Dasar konsep negara (state) dan
kewarganegaraan lahir pada masyarakat Yunani kuno dengan filsuf Plato sebagai
pencetus gagasannya Di dalam negara 'polis' (kota), kepentingan negara
mengatasi kepentingan individu, dan tidak ada satu pun yang boleb dirahasiakan.
Pengorganisasian polis juga menyebabkan setiap warga negara sederajat, tiap
warga negara bisa mengambil bagian dalam urusan negara, namun ada
perkecualiannya. Hak kewarganegaraan itu terbatas atas kelompok minoritas:
yakni kaum pendatang, para budak dan perempuan. Mereka dianggap tidak berhak
mengambil bagian dalam urusan Negara[1]
Dalam sejarah Yunani kuno di awal
gagasan dasar demokrasi, kita masih melihat bahwa kenyataan ini masih relevan
saat ini: perempuan kurang diperhitungkan di setiap sendi kebijakan negara.
Bahkan, secara ekstrem Plato menyatakan bahwa tugas perempuan dalam
kewarganegaraan itu oleh karena berkaitan dengan peran reproduksinya.
Pengambilan keputusan penting dilakukan laki-laki sesuai dengan perannya di
lingkup publik yairu 'penguasa dan pejuang' sementara perempuan lebih sesuai
sebagai pembantu penguasa tersebut.
Plato dalam karyanya Republik memaparkan
bahwa dalam negara polis, rasa kebersamaan (kolektivitas) harus ditumbuhkan.
Karenanya, komunisme a la Plato, dimaktubkan bahwa perempuan dan anak-anak
adalah perempuan dan anak-anak negara Polis harus mengatur seluruh kehidupan
seksual masyarakatnya tanpa kehidupan berkeluarga. agar kepentingan negara dan
kepentingan keluarga tidak bercampur baur. Sementara perempuan hanya berfungsi sebagai
pelahir anak-anak yang berkualitas bagi negara[2].
Dalam perkembangannya hingga saat ini,
alasan mengapa perempuan kemudian terpinggirkan dalam aktivitas politik
kebanyakan dikarenakan peran domestik yang dilekatkan pada dirinya. Seperti
yang ditekankan oleh Louise Ackers bahwa perempuan terperangkap dalam pekerjaan
domestik yang butuh waktu full-time. Tanggung jawab domestik yang amat banyak
ini membuat mereka sulit untuk berpartisipasi sebagai warga negara yang
'sesungguhnya' di ranah publik[3].
Pada satu sisi, subyek dari negara
selanjutnya mengarah pada individu laki-laki, sementara di sisi lain perempuan
terikat kontrak kewarganegaraan (contract of citizenship) yang berpola
fraternity dan brotherhood. Misalnya pendapat bahwa yang memiliki hak seksual
hanya laki-laki atau bahwa perempuan yang bekerja tidak perlu digaji, serta
bentuk-bentuk diskriminasi lainnya yang mencirikan kekuasaan publik yang
maskulin. Beberapa definisi tentang kewarganegaraan menekankan proses timbal
balik, yakni antara hak dan kewajiban. Namun pada prakteknya, antara hak dan
kewajiban acap membingungkan. Hak memilih dalam Pemilu yang harusnya satu hak
misalnya, di beberapa negara berubah menjadi kewajiban, atau persoalan hak
reproduksi dan seksualitas bagi perempuan dibalikkan menjadi kewajiban bagi
perempuan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, lagi-lagi persepsi negara sangat
menentukan disini.
Demokrasi yang diwariskan tradisi Yunani
seperti yang telah digambarkan di atas, tampak dengan jelas: tidak mengikutkan
perempuan dan budak. Bahkan kaum liberal awal dengan mudah mengatakan bahwa
setiap manusia memiliki hak yang sama tanpa mengkaitkan bahwa sekelompok di
antara mereka mungkin saja berharap bisa memilih dalam Pemilu.
Pada tahun 1700, Mary Astell menyatakan
bahwa pihak-pihak yang kuat menolak kedaulatan absolut seorang raja, harusnya
juga melihat bahwa kekuasaan absolut itu juga ada pada seorang suami. Hak
Berpolitik terutama hak pilih dalam Pemilu juga menjadi persoalan yang pelik
dan akhirnya menjadi fokus perjuangan kaum feminis liberal. Di negara-negara
Barat, fokus perjuangan kaum feminis awal terdiri antara lain hak pilih dalam
Pemilu, hak atas kepemilikan, hak kepengasuhan, akses ke pendidikan hak untuk
bercerai, dan untuk mendapatkan upah yang layak[4].
Sembilan puluh tahun kemudian, Mary
Wollstonecraft yang lebih radikal menuntut bahwa perempuan juga harus punya
wakil yang duduk dalam pemerintahan (representatives) sebab pada masa itu
perempuan tidak diperkenankan ikut langsung dalam pembicaraan yang berkaitan
dengan kinerja pemerintah. Sejak pemikiran Mary Wollstonecraft itu, para
feminis awal akhirnya mulai peduli untuk mengembangkan isu-isu tersebut. Tidak
sampai pada abad 19, kaum feminis telah berhasil menjelma menjadi gerakan aktif
melalui penyatuan diskusi-diskusi dan tulisan[5].
Namun ternyata sejak awal diskursus
demokrasi mulai bergulir. debat yang dihasilkan oleh para pemikir politik masih
saja mengandaikan mahluk perempuan itu tidak ada, atau seperti kata Rosseau:
hanya agar kita tahu di mana tempat kita berada (baca: di ruang domestik, bukan
publik). Feminisme pun lalu tidak ketinggalan tertantang untuk mengeksplorasi
sejauh mana persisnya previlese yang dimiliki kaum laki-laki, penyelidikan
tidak hanya meliputi kehidupan nyata para laki-laki, namun juga sisi yang
sangat kategoris dari laki-laki yang lalu membentuk teori dan politik praktis.
Mereka (para feminis) lalu menuding para pemikir politik awal diliputi sikap
misoginis (benci perempuan) sekaligus memandang perempuan sebagai hal yang
tidak bernilai sehingga dapat saja ditinggalkan.
Lebih parahnya, di berbagai kasus,
perempuan semata menjadi alat politik dan akhirnya menjadi kaum mayoritas yang
inferior dan terbungkam (silenced and thwarted majority). Perempuan oleh
masyarakat dipaksa untuk menerima diri mereka sebagai pembawa hal baru dalam
tahap-tahap perpolitikan, namun akses yang sulit ke kancah politik membuat
mereka akhirnya hanya menjadi figuran dan tidak benar-benar berperan. Para
feminis kemudian berargumen bahwa perempuan disisihkan (kept out) dari dunia
politik melalui rangkaian konvensi yang sangat kuat mengatur pembedaan antara
peran privat dan peran publik.
Secara serius, pembedaan ini memotong
akses perempuan ke lingkup publik. la dipatok terus pada kewajiban-kewajiban di
lingkup privat yang menghabiskan hampir seluruh waktunya setiap hari. Mengurus
pekerjaan domestik (hasil dari konstruksi sosial) dan diserahi tanggung javvab
yang besar pada pengasuhan anak, menjadikan pengalaman hidup perempuan sangat
rentan, terhadap penyakit, bahaya yang menjadi dampak pada situasi perang
misalnya, harusnya hal-hal semacam ini juga diberi porsi yang besar dalam
pengkajian perang, faktor kesehatan, keselamatan dan perlindungan.
Artinya. dalam menetapkan
kebijakan-kebijakan luar negeri misalnya harus pula diperhitungkan
kebutuhan-kebutuhan warga setiap harinya (daily needs). Harusnya, kolaborasi
antara bidang kajian feminisme dan politik perdamaian menjadi penting disini.
Sebab jika tidak, maka "kaum mayoritas yang terbungkam" ini akan
seterusnya menjadi obyek kebijakan (object of policy). Kaum feminis politik
rnenganggap masuknya perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi penting
dalam rangka menciptakan dunia yang baru, dunia yang bebas diskriminasi.
Nasionalisme, Perang dan Migrasi
Ada keterkaitan yang kuat antara
penyelenggara negara (state-making) dan penyelenggara perang (war-making).
Negara sering meng-klaim hak monopoli untuk melegitimasikan penggunaan
kekuatan, sementara di sisi lain, kekuasaan negaralah yang mendeterminasikan
kekuatan apa yang legitimasi[6]. Persoalannya
adalah legitimasi yang digunakan negara selama ini selalu lahir dari kategori
patriarkal. Carole Pateman bahkan mempertanyakan 'siapa yang dimaksud dengan
warga negara disini?' Sebab seluruh tindakan yang dilakukan oleh tiap warga
negara sesungguhnya berada dalam arena yang telah terkonstruksi citra maskulin
(masculine image). Sebuah pesimisme yang digagaskan oleh tokoh feminis awal
Mary Wollstonecraft yakni, 'perempuan harus bertingkah seperti laki-laki agar
dapat masuk ke dalam politik praksis'. Selanjutnya konsep ini dikenal sebagai
"Wollstonecraft Dilemma"[7]
Inilah yang harus direnungkan oleh
setiap warga negara, sebab persoalannya adalah bagaimana kita mendefinisikan
keadilan jika kita menerima konsep kewarganegaraan yang disodorkan oleh sebuah
negara yang patriarkal? Negara juga kerap menggunakan konsep Nasionalisme untuk
memaksa secara halus warga negara. Karena Nasionalisme bicara 'demi rakyat' dan
'demi tujuan kita bersama'. Selain itu Nasionalisme juga bicara soal rasa
memiliki (belonging)[8]. Semangat
memiliki yang tidak menyertakan dan melupakan perempuan, yang semata
menciptakan keterpisahan dan keterasingan.
Nasionalisme memerlukan kekuatan untuk
melibas musuh-musuhnya. Disini peran perempuan lalu menjadi seperti dalam
pemikiran Plato: menjadi agen negara untuk melahirkan serdadu-serdadu
berkualitas bagi negara. Nasionalisme sendiri diibaratkan sebagai ayah yang
mengirim para anak laki-laki (a sacrificial class) untuk berperang melawan anak
laki-laki dari ayah lainnya. Jean Elshtain bahkan menggambarkan keterkaitan
antara serdadu yang baik (good soldier) dan ibu yang baik (good mother) sebagai
pihak yang sama-sama berkorban, maksudnya ibu yang baik adalah ibu yang mampu
melahirkan anak laki-laki yang sehat dan menyerahkan anaknya bagi kepentingan
negara sebab jika tidak ia akan dicap sebagai tidak loyal pada negara. Disini
Nasionalisme. perang, pengorbanan dan kematian jadi sebuah kesatuan.
Perang itu sendiri juga kerap melahirkan
kekerasan terhadap perempuan. Perkosaan yang dialami perempuan di wilayah
perang menyebabkan derita dan trauma berkepanjangan. Tindakan perkosaan masal
terhadap perempuan etnis tertentu bukan saja bermotif kejahatan perang antar
negara maupun perang saudara (civil war) melainkan juga tindakan terorisme keji
yang bertujuan 'me-re-maskulinkan' segala aspek kehidupan lewat kekerasan dan
mensubordinatkan warga negara perempuan. Perkosaan dalam perang dipahami
sebagai penggunaan tubuh laki-laki sekaligus penisnya sebagai senjata untuk
melumpuhkan lawan[9].
Hukum Internasionalpun tak kalah gagapnya dalam mengatasi persoalan perempuan
korban perkosaan di wilayah konflik. Kasus Jugun lanfu dan perkosaan masal di
Nanking, Korea, hingga saat ini masih terkatung-katung.
Perempuan acap menjadi korban dari
perang laki-laki (men's war), sementara perang itu sendiri sebenamya hanya ada
dalam benak laki-laki (war begins in the minds of men)[10]. Namun
justru perempuan dan anak-anaklah yang paling menderita akibat situasi yang
berkaitan erat dengan ''national interest" ini. Karenanya tidak
mengherankan jika akhimya kaum perempuan yang lebih aitif bertindak sebagai
garda perdamaian (peace maker) dalam berbagai protes sosia) ketimbang partai
politik yang ada[11].
Soal pengungsian dan perpindahan
penduduk ke satu negara lain, menyimpan ekses tersendiri terhadap perempuan.
Banyaklah alasan yang membuat manusia bermigrasi, perubahan politik yang
dramatis, kemelaratan dan teror. Paling tidak ada tiga masalah yang akan
dihadapi perempuan migran: pertama sikap xenophobia, posisi tawar yang lemah
dan yang ketiga adalah minimnya jaminan perlindungan sosial bagi dirinya
apalagi jika statusnya ilegal. Pertama, situasi yang dihadapi migran perempuan
memang amatlah kompleks. Di negeri sendiri kaum perempuan itu sering harus
menghadapi kategorisasi gender, namun di perantauan, hai itu masih akan
ditambah lagi dengan persoalan ras dan kelas. Seperti yang kita ketahui bahwa
beberapa negara barat seperti Amerika dan Jerman masih sangat rasis, suatu
sikap yang berpotensial untuk menelorkan tindak kriminal yang mengancam
keselamatan orang lain.
Biasanya perempuan dan anak-anak
mengungsi atau berpindah karena mengikuti kepala aimah tangga yang notabene
adalah laki-laki. Louise Ackers dalam tulisannva bahkan menyatakan bahwa banyak
perempuan yang telah menikah bahkan dengan sukarela mengorbankan karimya demi
keyakinan bahwa dengan bermigrasi akan membuat kehidupan keluarga lebih
sejahtera[12].
Konsep berkeluarga disini lalu dituding sebagai pelenyap posisi tawar-menawar
pada diri perempuan. la jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan,
akibatnya ia tidak lagi sebagai subyek dan tidak dihitung sebagai yang empunya
kepentingan.
Sementara di sisi lain, perlindungan
sosial terhadap perempuan juga dibuat dalam model yang sama yaitu sebuah model
yang hanya mengakomodir kepentingan laki-laki. Bila kita melihat bahaya-bahaya
tersebut, hampir dipastikan bahwa itu akhimya menjadi mhos, terutama bagi
perempuan dengan strata dan ras yang dinilai rendah pada masyarakat tersebut.
Ini akan cocok bila kita refleksikan dengan kasus di Indonesia dimana masih
begitu banyak persoalan pekerja migran yang mengalami berbagai kasus kekerasan
di negara lain, maka tidak mengherankan bila para aktivis buruh amat sulit
mengandalkan pemerintah untuk menuntaskan kasus tersebut, apalagi dengan
mengandalkan pemerintahan negara lain. Masalah perempuan dan kewarganegaraan
disini jadi ibarat kincir yang berputar dalam tiupan konspirasi besar
laki-laki, sulit rnenemukan jalan keluar pada pihak yang menganggap bahwa ini
bukan persoalan besar. Padahal kaum feminis menganggap ini bukanlah main-main.
Apalagi jika sudah dikaitkan dengan kepenlingan pembangunan, peningkatan
perekonomian dan sebagainya, sering hak perempuan diabaikan.
Pemerintahan di negara-negara maju dan
terutama di negara berkembang juga sering melakukan pembodohan terhadap warga
negara perempuan secara sistematis. Perempuan sengaja tidak diberdayakan,
dibuat menjadi sangat penurut lewat propaganda-propaganda yang
mensosialisasikan sosok perempuan apa yang ideal. Mereka tak jarang luput
mengidentifikasi soal perempuan dalam pembangunan bahkan dengan sengaja
merampas hak-haknya sebagai warga negara.
Tidak adanya perlindungan bagi pekerja
migran yang telah menyumbangkan devisa juga pemaksaan konlrasepsi (KB) menjadi
bukti baiivva pemerintah sengaja memanipuln ketidaktahuan perempuan akan
informasi yang sanijal berkaitan dengan kesehatan organ reproduksinya dan
raganya secara keseluruhan demi pencapaian target pembangunan semata. Tidak
adanya perlindungan bagi buruh migran terhadap kekerasan-kekerasan seksual juga
menjadi simbol ketidakberdayaan perempuan. Ini terjadi karena negara hanya
melihatnya sebagai komoditas urttuk menaikkan pemasukan devisa bagi negara.
Tidak lebih.
Penutup
Kaum feminis biasanya lalu beranjak dari
pertanyaan 'apakah kewarganegaraan itu berpihak pada gender tertentu'? (is
citizenship gendered ?). Dan seluruh arah jawaban berkata ya. Feminis memahami
polilik kewarganegaraan sebagai politik 'tidak menyertakan' perempuan
(exclusion). Perempuan diposisikan sebagai warga negara kelas dua yang
termarjinal (second-class citizenship).
Karenanya para feminis seperti Louise
Ackers merekomendasikan agar lebih banyak ahli melakukan riset tentang sejauh
mana perempuan memaknai kewarganegaraannya dan bagairnana pengalatnannya
benvarganegara. Sehingga perlanyaan seperti 'apakah kewarganegaraan itu
merupakan hak atau kewajiban?' dapat terjawab dengan segera. Jangan-jangan
perempuan selama ini memang lidak pernah memikirkan hak-haknya karena selama
ini tenggelam dalam tripel kewajiban, kepada negara dan keluarga dan laki-laki.
Hingga akhimya ia lupa akan hak yang harusnya ia dapat dari negara yang selama
ini juga lupa untuk menyerahkannya pada perempuan.
Disamping itu riset lersebut diatas juga
perlu guna mencari penyebab mengapa perempuan bermigrasi, bagaimana prosesnya
dan apa konsekuensinya. Selama ini peran dan kegiatan dari perempuan migran
seolah terabaikan, padahal ini membawa implikasi yang sangat luas, misalnya
pada status kewarganegoraan, hak-hak dalam perkawinan, serta pengasuhan anak.
Semua hal tersebut nampaknya belum ditanggapi dengan serius padahal menjadi
amat penting untuk dikaji lebih mendalam terutama dalam rangka mendapatkan
pemahaman gender yang benar-benar teruji akan petsoalan hak-hak sipil bagi
perempuan.
[1] Kees
Bertens, Sejarah Filsafat Yunani
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm., 21-22
[3]
Louise Ackers, Shifting Spaces: Women, Citizenship and Migration within the
European Union (Bristol: The Policy
Press, 1998), hlm., 41.
[4] Maggie
Humrn, The Dictionary of Feminist Theory (England: Prentice Hall, 1999),
hlm.,37.
[5]
Lihat Bab I dalam Anne Philips, Engendering Democracy(London: Cambridge
Polity Press, 1991).
[6] Petlman,
op.cit., hlm., 5.
[7] Chantal
Mouffe, "Feminism, Citizenship and
Radical Democratic Politics" dalam Judith Butler and Joan W.Scott
(eds.), Feminist Theorize the Political (New York: Routledge, 1992),
hal.374-375 " Pettman, op.cit., hal.46.
[9] Ibid,
hlm., 50, 96 dan 103.
[10] Judith
Large, "Feminist Conflict
Resolution" dalam Georgina Ashworth (ed.), A Diplomacy of the
Oppressed: a New Directions in International Feminism (London: Zed Books, 1995)
hal.23