BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Arus
globalisasi ekonomi dunia dan kerja sama di bidang perdagangan dan jasa sangat
berkembang pesat dewasa ini, salah satu fenomena yang nyata dari pertumbuhan ekonomi
adalah meningkatnya kebutuhan perusahaan-perusahaan terhadap modal dan
kebutuhan tersebut menuntut struktur permodalan yang lebih mompleks
mengakibatkan masuknya berbagai bentuk kerja sama yang melengkapi aneka macam
transaksi perjanjian yang sudah ada, salah satu bentuknya adalah perjanjian
waralaba.
Waralaba
berasal dari kata “Wara” yang berarti lebih dan “laba” yangberarti
untung.Secara harfiah dapat diartikan bahwa waralaba merupakan usaha yang
memberikan keuntungan[1].Waralaba ini merupakan
suatu metode untuk melakukan bisnis, yaitu suatu metode untuk memasarkan produk
atau jasa ke masyarakat. Selanjutnya disebutkan pula bahwa waralaba dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa,
dimana sebuah perusahaan induk (pemberi Waralaba) memberikan kepada individu
atau perusahaan lain yang berskala kecil dan menengah (penerima waralaba),
hak-hak istimewa untuk melakukan suatu sistem usaha tertentu dengan cara yang
sudah ditentukan, selama waktu tertentu,disuatu tempat tertentu[2].
Waralaba berasal dari kata franchise. Dimana franchise dalam bahasa aslinya dari bahasa latin yakni francorum
rex yang artinya “bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk
memiliki hak usaha[3].Maka
dari itu dikenal istilah pewaralaba atau franchisor
dan terwaralaba atau franchisee.Franchisor, yang juga umum disebut
sebagai pewaralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak
kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan ataumenggunakan hak atas kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya. Sedangkan franchisee, yang juga disebut
terwaralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan
atau ciri khas usaha yg dimiliki terawaralaba.
Franchisee membeli ijin usaha untuk melakukan
bisnis yang sama persis dengan usaha yang telah ada sebelumnya dari franchisor, untuk jangka waktu tertentu,
dengan menerima dukungan penuh dalam hal pelatihan dan saran-saran dalam
kegiatan operasional yang tercakup dalam sebuah sistem yang telah dibuat
sebelumnya dan terbukti keberhasilannya. Franchisor
menyediakan produk dan jasa yang siap untuk dipasarkan oleh terwaralaba, (telah
teruji dan terbukti berhasil) termasuk diantaranya merk usaha, sistem
pembukuan, sistem operasi, standar pelayanan, standar proses pembuatan produk,
pelatihan, dan lain lain.
Walaupun sistem franshise itu milik franchisor, namun demikian dalam kerja
sama bisnis franchising jangan menggunakan pola pemberi dan penerima, tetapi
gunakan pola hubungan dan kerja sama atas dasar kemitraan, kemanfaatan,
tanggung jawab, dan kepentingan bersama. Dan oleh sebab franchising itu juga
merupakan kerja sama di bidang bisnis.
Hal yang terpenting dari kerjasama franchise yang dituangkan dalam
perjanjian atau kontrak hendaknya dipahami oleh masing-masing pihak dan adanya
keseimbangan dalam berkontrak, artinya hak dan kewajiban antara franchisee dan franchisor harus seimbang, jangan sampai berat sebelah. Dengan kata
lain kesamarataan hukum di dalam kerangka asas kebebasan berkontrak tetap
dipenuhi. Namun dalam prakteknya, kita sering menjumpai bahwa dalam kontrak
atau perjanjian franchise masih
dirasakan berat sebelah, kurang menguntungkan bagi pihak franchisee, misalkan saja terhadap pengakhiran perjanjian
(termination agreement), kekuasaan untuk melakukan hal tersebut ada di tangan franchisor tanpa harus merugikan
dirinya. Sangat banyak perjanjian franchise
memberikan izin khusus bagi framchisor untuk mengakhiri franchise dikarenakan oleh suatu sebab (for cause). Juga terhadap pengakhiran perjanjian franchise, di mana jangka waktu
perjanjian franchise habis danfranchisor tidak bersedia
memperbaharuinya, bahkan mengalihkan usaha franchisenya kepada pihak lain.
Dalam kondisi semacam ini, nampaknya
keberadaan franchisee dalam
perjanjian franchise sangat lemah, tidak mempunyai kekuatan tawar- menawar
(bargaining power). Sebagai contoh pada kasus Mc Donald’s di Perancis yang
berkedudukan sebagai franchisor
dengan begitu mudahnya mencari-cari alasan untuk memutuskan hubungan kontrak
franchise dengan franchiseenya di
Perancis hanya karena perusahaan tersebut ingin menunjuk pihak lain yang
dipandang lebih menguntungkan. Jelas bahwa pentingnya franchise mendapat
perlindungan hukum merupakan hal yang tidak dapat dihindari, mengingat dalam
praktek bisnis franchise tercipta kewenangan franchisor yang dominan. Keadaan inilah yang menimbulkan unfair
business di dalam franchising.Hal ini menyangkut pula tentang keterbukaan
manajemen dari perusahaan. Di Indonesia, franchise diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
Ketentuan ini membawa akibat bahwa
sampai pada derajad tertentu,franchise
tidak berbeda dengan lisensi (Hak atas Kekayaan Intelektual), khususnya yang
berhubungan dengan franchise nama
dagang atau merek dagang baik untuk produk berupa barang dan atau jasa
tertentu, hal ini berarti secara tidak langsung juga mengakui adanya dua bentuk
franchise yaitu franchise dalam bentuk lisensi merek dagang atau produk dan franchise sebagai suatru format bisnis[4].
Kegiatan
waralaba (franchise) sebagai bentuk
usaha banyak mendapatperhatian para pelaku bisnis, dikarenakan dapat menjadi
salah satu cara untukmeningkatkan kegiatan perekonomian dan memberikan
kesempatan kepadagolongan ekonomi lemah untuk berusaha, ini berarti, Franchise dapatmemberikan kesempatan
kerja, pemerataan dan juga menciptakan lapangankerja masyarakat.Bidang atau
sektor yang sering dilakukan dengan carafranchise
yaitubidang minuman (Coca Cola), makanan (Mc Donald’s dan Kentucky
FriedChiken), Perhotelan (Hyatt, Ibis, Natour Garuda), Restoran, Pendidikan,
FastFood dan lain sebagainya Sering disebut-sebut bahwa franchise merupakan The
hottest business in the world[5]. betapa tidak, dengan
konsep bisnisini, orang dapat langsung dengan sekejap berkibar di bidang-bidang
bisnistertentu yang merek, paten atau sistem bisnisnya sudah sangat populer
bukansaja di Indonesia bahkan di seluruh dunia, padahal untuk
mempopulerkanmerek, paten atau sistem bisnis tadi memerlukan waktu puluhan
tahun.
Namun
tidak sedikit juga yang gagal, dengan konsep bisnis franchise ini, seorang franchisee
(penerima franchise) dapat langsung
“ngompreng” popularitas produk dan merek orang lain tanpa perlu
harusmengembangkannya sendiri produk tersebut. Berkat adanya inovasi di
bidangtransaksi bisnis ini yang kemudian dikenal dengan sebutan franchise maka kitadapat mencicipi
lezatnya hamburger produk Mc Donald yang berasal darinegara Amerika itu, orang
tidak perlu jauh-jauh harus ke Amerika, tetapi cukupmenikmatinya di salah satu
restoran Mc Donald yang bertebaran di kota-kota diIndonesia.
Berdasarkan
ulasan diatas maka penulis dalam makalah ini penulis ingin membicarakan mengenai
: “PENERAPAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
DALAM PEMBUATAN
PERJANJIAN FRANCHISE (WARLABA)”
B. Permasalahan
Berdasarkan
uraian tersebut diatas, maka persoalan pokok yang menjadi kajian makalah ini
terfokus pada 2 (dua) masalah yaitu :
1. Apakah asas itikad baik dan kepatutan harus menjadi landasan bagipara pihak pada
waktu membuat perjanjian ?
2. Apakah kebebasan berkontrak harus menjadi landasan bagi para pihak pada
waktu membuat perjanjian ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan
Mengenai Perjanjian
1.
Pengertian
Perjanjian Umumnya
Jika kita membicarakan tentang perjanjian, maka
pertama-tama harus diketahui pengertian perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313
KUH Perdata yang berbunyi:
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.”
Perbuatan yang disebutkan dalam
rumusan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menjelaskan bahwa perjanjian hanya
mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan yang nyata. Baik dalam bentuk ucapan,
maupun tindakan secara fisik dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata- mata
sehingga suatu perjanjian adalah :
a.
Suatu perbuatan
b.
Antara sekurang-kurangnya dua orang atau lebih;
c.
Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang
berjanji.
Dengan adanya pengertian perjanjian
seperti ditentukan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan
antara pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan
berimbang.
Pengertian perjanjian
seperti tersebut di
atas terlihat secara mendalam, akan terlihat bahwa
pengertian tersebut ternyata mempunyai arti yang sangat luas dan umum sekali
sifatnya, selain itu juga tanpa menyebutkan untuk tujuan apa perjanjian
tersebut dibuat. Hal tersebut terjadi karena di dalam pengertian perjanjian menurut ketentuan Pasal
1313 KUH Perdata,
hanya menyebutkan tentang pihak yang satu atau lebih
mengikatkan dirinya pada pihak lainnya dan sama
sekali tidak menentukan
untuk apa tujuan
suatu perjanjian tersebut dibuat.
Oleh
karena itu suatu perjanjian akan lebih luas juga jelas artinya, jika pengertian
mengenai perjanjian tersebut diartikan sebagai suatu persetujuan di mana dua orang
atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
harta kekayaan[6]
Menurut
Setiawan Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih
saling mengikatkan diri tergadap satu orang atau lebih[7].
2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH
Perdata, untuk sahnya suatu perjanjianpara pihak harus memenuhi syarat-syarat
di bawah ini:
a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Syarat yang
pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan pada para pihak, Kesepakatan
ini diatur dalam Pasal
1320 ayat (1) KUH Perdata. Yang dimaksud
dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang
atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah penyataannya, karena
kehendak itu tidak dapat
dilihat/diketahui oleh orang lain.
b. Kecakapan para pihak dalam membuat
suatu perjanjian;
Maksudnya adalah kecakapan atau
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan
yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian
haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang
yangcakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah
dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun atau sudah kawin.
c. Suatu hal tertentu;
Yang dimaksud dengan suatu hal
tertentu adalah sesuatu yang di dalam perjanjian harus telah ditentukan dan disepakati.Ketentuan
ini sesuai dengan yang disebutkan pada Pasal 1313KUH Perdatra bahwa barang yang
menjadi pbjek suatu perjanjian harus ditentukan jenisnya.
d. Suatu sebab yang halal.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak
dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya
disebutkan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hoge Raad
sejak tahun 1927 mengartikan orzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para
pihak.
Suatu perjanjian yang dibuat dengan sebab
atau kausa yang tidak halal, misalnya jual-beli ganja, untuk mengacaukan
ketertiban umum, memberikan kenikmatan seksual tanpa nikah yang sah[8].
3. Macam-Macam Perjanjian
a.
Perjanjian
atas beban dan perjanjian cuma-cuma:
·
Perjanjian
Atas Beban (onder bezwarenden)
Perjanjian
atas beban adalah
perjanjian atau persetujuan dimana terhadap prestasi yang
satu selalu ada kontra prestasi pihak
lain, dimana kontra
prestasinya bukan semata-mata merupakan pembatasan atas prestasi yang satu, atau hanya sekedar
menerima kembali prestasinya sendiri.
·
Perjanjian
Cuma-cuma (om niet)
Perjanjian
cuma-cuma adalah perjanjian atau persetujuan dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan atau prestasi kepada pihakv yang lain tanpa
menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Contohnya adalah hibah
(schenking).
b.
Perjanjian
Sepihak, Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Timbal Balik Sempurna
·
Perjanjian
Sepihak
Perjanjian
sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja,
sedang pada pihak lain hanya ada hak saja.
Contohnya adalah perjanjian penitipan barang cuma-cuma.
·
Perjanjian
timbal balik
Perjanjian
timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban kepada
kedua belah pihak dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan-hubungan
dengan yang lainnya. Contohnya adalah perjanjian jual-beli, perjanjian sewa
menyewa dan perjanjian tukar-menukar.
·
Perjanjian
Timbal Balik Tak Sempurna
Perjanjian ini
pada dasarnya adalah
perjanjian sepihak, karena kewajiban pokoknya hanya ada pada salah satu
pihak saja, tetapi dalam
hal-hal tertentu, dapat
timbul kewajiban- kewajiban pada
pihak lain, misalnya
perjanjian pemberian kuasa
(lastgeving) tanpa upah.
c.
Perjanjian
Konsensuil dan Perjanjian Riil
·
Perjanjian
Konsensuil
Perjanjian
konsensuil adalah perjanjian di mana adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk
timbulnya perjanjian yang bersangkutan.
·
Perjanjian
Riil
Perjanjian
riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau barang yang menjadi pokok
perjanjian telah diserahkan.Contohnya perjanjian utang-piutang, perjanjian
pinjam-pakai, dan perjanjian penitipan barang.Apabila barang yang bersangkutan
belum diserahkan, maka hanya terdapat suatu perjanjian pendahuluan (pactum de
contrahendo voorovereenkomst).
4. Unsur Perjanjian
Unsur
perjanjian dapat dikategorikan sebagai berikut[9]:
a.
Essentialia,
yaitu unsur daripada persetujuan yang tanpa itu persetujuan tidak mungkin ada
b.
Naturalia,
yaitu unsure yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai pertauran yang bersifat mengatur
c.
Accidentalia,
unsur yang oleh para pihak ditambahkan dalam persetujuan dimana undang-undang
tidak mengaturnya
B. Pengertian
Franchise(Waralaba)
Waralaba
diatur dalam peraturan pemerintah no 42 tahun 2007 tentang waralaba, dan Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia N0 12/M-DAG/PER/3/2006
tetntang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pendaftran usaha waralaba. (kepmen
259).
Pengertian
“franchise” berasal dari bahasa
Perancis abad pertengahan, diambil dari kata “franch” (bebas) atau “francher”
(membebaskan), yang secara umum diartikan sebagai pemberian hak istimewa[10]. Dengan demikian di dalam
franchise terkandung makna, bahwa
seseorang memberikan kebebasan untuk menggunakan atau membuat atau menjual
sesuatu. pengertian waralaba menurut Peraturan pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
berbunyi sebagai berikut:
“Hak khusus yang dimiliki oleh orang
perseorangan atau badan usaha terhadap system bisnis dengan ciri khas usaha
dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan
dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba[11]”
waralaba
adalah perikatan antara pemberi waralaba dandengan penerima waralaba diaman
penerima waralaba diberikan hak untuk menjalankan usaha dengan memanfaatkan dan
atau mengunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha
yang dimiliki pemberi waralaba dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan
yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba dengan sejumlah kewajiban
menyediakan dukungan konsultasi operasional yang berkesinambungan oleh pemberi
waralaba kepada penerima waralaba[12].
Menurut
Martin Mendelsohn, Pemberian sebuah lisensi (franchisor) kepada pihak lain (franchisee),
lisensi tersebut memberikan hak kepada franchisee
untuk berusaha dengan menggunakan merek dagang franchisor, dan untuk menggunakan keseluruhan paket yang terdiri
dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seseorang yang sebelumnya
belum terlatih dalam menjalankan bisnis dan untuk menjalankan dengan bantuan
terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya[13].
Menurut
Rooseno Harjowidigno Franchise adalah
suatu sistem usaha yang sudah khas atau memiliki ciri mengenai bisnis di bidang
perdagangan atau jasa, berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan,
identitasperusahaan (logo, desain, merek bahkan termasuk pakaian dan penampilan
karyawan), rencana pemasaran dan bantuan operasional[14].
Menurut
V, Winarto Waralaba adalah hubungan kemitraan antara usahawan yang usahanya
kuat dan sukses dengan usahawan yang relatif baru atau lemah dalam usaha
tersebut dengan tujuan saling menguntungkan khususnya dalam bidang usaha
menyediakan produk dan jasa langsung kepada konsumen[15].
Menurut
Janet Housden dalam Munir Fuady Franchise
adalah suatu ikatan kontraktual terhadap suatu kepentingan dalam mana, suatu
organisasi yaitu pihak franchisor,
yang telah mengembangkan suatu formula untuk menghasilkan dan/atau menjual produk
atau servis, diperlukan haknya untuk menjalankan bisnis kepada perusahaan lain,
yaitu pihak franchisee, dengan
batasan-batasan dan pengawasan tertentu. Dalam hampir semua franchisee yang penting. Dalam
menjalankan bisnisnya secara franchise,
pihak franchisee selalu menggunakan
nama pihak franchisor sebagai nama
dagangannya[16].
Menurut
Dov Izraeli, franchise berarti
memberikan kebebasan untuk melakukan sesuatu atau mempunyai hak atau
menggunakan sesuatu dalam tempat tertentu[17]. Menurut Charles L
Vaughn, istilah franchise dipahami
sebagai bentuk kegiatan pemasaran dan distribusi. Di dalamnya sebuah perusahaan
memberikan hak atau privilege untuk menjalankan bisnis secara tertentu dalam
waktu dan tempat tertentu kepada individu atau perusahaan yang relatif lebih
kecil[18].
Dilihat
dari perspektif bisnis, istilah waralaba juga dapat dipahami sebagai salah satu
bentuk aktivitas pemasaran dan distribusi di mana perusahaan yang besar
memberikan hak-hak istimewa kepada perusahaan kecil atau individu untuk
menjalankan bisnis waralaba tersebut di suatu tempat dan waktu
tertentu.Waralaba juga dapat dipahami sebagai salah satu bentuk metode produksi
dan distribusi barang atau jasa kepada konsumen dengan menggunakan satu standar
dan sistem eksplotasi tertentu. Definisi dari standar dan sistem ekspolitasi
tersebut meliputi kesamaan dan penggunaan nama perusahaan, merek, sistem
produksi, tata cara pengemasan, penyajian dan distribusinya[19].
Dari
rumusan yang diberikan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa Franchise
merupakan suatu Perikatan, yang tunduk pada ketentuan umum mengenai Perikatan
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Disamping itu Franchise
didalam melibatkan hak pemanfaatan dan atau penggunaan hak atas intelektual
atau penemuan atau ciri khas usaha, yang dimaksudkan dengan hak atas
intelektual meliputi antara lain merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta,
rahasia dagang dan paten, dan yang dimaksudka dengan penemuan atau ciri khas
usaha yaitu sistem manajemen, cara penjualan atau penataan atau cara distribusi
yang merupakan karakteristik khusus dari pemiliknya.
C. Pembahasan
1. Apakah
Asas
Itikad
Baik
dan Kepatutan
Harus Menjadi
Landasan Bagi Para Pihak
Pada Waktu Membuat Perjanjian?
Asas
itikad baik dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata,
yang berbunyi: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Itikad
baik menurut pasal tersebut adalah bahwa pelaksanaan perjanjian itu harus
berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan[20]. Mengenai apa yang dimaksud dengan kepatutan
dan kesusilaan, undang-undang tidak memberikan rumusannya. Oleh karena itu,
tidak ada ketetapan batasan mengenai pengertian istilah tersebut.
Berdasarkan
arti kedua kata tersebut, kiranya dapat digambarkan kepatutan dan kesusilaan
itu sebagai nilai yang patut; pantas; layak; sesuai; cocok; sopan dan beradab,
sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang membuat
perjanjian[21].
Dengan
dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti juga bahwa kita
harus menafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatutan. Dalam KUH
Perdata, kepatutan (asas kepatutan) dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang[22].
Pada
umumnya, itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata) dan kepatutan (Pasal
1339) KUH Perdata disebutkan secara senafas dan Hoge Raad (H.R.) dalam putusan
tanggal 11 Januari 1924 telah sependapat bahwa apabila hakim setelah menguji
dengan kepantasan dari suatu perjanjian tidak dapat dilaksanakan maka berati
perjanjian bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dengan demikian,
dalam pelaksanaan perjanjian terjadi hubungan yang erat antara keadilan,
kepatutan dan kesusilaan dengan itikad baik.
Berdasarkan
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, jika terjadi selisih pendapat tentang
pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik (kepatutan dan kesusilaan), maka
hakim diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengawasi dan menilai
pelaksanaan perjanjian, apakah ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutan
dan kesusilaan itu. Hal ini berarti bahwa hakim berwenang untuk menyimpang dari
isi perjanjian menurut kata-katanya, apabila pelaksanaan perjanjian menurut
kata-katanya akan bertentangan dengan itikad baik (apabila pelaksanaan menurut
norma-norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil). Hal ini bisa
dimengerti karena tujuan hukum adalah menjamin kepastian (ketertiban) dan
menciptakan keadilan.
Keadilan
dalam hukum itu menghendaki adanya kepastian, yaitu apa yang diperjanjikan
harus dipenuhi karena janji itu mengikat sebagaimana undang-undang (Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata). Sedangkan yang harus dipenuhi tersebut sesuai dengan
kepatutan dan kesusilaan (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, asas keadilan).Hakim
berwenang mencegah suatu pelaksanaan perjanjian yang tidak adil, yaitu tidak
sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan.
Berdasarkan
ketentuan di atas baik yang bersumber pada undangundang maupun pada doktrin
dari para ahli hukum, maka untuk dapat mengatakan apakah ada itikad baik dalam
penyusunan perjanjian antara para pihak (franchisor
dan franchisee) dapat dicermati dari
pasal-pasal yang ada dalam perjanjian tersebut.Sulit diharapkan terjadinya
keseimbangan kepentingan antara franchisor
dan franchisee mengingat perjanjian
ini dibuat oleh pihak yang kuat, yaitu pemilik teknologi maupun HKI, yaitu franchisor. Perjanjian ini bentuknya
sudah baku dan calon franchisee hanya
punya kesempatan untuk setuju atau tidak, tanpa kemampuan untuk merubah draft
perjanjian.
2.
Apakah Asas Kebebasan
Berkontrak HarusMenjadi Landasan Bagi Para Pihak Pada
Saat Membuat
Perjanjian?
Dalam
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia,
kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan
bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya[23].
Sumber
dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan
titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .
Berlakunya
asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas
kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat
perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.
Asas ini
memberikan informasi bahwa
suatu perjanjian pada dasarnya
sudah ada sejak tercapainya kata
sepakat diantara para pihak dalam perjanjian tersebut. Asas konsensualisme yang terdapat
dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti kemauan para pihak untuk saling
mengikatkan diri dan
kemauan ini membangkitkan kepercayaan bahwa perjanjian
itu akan dipenuhi.
Eggens
dalam Ibrahim[24]
menyatakan, asas konsensualitas merupakan suatu puncak pengikatan manusia yang tersirat dalam
pepatah: een man een man, een word een word. Selanjutnya dikatakan olehnya
bahwa ungkapan “orang harus dapat dipegang ucapannya” merupakan tuntutan
kesusilaan, akan tetapi Pasal 1320KUH Perdata menjadi landasan hukum untuk
penegakannya. Tidak dipenuhinya syarat konsensualisme dalam perjanjian menyebabkan perjanjian dapat dibatalkan,
karena tidak memenuhi syarat subyektif.
Asas
ini berkaitan dengan lahirnya suatu perjanjian.Konsensualisme mengandung arti
bahwa perjanjian itu terjadi karena adanya kata sepakat atau kehendak yang
bebas dari para pihak yang membuat perjanjian mengenai isi atau pokok
perjanjian.[25]
Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa :”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Di dalam pasal tersebut dijumpai asas Konsensualisme yang
terdapat pada kata
“…perjanjian yang dibuat secara
sah…”, yang menunjuk pada pasal 1320 KUH Perdata, terutama pada ayat (1) yaitu
mereka sepakat mengikatkan dirinya.
Dengan asas konsensualisme berarti perjanjian itu lahir pada saat
Tercapainya
kata sepakat dari para pihak yang mengadakan perjanjian untuk saling mengikatkan dirinya.
Pada perjanjian yang bersifat obligatoir, kesepakatan yang dibuat telah
mengikat para pihak. Asas konsensualisme ini kemudian berpengaruh pada bentuk
perjanjian yaitu dengan adanya Konsensualisme, perjanjian itu lahir atau
terbentuk pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak sehingga tidak
diperlukan lagi bentuk formalitas lain.
Akibatnya perjanjian yang terjadi karena kata sepakat tersebut,
merupakan perjanjian yang bebas sehingga dapat lisan maupun tertulis.
Dari
dokumen perjanjian yang ditanda tangani para pihak, di mana perjanjian ini
sifatnya perjanjian baku yang telah disiapkan oleh pihak yang lebih kuat, yaitu
franchisor maka dapat dipastikan
isinya telah dirancang oleh pihak dan untuk keuntungan franchisor. Perjanjian yang
mempunyai sifat baku tidak memberi peluang yang cukup bagi pihak yang lebih
lemah untuk mengekspresikan kebebasan yang didasarkan asas kebebasan berkontrak
guna melindungi kepentingannya sebagai pihak dalam perjanjian.
Dari
pasal-pasal yang ada dapat dilihat kebebasan untuk tercapainya kesepakatakan
tidak terjadi dengan berimbang, karena didominasi calon franchisor terhadap calon franchisee. Pada pasal yang mengatur hak dan kewajiban
terlihat kepentingan franchisor lebih
mendapat perlindungan hukum dibanding dengan kepentingan franchisee
Berdasarkan ketentuan di atas baik
yang bersumber pada undang-undang maupun pada doktrin dari para ahli hukum,
maka untuk dapat mengatakan apakah ada itikad baik dalam penyusunan perjanjian
antara para pihak (franchisor dan franchisee) dapat dicermati dari pasal-pasal
yang ada dalam perjanjian tersebut. Sulit diharapkan terjadinya keseimbangan
kepentingan antara franchisor dan franchisee mengingat perjanjian ini dibuat
oleh pihak yang kuat, yaitu pemilik teknologi maupun HKI, yaitu franchisor.
Perjanjian ini bentuknya sudah baku dan calon franchisee
hanya punya kesempatan untuk setuju atau tidak, tanpa kemampuan untuk merubah
draft perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak
sebagaimana dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
mempunyai hubungan erat dengan Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur mengenai
asas konsensualisme yang menjadi salah satu syarat syahnyasuatu perjanjian
kemungkinan besar dilanggar dengan adanya perjanjian baku tersebut. Subekti
dalam Hasanuddin Rahman menyatakan bahwa pelanggaran terhadap asas
konsensualisme akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan juga tidak
mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan di atas baik yang bersumber pada
undang-undang maupun pada doktrin dari para ahli hukum, maka untuk dapat
mengatakan apakah ada itikad baik dalam penyusunan perjanjian antara para pihak
(franchisor dan franchisee) dapat dicermati dari pasal-pasal yang ada dalam
perjanjian tersebut. Sulit diharapkan terjadinya keseimbangan kepentingan
antara franchisor dan franchisee mengingat perjanjian ini dibuat oleh pihak
yang kuat, yaitu pemilik teknologi maupun HKI, yaitu franchisor. Perjanjian ini
bentuknya sudah baku dan calon franchisee hanya punya kesempatan untuk setuju
atau tidak, tanpa kemampuan untuk merubah draft perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak sebagaimana dapat disimpulkan dari
pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mempunyai hubungan erat dengan Pasal 1320
KUH Perdata yang mengatur mengenai asas konsensualisme yang menjadi salah satu
syarat syahnyasuatu perjanjian kemungkinan besar dilanggar dengan adanya perjanjian
baku tersebut. Subekti dalam Hasanuddin Rahman menyatakan bahwa pelanggaran
terhadap asas konsensualisme akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah dan
juga tidak mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak
B. Saran
Dari kesimpulan sebagaimana tersebut di atas maka ada
beberapa hal yang dapat dijadikan saran dalam pelaksanaan kerja sama bisnis
dengan sistem franchise, yaitu:
1.
Perlu segera diatur undang-undang yang secara langsung
mengatur tentang franchise.
2.
Sebaiknya franchisee dan franchisor menggunakan jasa
konsultan hukum dalam penyusunan perjanjian franchisenya.
3.
Pihak franchisor berkewajiban untuk memberikan informasi
tentang segala sesuatu yang terkait dengan usaha franchisenya secara lengkap
dan transparan kepada calon franchisee. Dan kepada calon franchisee diharapkan
mempelajarinya secara utuh.
4.
Selama kerja sama berlangsung, franchisor harus
membantumemberikan nasehat, bimbingan dan pelatihan kepada franchisee,agar
usaha yang dijalankan bisa sukses, sehiingga sama-samamenguntungkan bagi pihak
franchisor maupun pihak franchisee.
DAFTAR
PUSTAKA
A. BUKU
Abdul Kadir Mohammad, Hukum
Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung , 1992.
Darmawan Budi Suseno, Sukses
usaha Waralaba Mudah, Resiko rendah dan Menguntungkan, Cakrawala,
Yogyakarta, 2007
Gunawan Widjaja, Seri
Hukum Bisnis Waralaba, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 2001
Johanes Ibrahim, Pengimpasan
Pinjaman (Kompensasi) dan Asas KebebasanBerkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank,
Penerbit CV Utomo, 2003
Munir Fuady, Pembiayaan
Perusahaan Masa kini (Tinjauan Hukum Bisnis), PT Citra Aditya Bandung, 1997
Nindyo Pramono, Bunga
Rampai Hukum Bisnis Aktual, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar
Hukum Perikatan (Perikatan Yang lahir Dari Perjanjian Dan Dari Undang-Undang),
CV, Mandar Maju, bandung, 1994, hal. 67
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, PT Rineka Cipta, Jakarta 2003
Ridwan Khairandy, “Perjanjian
Franchise Sebagai Sarana Alih Teknologi”, Insan Budi Maulana, et.al. ed.,
Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, Yayasan Klinik HAKI Jakarta-PSH
Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2000
Setiawan R, Pokok-Pokok
Hukum Perikatan, Bumi Cipta, Bandung, 1997
Wiryono Projodikoro, Pokok-Pokok
Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung,
Bandung
B. JURNAL DAN ARTIKEL
Iswanto, Bambang
Tjatur, 2007, Perlindungan Hukum Terhadap
Franchise Dalam Perjanjian Franchise di Indonesia, Tesis S2, Program
Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
M. Udin Silalahi,
“Perjanjian Franchise Berdasarkan Hukum
Persaingan Eropa,” Jurnal Hukum Bisnis,vol 6, 1999
Ridwan Khairandy, “Franchise
dan Kaitannya Sebagai Sarana Alih Teknologi: Suatu Tinjauan Hukum,” Jurnal
Hukum, No. 7, Vol. 4, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
1997
Rooseno Harjowidigno, Aspek-Aspek
Hukum Tentang Franchising, Seminar IKADIN, Surabaya, Oktober, 1993
C. PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN
Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tentang Waralaba
Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia N0 12/M-DAG/PER/3/2006
tetntang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pendaftran usaha waralaba. (kepmen
259).
D. INTERNET
http://www.franchise-id.com pada tanggal 19 oktober 2011
www.plasa.com
pada tanggal 19 oktober 2011
[1] Darmawan Budi Suseno, Sukses usaha Waralaba Mudah, Resiko rendah
dan Menguntungkan, Cakrawala, Yogyakarta, 2007, Hlm 19.
[2]Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, PT Rineka
Cipta, Jakarta 2003, hlm 57.
[3] http://www.franchise-id.com pada
tanggal 19 oktober 2011 pukul 21.30 WIB
[4]Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Waralaba, PT. Raja
Grafindo Persada Jakarta, tahun 2001, hlm. 108.
[5] Iswanto, Bambang Tjatur, 2007, Perlindungan Hukum Terhadap Franchise Dalam
Perjanjian Franchise di Indonesia, Tesis S2, Program Pascasarjana Ilmu
Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang hlm 5.
[6]Abdul Kadir Mohammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti,
Bandung , 1992, hlm 78.
[7] Setiawan R, 1997, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bumi Cipta,
Bandung, hlm 49.
[8]
Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit, hlm, 95
[10] M. Udin Silalahi, “Perjanjian Franchise Berdasarkan Hukum
Persaingan Eropa,” Jurnal Hukum Bisnis,vol 6, 1999, hlm 59
[11]Pasal
1 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 42 Tentang Waralaba
[12] Pasal 1 ayat 1 Keputusan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia N0 12/M-DAG/PER/3/2006
tetntang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pendaftran usaha waralaba. (kepmen
259).
[13]Diambil http://www.franchise-id.com pada tanggal 19
oktober 2011 pukul 23.15
[14] Rooseno Harjowidigno, Aspek-Aspek Hukum Tentang Franchising,
Seminar IKADIN, Surabaya, Oktober, 1993, hlm. 17-18
[15] Johanes Ibrahim, Pengimpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas
KebebasanBerkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, Penerbit CV Utomo, 2003,
hlm 37.
[16] Munir Fuady, Pembiayaan Perusahaan Masa kini (Tinjauan
Hukum Bisnis), PT Citra Aditya Bandung, 1997, hlm. 136
[17] Ridwan Khairandy, “Franchise dan
Kaitannya Sebagai Sarana Alih Teknologi: Suatu Tinjauan Hukum,” Jurnal Hukum,
No. 7, Vol. 4, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1997,
hlm 28
[18] Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm 150.
[19]Ridwan Khairandy, “Perjanjian Franchise Sebagai Sarana Alih
Teknologi”, Insan Budi Maulana, et.al.ed., Kapita Selekta Hak Kekayaan
Intelektual I, Yayasan Klinik HAKI Jakarta-PSH Fakultas Hukum UII, Yogyakarta,
2000, hlm. 133
[20] Abdulkadir Muhammad, Op. Cit,
hal. 99.
[22]Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang
lahir Dari PerjanjianDan Dari Undang-Undang), CV, Mandar Maju, bandung,
1994, hal. 67.
[24] Johannes Ibrahim, Op. Cit, hal.
37.
[25]Wiryono Projodikoro, Pokok-Pokok
Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Bandung,
hlm. 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar