos, terutama bagi perempuan dengan strata dan ras yang dinilai rendah pada masyarakat tersebut. Ini akan cocok bila kita refleksikan dengan kasus di Indonesia dimana masih begitu banyak persoalan pekerja migran yang mengalami berbagai kasus kekerasan di negara lain, maka tidak mengherankan bila para aktivis buruh amat sulit mengandalkan pemerintah untuk menuntaskan kasus tersebut, apalagi dengan mengandalkan pemerintahan negara lain. Masalah perempuan dan kewarganegaraan disini jadi ibarat kincir yang berputar dalam tiupan konspirasi besar laki-laki, sulit rnenemukan jalan keluar pada pihak yang menganggap bahwa ini bukan persoalan besar. Padahal kaum feminis menganggap ini bukanlah main-main. Apalagi jika sudah dikaitkan dengan kepenlingan pembangunan, peningkatan perekonomian dan sebagainya, sering hak perempuan diabaikan.
Pemerintahan di negara-negara maju dan terutama di negara berkembang juga sering melakukan pembodohan terhadap warga negara perempuan secara sistematis. Perempuan sengaja tidak diberdayakan, dibuat menjadi sangat penurut lewat propaganda-propaganda yang mensosialisasikan sosok perempuan apa yang ideal. Mereka tak jarang luput mengidentifikasi soal perempuan dalam pembangunan bahkan dengan sengaja merampas hak-haknya sebagai warga negara.
Tidak adanya perlindungan bagi pekerja migran yang telah menyumbangkan devisa juga pemaksaan konlrasepsi (KB) menjadi bukti baiivva pemerintah sengaja memanipuln ketidaktahuan perempuan akan informasi yang sanijal berkaitan dengan kesehatan organ reproduksinya dan raganya secara keseluruhan demi pencapaian target pembangunan semata. Tidak adanya perlindungan bagi buruh migran terhadap kekerasan-kekerasan seksual juga menjadi simbol ketidakberdayaan perempuan. Ini terjadi karena negara hanya melihatnya sebagai komoditas urttuk menaikkan pemasukan devisa bagi negara. Tidak lebih.

Penutup

Kaum feminis biasanya lalu beranjak dari pertanyaan 'apakah kewarganegaraan itu berpihak pada gender tertentu'? (is citizenship gendered ?). Dan seluruh arah jawaban berkata ya. Feminis memahami polilik kewarganegaraan sebagai politik 'tidak menyertakan' perempuan (exclusion). Perempuan diposisikan sebagai warga negara kelas dua yang termarjinal (second-class citizenship).
Karenanya para feminis seperti Louise Ackers merekomendasikan agar lebih banyak ahli melakukan riset tentang sejauh mana perempuan memaknai kewarganegaraannya dan bagairnana pengalatnannya benvarganegara. Sehingga perlanyaan seperti 'apakah kewarganegaraan itu merupakan hak atau kewajiban?' dapat terjawab dengan segera. Jangan-jangan perempuan selama ini memang lidak pernah memikirkan hak-haknya karena selama ini tenggelam dalam tripel kewajiban, kepada negara dan keluarga dan laki-laki. Hingga akhimya ia lupa akan hak yang harusnya ia dapat dari negara yang selama ini juga lupa untuk menyerahkannya pada perempuan.
Disamping itu riset lersebut diatas juga perlu guna mencari penyebab mengapa perempuan bermigrasi, bagaimana prosesnya dan apa konsekuensinya. Selama ini peran dan kegiatan dari perempuan migran seolah terabaikan, padahal ini membawa implikasi yang sangat luas, misalnya pada status kewarganegoraan, hak-hak dalam perkawinan, serta pengasuhan anak. Semua hal tersebut nampaknya belum ditanggapi dengan serius padahal menjadi amat penting untuk dikaji lebih mendalam terutama dalam rangka mendapatkan pemahaman gender yang benar-benar teruji akan petsoalan hak-hak sipil bagi perempuan.


[1] Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm., 21-22
[2] Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat (Jakarta: Mizan, 1997), hlm., 12.
[3] Louise Ackers, Shifting Spaces: Women, Citizenship and Migration within the European Union (Bristol: The Policy Press, 1998), hlm., 41.
[4] Maggie Humrn, The Dictionary of Feminist Theory (England: Prentice Hall, 1999), hlm.,37.
[5] Lihat Bab I dalam Anne Philips, Engendering Democracy(London: Cambridge Polity Press, 1991).
[6] Petlman, op.cit., hlm., 5.
[7] Chantal Mouffe, "Feminism, Citizenship and Radical Democratic Politics" dalam Judith Butler and Joan W.Scott (eds.), Feminist Theorize the Political (New York: Routledge, 1992), hal.374-375 " Pettman, op.cit., hal.46.
[8] op.cit., hal.46
[9] Ibid, hlm., 50, 96 dan 103.
[10] Judith Large, "Feminist Conflict Resolution" dalam Georgina Ashworth (ed.), A Diplomacy of the Oppressed: a New Directions in International Feminism (London: Zed Books, 1995) hal.23
[11] Pettman, op.cit., hlm., 108.
[12] Ackers, op.cit., hlm., 7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar