BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa
Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka aspek
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk dalam penyelenggaraan
pemerintahan harus berdasarkan atas hukum. Dalam negara hukum yang demokratis
peran hukum sebagai sarana untuk mewujudkan kebijakan pemerintah dan memberikan
legitimasi terhadap kebijakan publik sangat strategis. Oleh karena itu
pembangunan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun
2004-2009[1] di
Bidang Hukum khususnya, antara lain ditujukan untuk menata kembali substansi
hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan
dengan memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang-undangan serta
menghormati hak asasi manusia.
Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada permasalahan terjadinya tumpang
tindih dan inkonsistensi peraturan perundangundangan dan implementasi undang-undang
yang terhambat peraturan pelaksanaannya. Maka politik hukum nasional diarahkan
pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen dan tidak
diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan
perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini
ditindaklanjuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksudkan sebagai landasan
yuridis dalam membentuk peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat
maupun daerah sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu sistem, asas, jenis
dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan
pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat
Sistem negara kesatuan
menggambarkan bahwa hubungan antar level pemerintahan (pusat dan daerah)
berlangsung secara inklusif (inclusif authority model) dimana otoritas
pemerintah daerah tetap dibatasi oleh pemerintah pusat melalui suatu sistem
kontrol yang berkaitan dengan pemeliharaan kesatuan[2].
Namun demikian, dalam suatu negara kesatuan, pelimpahan atau penyerahan
kewenangan bukanlah suatu pemberian yang lepas dari campur tangan dan kontrol
dari pemerintah pusat. Kedudukan daerah dalam hal ini adalah bersifat
subordinat terhadap pemerintah pusat[3].
Format negara kesatuan inilah yang mempengaruhi karakter hubungan pusat dengan
daerah di Republik Indonesia selama ini. Hubungan yang terjalin selalu dibangun
dengan pengandaian bahwa daerah adalah kaki tangan pemerintah pusat[4].
Penyelenggaraan
pemerintahan sehari-hari cenderung berlangsung secara dekonsentrasi dalam
format desentralisasi dimana seberapa besar kewenangan suatu daerah tergantung
kepada sistem dan political will dari pemerintah pusat dalam memberikan
keleluasaan kepada daerah. Dalam hubungan inilah pemerintah melaksanakan
pembagian kekuasaan kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan istilah
desentralisasi.
Dinamika hubungan pusat
dengan daerah yang mengacu pada konsep pemerintahan negara kesatuan dapat
dibedakan apakah sistem sentralisasi yang diterapkan atau sistem desentralisasi
dalam pelaksanaan pemerintahannya. Kedua sistem ini mempengaruhi secara
langsung pelaksanaan pemerintahan daerah dalam suatu negara. Bentuk dan susunan
suatu negara terkait dengan pembagian kekuasaan[5].
Hubungan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dalam negara
kesatuan disamakan dengan gedecentraliseerd. Sementara, dalam kajian hukum tata
negara, pemerintahan yang berdasarkan asas desentralisasi disebut staatskunding
decentralisatie (desentralisasi politik), di mana rakyat turut serta dalam penyelenggaraan
pemerintahan melalui wakil-wakilnya dalam batas wilayah masingmasing.
pemerintah Indonesia melaksanakan
politik desentralisasi dan memberikan hak-hak otonomi kepada daerah, di samping
tetap menjalankan politik dekonsentrasi. Undang-undang Pemerintahan Daerah No.
32 Tahun 2004 mendefinisikan Desentralisasi sebagai penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedang dalam
Pasal 1 angka 8 Undang-undang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai
wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Indonesia sebagai negara yang luas, maka diperlukan sub national goverment
sebagai unit pemerintahan di tingkat lokal (daerah) melalui berbagai bentuk
pendekatan. Pendekatan sentralisasi akan cenderung membentuk unit-unit pemerintahan
yang sifatnya perwakilan (instansi vertikal) dalam menyediakan pelayanan publik
di daerah. Pendekatan desentralisasi memprioritaskan pemerintah daerah dalam
menyediakan pelayanan publik.19 Tujuan utama desentralisasi adalah mengatasi
perencanaan yang sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan pusat
dalam pembuatan kebijaksanaan di daerah untuk meningkatkan kapasitas teknis dan
managerial.20
Otonomi daerah dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan
Daerah menjadi Undang-undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah21 lebih berorientasi kepada masyarakat daerah
(lebih bersifat kerakyatan) daripada pemerintah daerah, artinya kewenangan
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
adalah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Kewenangan
pemerintah daerah hanya sebagai alat dan fasilitator untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat, menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, memberikan
fasilitas kepada rakyat melalui peran serta dan pemberdayaan masyarakat.22
Otonomi daerah memberikan
yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri rumah
tangga daerah, kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prinsip penyelenggaraan
otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menentukan
jalan hidupnya sendiri.
B.
Identifikasi
Masalah
1.
Apakah dasar konstitusional peraturan
daerah?
2.
Bagaimana Prinsip-prinsip pembentukan peraturan
daerah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Peraturan Daerah
Sesuai
dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Peraturan
daerah) adalah “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.
Definisi lain tentang Peraturan
daerah berdasarkan ketentuan Undang- Undang tentang Pemerintah Daerah adalah
“peraturan perundang undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota”. Dalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang.
Pemerintahan Daerah (UU
Pemda), Peraturan daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota
dan tugas pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas
masingmasing daerah[6].
Sesuai ketentuan Pasal
12 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
materi muatan Peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta
penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Rancangan Peraturan
Daerah dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Gubernur atau
Bupati/Walikota. Apabila dalam satu kali masa sidang Gubernur atau Bupati/Walikota
dan DPRD menyampaikan rancangan Peraturan daerah dengan materi yang sama, maka yang
dibahas adalah rancangan. Peraturan daerah yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan
rancangan Peraturan daerah yang disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota
dipergunakan sebagai bahan persandingan. Program penyusunan Peraturan daerah dilakukan
dalam satu Program Legislasi Daerah[7],
sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih dalam penyiapan satu materi Peraturan
daerah. Ada berbagai jenis Peraturan daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Kota dan Propinsi antara lain:
1. Pajak
Daerah;
2. Retribusi
Daerah;
3. Tata
Ruang Wilayah Daerah;
4. APBD;
5. Rencana
Program Jangka
6. Menengah
Daerah;
7. Perangkat
Daerah;
8. Pemerintahan
Desa;
9. Pengaturan
umum lainnya.
B.
Dasar
Konstitusional Peraturan Daerah
Pasal
18 ayat (6) UUD 1945 menetapkan, ‘Pemerintahan daerah berhak menetapkan
peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan
tugas pembantuan.’ Peraturan daerah adalah aturan daerah dalam arti materiil (Peraturan
daerah.in.materieele zin)..Peraturan daerah.mengikat (legally binding) warga
dan penduduk daerah otonom. Regulasi Peraturan daerah merupakan bagian dari
kegiatan legislasi lokal dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang
berkaitan dengan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
C.
Prosedur
Pembentukan Peraturan Daerah
Peraturan
Daerah merupakan produk legislasi pemerintahan daerah, yakni Kepala Daerah dan
DPRD. Sesuai Pasal 18 ayat (6) UUD 1945, Peraturan daerah merupakan hak
legislasi konstitusional Pemda dan DPRD.
Rancangan
Peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/ Walikota
(Pasal 140 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Rancangan Peraturan daerah harus mendapat persetujuan bersama DPRD dan Gubernur
atau Bupati/Walikota. Tanpa persetujuan bersama, rancangan Peraturan daerah
tidak dibahas lebih lanjut.
Rancangan
Peraturan daerah yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai
Peraturan
daerah. Penyampaian rancangan Peraturan daerah dilakukan dalam jangka waktu
paling lama 7 hari, terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Rancangan Peraturan
daerah ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 hari sejak
rancangan tersebut disetujui bersama (Pasal 144 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Dalam
hal rancangan Peraturan daerah tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota
dalam waktu paling lama 30 hari maka rancangan Peraturan daerah tersebut sah
menjadi Peraturan daerah dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran
Daerah. Dalam hal keabsahan rancangan Peraturan daerah dimaksud, rumusan
kalimat pengesahannya berbunyi ‘Peraturan daerah dinyatakan sah’, dengan
mencantumkan tanggal sahnya (Pasal 144 ayat (4), (5) UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah).
Peraturan
daerah disampaikan kepada pemerintah pusat paling lama 7 hari setelah ditetapkan
(Pasal 145 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
D.
Materi
Muatan Peraturan Daerah
Peraturan
daerah tidak boleh meregulasi hal ikhwal yang menyimpang dari prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Betapapun luasnya cakupan otonomi daerah, otonomi
daerah tidak boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebaliknya
pemerintah pusat tidak boleh membatasi, apalagi menegasi kewenangan otonomi
daerah. Peraturan daerah tidak boleh memuat hal urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, seperti halnya:
1.
politik luar negeri;
2.
pertahanan;
3.
keamanan;
4.
yustisi;
5.
moneter dan fiskal nasional; dan;
6.
agama[8]
Dalam
pada itu, peraturan daerah mengatur semua urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan
tugas pembantuan. materi muatan peraturan daerah mengandung asas:
a.
pengayoman;
b.
kemanusiaan;
c.
kebangsaan;
d.
kekeluargaan;
e.
kenusantaraan;
f.
bhineka tunggal ika;
g.
keadilan;
h.
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan[9].
Peraturan
daerah dapat memuat asas lain sesuai dengan substansi peraturan daerah yang bersangkutan.
Peraturan daerah dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang meliputi:
a.
kejelasan tujuan;
b.
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.
kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.
dapat dilaksanakan;
e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
kejelasan rumusan; dan
g.
keterbukaan[10]
E.
Beberapa
Asas Pembentukan Peraturan Daerah.
Di
kala pembentukan peraturan daerah beberapa asas kiranya perlu diperhatikan,
berikut ini:
1.
Muatan peraturan daerah mengcover hal
ikhwal kekinian dan visioner ke depan (asas positivisme dan perspektif);
2.
Memperhatikan asas “lex specialis
derogat legi generalis” (debijzondere wet gaat voor de algemene wet), yakni
ketentuan yang bersifat khusus menyampingkan ketentuan yang bersifat umum.
3.
Memperhatikan asas “lex superior derogat
legi inferiori (de hogere wet gaat voor de lagere wet), yakni ketentuan yang
lebih tinggi derajatnya menyampingkan ketentuan yang lebih rendah.
4.
Memperhatikan asas “lex posterior
derogate legi priori” (de laterewet gaat voor de eerdere), yakni ketentuan yang
kemudian menyampingkan ketentuan terdahulu[11].
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dasar
konstitusional pembentukan peraturan daerah terdapat dalam pasal 18 ayat (6)
UUD 1945 menetapkan, ‘Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.’ Peraturan
daerah adalah aturan daerah dalam arti materiil (Peraturan daerah.in.materieele
zin)..Peraturan daerah.mengikat (legally binding) warga dan penduduk daerah
otonom.
Dalam
pembentukan peraturan daerah harus harus seaui dengan prinsip-prinsip
pembentukan peraturan daerah tersebut seperti adanya materi muatan tentang
peraturan daerah dan juga asas-asas dalam pembentukan peraturan daerah
tersebut. Diamana peraturan daerah tersebut tidak boleh meregulasi hal ikhwal
yang menyimpang dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Betapapun
luasnya cakupan otonomi daerah, otonomi daerah tidak boleh meretak-retakkan
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebaliknya
pemerintah pusat tidak boleh membatasi, apalagi menegasi kewenangan otonomi
daerah. Peraturan daerah tidak boleh memuat hal urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
[1] Lihat Peraturan Presiden Nomor 7
Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009
[2] Bambang
Yudoyono,Otonomi Daerah, Desentralisasi
dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan,200), hlm.5
[3]
Solli Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara,Bandung: Alumni, 1978, hlm.150-151.
[4] Sri Soemantri Martosoewignjo, Pengantar
Perbandingan Antara Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali, 198, hlm. 52
[5]
Moh. Kusnardi & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
(Jakarta: Sinar Bakti, 1980), hlm. 160.
[6]
Lihat Pasal 136 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[7]
Lihat Ketentuan Pasal 15 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
[8] Lihat Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 10
ayat (3) UU. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah)
[9]
Lihat Pasal 138 ayat (1) UU. Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[10]
Ibid Pasal 137
[11]
Lihat jurnah HM. Laica Marzuki, Pembentukan Peraturan daerah 2008,